BAGIAN 31

11.6K 802 3
                                    

Yakin, membuat segalanya jadi mungkin. Cinta, membuat segalanya jadi mudah.

* * *

PEREKAT HATI

Tio menatap Rahman dengan tatapan paling jahil yang pernah pria itu perlihatkan. Rahman hanya pasrah saja karena sudah digoda terus-menerus oleh pria itu sejak pagi.

"Baru kutinggal berbulan madu selama seminggu, kamu sudah buat perubahan paling drastis," sindir Tio.

Rahman hanya mengulum senyum mendengar hal itu. Tio pun meninju bahunya dengan gemas.

"Hei!!! Selamat!!! Kamu akan segera jadi Abi buat calon bayimu!!!," Tio mengguncang-guncang bahu Rahman.

Rahman akhirnya tertawa.

"Iya..., iya..., Syukron Akh...," jawab Rahman.

Tio terkekeh.

"Gimana kabarmu Akh?," tanya Rahman.

"Alhamdulillah..., aku baik-baik saja. Isteriku pun begitu..., aku akan mulai mengajar lagi besok dan dia juga akan kembali menjaga perpustakaan seperti biasanya," jawab Tio.

"Kemana saja kamu selama seminggu ini? Teleponmu nggak pernah aktif...," Rahman meminum tehnya.

"Namanya juga bulan madu, masa ponsel tidak kumatikan. Nanti kamu mengganggu."

Rahman menimpuk tutup gelas ke arah Tio, sementara pria itu hanya terkekeh sambil menghindar.

"Jadi bagaimana, kamu sudah memutuskan untuk menerima tawaran dari Bapak Mertuamu?," tanya Tio.

Rahman mengangguk.

"Iya, sudah. Aku sudah mulai mengajar di pesantren sejak empat hari yang lalu. Apalagi, sekarang isteriku sedang hamil, jadi lebih baik memang aku mengajar di sana agar dia tidak jauh-jauh dariku," jawab Rahman.

"Kamu serius soal isterimu yang tidak mengidam tapi tidak bisa jauh-jauh darimu?."

Rahman mengangguk.

"Kok bisa? Bukannya setiap wanita yang mengandung pasti akan mengidam ya???."

"Sepertinya sih keturunan... Ummi tidak mengidam waktu hamil Aryan, dan juga tak bisa jauh-jauh dari Abi," jawab Rahman.

"Wah..., kalau hamilnya model begitu aku mau banget Akh..., kan enak kalau isteriku minta deket-deket terus," goda Tio.

Rahman terkekeh.

"Iya tapi kasihan juga Akh..., karena kalau kita jauh, dia pasti gelisah," balas Rahman.

Tio menatapnya serius.

"Serius??? Ukhti Syifa akan gelisah kalau kamu jauh??? Sulit dong kalau begitu???."

"Ya maka dari itu, aku akhirnya menerima tawaran  Abi untuk mengajar di pesantren. Isteriku sudah kusuruh berhenti mengajar, kasihan kalau dia terlalu capek," jelas Rahman.

Mira dan Syifa pun muncul di ruang tamu setelah mereka berdua mengobrol di dapur.

"Kita pulang Bi?," ajak Syifa.

"Iya..., ayo kita pulang," jawab Rahman.

"Hati-hati di jalan, jangan terlalu ngebut bawa motornya Akh. Kasihan calon bayi kalian, takutnya ada apa-apa," Mira memperingatkan.

"Iya Ukhti, Insya Allah saya tidak akan ngebut," balas Rahman.

Ketika Rahman dan Syifa telah pulang, Mira pun segera membereskan cangkir di atas meja ruang tamu untuk di cuci. Tio menutup pintu lalu menyusul isterinya ke dapur.

Sebuah lengan melingkar di pinggang Mira dengan lembut. Mira tersenyum dan tetap melanjutkan cuci piringnya. Tio mengecup pipi isterinya dengan hangat.

"Abi sayang sama Ummi...," bisik Tio.

"Ummi juga sayang sama Abi...," balas Mira.

"Ummi mau punya anak berapa?," tanya Tio.

"Berapa ya? Terserah Allah aja mau kasih berapa...," jawab Mira.

"Abi nggak mau Ummi kesusahan jaga anak-anak. Makanya Abi tanya Ummi mau punya berapa anak...," jelas Tio.

Mira berbalik dan membalas pelukan Tio dengan erat.

"Bi..., anak adalah titipan dari Allah, anak adalah rezeki dari Allah. Jadi betapapun merepotkannya ketika kita memiliki anak, jangan pernah disesali. Mereka adalah anugerah dan bagian dari kebahagiaan dalam hidup kita," ujar Mira.

Tio tersenyum seraya mengecup kening Mira dengan mesra. Kedua matanya berkaca-kaca mendengar jawaban isterinya. Mira menatapnya dengan terkejut.

"Abi kok nangis?," tanya Mira seraya menyeka airmata di pipi suaminya.

"Selama ini nggak pernah ada satu orang pun yang menganggap kelahiran Abi adalah sebuah kebahagiaan. Ibu meninggal waktu melahirkan Abi,  Bapak juga menyusul karena sakit dan tidak mampu berobat. Sanak saudara tidak ada yang menganggap Abi, karena Abi memutuskan beragama Islam. Jadi selama ini..., Abi terus saja merasa sendiri, sampai akhirnya Allah menyatukan Abi dan Ummi seperti ini," jawab Tio.

Mira mengecup kening Tio dengan lembut, meskipun agak sulit - karena Tio lebih tinggi darinya - tapi tetap ia lakukan.

"Sekarang Abi nggak sendiri lagi. Abi punya Ummi..., yang Insya Allah akan terus ada di samping Abi sampai akhir hayat yang memisahkan kita," janji Mira.

Tio mengangguk dan memeluk isterinya erat-erat. Mira menikmati setiap kasih sayang yang ia terima dari Tio. Ia telah mengikrarkan dalam hatinya, bahwa tidak akan ada yang namanya kesedihan. Bersama Tio, hanya akan ada kebahagiaan dalam hidup mereka.

Insya Allah.

'Biarkan hatimu tetap di sini, agar aku bisa menjaganya sampai Allah menentukan batas akhir usia kita.'

* * *

Imam Pilihan Allah [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang