BAGIAN 37

21.9K 1K 124
                                    

Terkadang ada kalanya mengalah adalah pilihan terbaik untuk memperbaiki langkah dalam hidup.

* * *

PULANG

Marni menatap Syifa yang begitu kesulitan untuk bangkit dari kursi tempatnya duduk. Kehamilannya telah memasuki bulan ke tujuh, Rahman semakin aktif mengajar di pesantren sehingga mereka sering menempuh perjalanan jauh.

Ketika Rahman keluar dari kamarnya pagi ini, Marni pun mencegah langkahnya.

"Ada apa Bu?," tanya Rahman.

"Sampai kapan kamu mau membawa Syifa bolak-balik pesantren seperti ini? Kehamilannya sudah masuk usia tujuh bulan, dia butuh perawatan extra dan bahkan butuh perhatian dari Ummi-nya," ujar Marni.

Rahman terdiam, ia tak pernah memikirkan hal itu.

"Kamu tidak boleh jadi suami yang egois. Isterimu itu sudah sangat melampaui batas karena selalu menuruti apa yang kamu mau. Apa kamu tidak sayang sama dia, sehingga tega membiarkannya kelelahan setiap hari?," tanya Marni.

"Tidak Bu..., saya nggak pernah berpikir seperti itu," jawab Rahman.

"Mertuamu sudah menawarkan agar kamu dan Syifa tinggal di pesantren sejak awal. Tapi karena alasan kamu tidak mau Ibu jauh-jauh dari Risya makanya kamu menolak hal itu kan? Sekarang..., Ibu tidak keberatan jauh dari Risya, Ardi, dan Zulfa, yang penting kamu bersedia untuk memenuhi kewajibanmu menjaga menantu Ibu. Ibu nggak mau dia terus-menerus seperti ini," pinta Marni.

Rahman duduk di sofa dan berpikir untuk beberapa saat. Marni menatapnya.

"Ingat Nak..., kamu sudah berjanji sama Ibu sebelum kamu menikahinya. Bahwa kamu akan menjaganya, memperlakukannya dengan baik, dan tidak mengulang apa yang Almarhum Bapakmu lakukan pada Ibu. Apa kamu lupa?."

Rahman merasa hatinya baru saja dipukul dengan keras ketika Marni menanyakan hal tersebut. Ia sadar, bahwa dirinya begitu egois sementara Syifa begitu mengalah. Demi berbakti pada Rahman.

Syifa keluar dari dapur setelah selesai memgemas bekal makan siang dalam wadah-wadah tupperware. Marni dan Rahman menatapnya bersamaan.

"Ada apa Bu? Kenapa Ibu menatapku seperti itu?," tanya Syifa seraya tersenyum.

Marni membalas senyumnya dan merangkulnya saat ia duduk di sofa. Syifa baru saja akan memakai niqob-nya, namun Rahman mencegahnya.

"Ada apa Bi?," tanya Syifa, heran.

Rahman mengusap kedua pipi Syifa yang terlihat agak berisi sejak dia hamil. Pria itu tersenyum bahagia melihat wajah yang selalu meneduhkan hatinya dalam keadaan apapun.

"Ya Allah..., mengapa aku begitu egois? Dia bahkan tidak pernah membantahku, tapi aku tidak pernah menyadari bahwa dia kesulitan karena keegoisanku," batin Rahman.

Syifa tersenyum.

"Mi..., kita tinggal di pesantren ya. Kita tinggal sama Abi dan Ummi, Ibu juga akan tinggal sama kita di sana," ajak Rahman.

Kedua mata Syifa terlihat begitu berbinar cerah, seakan-akan hatinya baru saja ditaburi oleh bunga-bunga yang indah dari surga.

Marni ikut tersenyum sambil mengusap punggung Syifa agar menantunya merasa nyaman.

"Serius Bi? Abi nggak keberatan?," tanya Syifa, memastikan.

Rahman mengangguk.

"Iya Mi..., Abi nggak keberatan. Abi mau Ummi melahirkan anak kita di tengah orang-orang yang Ummi sayang dan mencintai Ummi. Abi nggak mau Ummi terus-menerus belajar mandiri tapi kenyataannya Ummi sangat membutuhkan bantuan. Pokoknya, mulai sekarang Insya Allah Abi akan memenuhi semua kebutuhan Ummi, termasuk kasih sayang dari Abi dan Ummi-nya Ummi," jawab Rahman, mantap.

Syifa memeluk Rahman dengan erat lalu menangis bahagia setelah mendengar jawaban suaminya. Marni ikut merasakan kebahagiaan itu. Ia menyadari, bahwa menantunya memang sudah melakukan banyak hal untuk kebahagiaan Rahman.

Dan itu sudah lebih dari cukup.

* * *

Diva dan Daniel menyambut kepindahan Syifa dan Rahman dengan suka cita. Mereka berdua tak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan membantu mengurus segala keperluan anak dan menantu mereka di rumah yang baru, tepat di sebelah rumah mereka.

"Mi..., bagusnya tempat tidur Syifa di ujung sebelah mana? Dekat jendela atau dekat lemari?," tanya Daniel.

Syifa yang sedang melipat pakaian pun berhenti sesaat. Diva mencegahnya menjawab.

"Dekat jendela saja Bi...," jawab Diva.

"Kenapa aku nggak boleh jawab Mi?," tanya Syifa.

"Abimu lagi senang karena kamu dan Rahman pindah ke sini, tapi dia tidak mau kamu tahu. Malu katanya...," jawab Diva, sambil mengedipkan sebelah matanya dengan jahil.

Syifa terkekeh pelan. Ya..., Abi-nya memang begitu. Selalu saja ada tingkahnya yang membuat orang lain tertawa.

Rahman masuk ke dalam rumah seraya membawa beberapa peralatan dapur yang masih terkemas dalam kardus. Marni pun segera mengeluarkannya dan membantu menyusun di dapur.

"Ibu istirahat aja..., nanti aku yang susun peralatan dapurnya...," ujar Syifa.

"Jangan!!!," jawab Marni dan Diva bersamaan.

Syifa berhenti di tempatnya dan menatap Marni dan Diva dengan ekspresi bingung.

"Oke..., aku nggak akan sentuh apapun," Syifa mundur pelan-pelan.

Daniel muncul di belakang Syifa yang hampir menabraknya karena berjalan mundur. Syifa tersenyum malu pada Abi-nya.

"Anak Abi ceroboh sekali..., kalau kamu jatuh bagaimana? Hati-hati dong sayang..., nanti kamu dan calon cucu Abi kenapa-napa," tegur Daniel khawatir.

Daniel menuntun Syifa menuju sofa. Mereka duduk berdua di sana. Daniel menumpuk bantal di samping dan belakang tubuh Syifa agar merasa nyaman.

"Abi bahagia karena kamu dan Rahman mau tinggal di sini. Abi nggak bisa mengungkapkannya dengan benar Nak, tapi setidaknya Abi lebih memilih untuk menunjukkannya melalui tindakan. Abi nggak mau kamu ceroboh seperti tadi. Janji sama Abi...," pinta Daniel.

Syifa tersenyum dan bersandar di pundak Daniel dengan bahagia.

"Insya Allah Bi..., Syifa janji."

* * *

Imam Pilihan Allah [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang