BAGIAN 11

13.5K 911 6
                                    

Laki-laki yang baik ditakdirkan untuk wanita yang baik. Begitupun sebaliknya.

* * *

CUKUP KATAKAN

"Jadi bagaimana? Kamu sudah tahu mau memutuskan apa?," tanya Ardi.

"Belum A'..., Ibu memang setuju untuk tinggal bersamaku dan Ukhti Syifa jika kami sudah menikah. Ibu juga setuju kalau kami memenuhi keinginan kedua Orang tua Ukhti Syifa. Tapi, aku tahu persis kalau Ibu juga tidak mau jauh dari Teh Risya dan A' Ardi," jawab Rahman.

Ardi menepuk pundak Rahman.

"Kamu sudah tanya Syifa?."

Rahman menggelengkan kepalanya.

"Aku belum berani menemuinya," Rahman mengakui.

Ardi terkekeh.

"Belum berani atau malu??? Kamu itu kebangetan..., masa calon isterimu jarang ditemui. Kan kasihan, nanti dia pikir kamu nggak serius sama dia," ujar Ardi.

Rahman tersenyum tipis, ia agak bingung jika bertemu dengan Syifa. Ia merasa canggung setelah mendengar penyataan cinta di malam pertunangan mereka. Entah ia harus mengatakan apa jika bertemu dengannya.

Jam telah menunjukkan pukul setengah sebelas siang, Syifa pun bergegas keluar dari rumah pondok santriwati untuk menuju ke masjid.

Banyak santri dan santriwati baru yang sudah menunggunya. Pembimbing sebelumnya mungkin sudah selesai memberikan materi dan kini adalah giliran Syifa yang mengajar.

Rahman berpapasan dengannya di tengah jalan, mereka berhenti sesaat dan benar-benar merasa canggung - seperti yang sudah Rahman duga.

"Assalamu'alaikum...," sapa Rahman.

"Wa'alaikum salam...," balas Syifa.

"Anu..., bolehkah saya minta waktu untuk bicara? Ada..., hal penting yang harus saya tanyakan pada Ukhti," Rahman berbicara dengan suara terbata-bata.

Syifa mengulum senyumannya sesaat. Ia menarik nafas dalam-dalam.

"Saya ada jadwal untuk memberi materi Akh..., tapi kalau Akh Rahman mau menunggu, kita bisa bicara setelah jadwal saya selesai," ujar Syifa.

Rahman tersenyum. Ia pun mengangguk, tanda bahwa ia setuju dengan apa yang Syifa tawarkan.

"Mari Akh..., saya permisi dulu, Assalamu'alaikum...," pamit Syifa, seraya melewati Rahman untuk menuju ke masjid.

"Wa'alaikum salam... ."

Rahman menatap punggung Syifa yang baru saja akan menjauh.

"Ukhti Syifa...," panggilnya lagi.

Syifa berbalik dan menatapnya. Rahman tersenyum.

"Saya juga cinta sama Ukhti..., sejak pertama kali Ukhti menjawab semua pertanyaan-pertanyaan saya di penjara," ungkapnya.

Wajah Syifa memerah seketika, jantungnya berpacu dengan meriah mendengar ungkapan itu. Bibirnya tak bisa ditahan untuk tidak tersenyum di balik niqob-nya. Namun Syifa lebih memilih berbalik dan segera pergi sebelum jantungnya meledak karena rasa bahagia.

Rahman segera menepuk keningnya sendiri.

"Astaghfirullah..., aku ini ngomong apa sih??? Kok bisa-bisanya ngelantur di depan dia???," Rahman merutuki dirinya sendiri.

Syifa pun tiba di masjid dan segera masuk ke dalam. Bu Nyai tersenyum ke arahnya, ia pun mendekat.

"Assalamu'alaikum Bu...," sapa Syifa.

Imam Pilihan Allah [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang