BAGIAN 36

12K 789 2
                                    

Dengan terus meyakini bahwa Allah itu adil, maka kita akan merasakan bagaimana bahagia di tengah keadilan yang sejati.

* * *

ADIL

Ria menatap sengit ke arah Diva yang tetap menekannya agar tak lagi mengganggu rumah tangga Tio dan Mira. Wanita itu tetap berkeras hati dan menuduh Mira merebut Tio darinya.

"Sadar kamu Ukhti Ria!!! Kamu yang telah bersandiwara dan meminta Akh Tio untuk menolak perjodohan itu!!! Kamu tidak bisa menuduh Ukhti Mira merebut calon jodohmu, karena Akh Tio yang mengkhitbahnya, bukan Ukhti Mira yang mengajukan diri!!!," tegas Diva.

"Tidak!!! Ukhti Mira telah merebut Akh Tio dari saya!!! Titik!!!," balas Ria.

Diva masih juga mencoba menyabarkan dirinya. Ia mendekat pada Ria untuk memberi penjelasan yang lebih baik. Ria memalingkan wajahnya dari Diva.

"Ukhti..., perjodohan itu bukanlah mainan yang bisa seenaknya Ukhti tarik-ulur. Apa yang Ukhti katakan di hadapan Akh Tio waktu itu adalah pukulan berat baginya, sehingga dia berpikir bahwa dirinya memang tidak pantas bagi wanita manapun," ujar Diva.

Ria masih saja memalingkan wajahnya, ia tak mau sama sekali melihat ke arah Diva.

"Kita semua tahu, bagaimana kehidupan Akh Tio selama ini. Jadi meskipun Akh Tio berbuat onar, kenakalan, ataupun menjahili orang lain, kita tak pernah menegurnya, kita tidak pernah membahasnya. Karena kita semua tahu apa yang dia lakukan adalah pelarian dari rasa kecewa terhadap keluarganya sendiri."

Diva berdiri di hadapan Ria dan menangkupkan kedua tangannya di pipi wanita itu dengan lembut.

"Penolakanmu, adalah hal paling menyakitkan bagi hatinya, dan bagi Akh Tio, Ukhti Mira adalah pelipur lara paling tepat yang bisa mengobati semua rasa sakit di hatinya. Kamu harus belajar untuk menerima konsekuensi dari kesalahanmu sendiri. Apa kamu mau, semua orang menilaimu tak jauh dari Almarhumah Ukhti Sarah? Apakah itu hal yang kamu cari selama bertahun-tahun hidup di pesantren? Pikirkan baik-baik Ukhti Ria..., jangan sia-siakan hidupmu," saran Diva.

Ria merasakan sakit yang luar biasa ketika Diva memintanya untuk menerima kenyataan bahwa Tio memang tak ditakdirkan untuknya. Tiba-tiba, ia menyesali setiap kata-kata yang pernah keluar dari mulutnya.

'Mengapa semuanya jadi seperti ini?.'

* * *

Mira merasa nyaman berada di perpustakaan melebihi hari-hari sebelum ia mengandung. Ia merasa lebih lega dan tentram selama berada di tengah tumpukan buku-buku.

Apakah karena pengaruh mengidam???

Tio masuk ke dalam perpustakaan sambil membawakan makan siang yang dibelinya di luar pesantren untuk Mira. Pria itu tersenyum manis sekali ke arah isterinya yang selalu sibuk mencatat pengunjung dan buku pinjaman.

"Ummi..., ayo makan siang dulu..., nanti jagoan Abi kelaparan di dalam," pinta Tio sambil mengusap perut Mira dengan lembut.

Mira tersenyum malu-malu, wajahnya mulai kembali memerah akibat apa yang Tio lakukan padanya. Tio terkekeh pelan ketika melihat perubahan wajah Mira yang begitu drastis.

Ya, begitulah Mira. Meskipun sudah menjadi isterinya, tetap saja rasa malu terhadap Tio tidak pernah berubah. Dia tetap menjadi seorang Mira yang selalu berdebar-debar ketika Tio menggodanya, dia tetap merasa malu ketika Tio merayunya, dan tetap mencintai Tio apa adanya meskipun terkadang pria itu memunculkan sifat jahilnya.

Dia tak pernah berubah.

"Mau disuapin Mi???," tawar Tio.

Mira menggelengkan kepalanya sambil menahan senyum seraya mengunyah makanan. Tio menatapnya dari jarak lebih dekat sambil menopang dagunya dengan telapak tangan.

"Nanti anak kita mirip siapa ya? Mirip sama Ummi atau Abi???," pikir Tio.

"Kalau laki-laki harus mirip sama Abi..., Ummi suka kalau lihat matanya sipit seperti mata Abi...," jawab Mira.

"Jadi kalau anak kita perempuan, harus mirip sama Ummi?," tanya Tio.

Mira menggeleng.

"Nggak...! Kalau anak kita perempuan..., ya tetap harus mirip sama Abi..., Ummi kan sudah bilang, kalau Ummi suka lihat matanya yang sipit seperti Abi."

Tio tertawa, begitupula dengan Mira.

"Oke..., deal!!! Tapi janji ya..., kalau anak kita mirip semua sama Abi, sifatnya harus mirip semua sama Ummi," pinta Tio.

Mira menatap Tio seraya mengerenyitkan keningnya. Ia bertanya-tanya dalam hati -  kenapa???

"Kenapa harus sifatnya mirip sama Ummi?," tanya Mira, pada akhirnya.

Tio kembali mengelus perut Mira yang masih rata. Ia benar-benar merasa bersyukur saat itu.

"Karena Abi mau, semua anak-anak Abi memiliki hati seperti Ummi-nya, yang bisa menerima semua kekurangan, keadaan, dan juga kenyataan tentang Abi meskipun semuanya buruk sekaligus menyakitkan," jawab Tio.

Pria itu mengecup punggung tangan Mira dengan lembut.

"Hanya saat bersama Ummi, Abi merasa begitu diterima dengan ikhlas. Hati Abi di penuhi dengan rasa cinta yang luar biasa, sehingga akhirnya Abi benar-benar meyakini, bahwa Allah memang adil terhadap semua hamba-Nya yang beriman. Abi mau, semua anak-anak Abi memiliki hati seperti Ummi, agar tidak ada lagi orang yang merasa tersisih ataupun terasingkan," jelasnya.

Mira meneteskan airmatanya. Entah sudah seberapa sering ia meneteskan airmata bahagia ketika berbicara dengan Tio - setelah mereka menikah. Yang jelas, bagaimanapun itu, kapanpun itu, Mira selalu merasa bahagia bersamanya.

'Terima kasih Ya Allah, karena kau telah memberikan pria pilihan terbaik untuk menjadi Imam-ku.'

* * *

Imam Pilihan Allah [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang