BAGIAN 22

12K 828 3
                                    

Sesuatu yang berkaitan dengan hati pasti ada kaitannya dengan perasaan. Maka jangan pernah berhenti untuk mencintai Allah di dalam hatimu.

* * *

BENIH-BENIH RASA

Syifa menghubungi Mira pagi-pagi sekali, entah kenapa ia merasa sangat rindu pada wanita itu. Mungkin karena mereka sudah jarang bertemu.

"Halo Assalamu'alaikum Ukhti Syifa..., bagaimana kabarmu?," Mira begitu bersemangat menjawab telepon itu.

Syifa tersenyum senang.

"Wa'alaikum salam Ukhti Mira..., Alhamdulillah aku baik-baik saja. Bagaimana dengan Ukhti sendiri? Apakah Ukhti juga baik-baik saja?," Syifa bertanya balik.

"Alhamdulillah..., saya baik-baik saja di sini. Hanya kekurangan satu hal," jawab Mira.

"Apa yang kurang Ukhti? Mau kubantu carikan?."

Mira tertawa.

"Yang kurang dalam hidupku di sini cuma kamu..., rasanya sepi karena jarang ada yang ajak saya bicara seperti kamu."

Syifa pun ikut tertawa.

"Aduh Ukhti..., pagi-pagi jangan buat aku terbawa perasaan, aku kan jadi ge-er."

Mira kembali tertawa lepas meskipun ia mencoba untuk menahannya. Ia benar-benar merasa rindu seperti yang Syifa rasakan sehingga tak ada batasan baginya untuk tertawa bersama wanita itu di telepon.

Saat ia berbalik, ia dikejutkan dengan kehadiran Tio yang entah sejak kapan berada di dekatnya dan memperhatikannya dengan seksama. Rasa gugup pun tiba-tiba menyerang begitu saja.

"Ukhti Syifa, sudah dulu ya..., nanti saya telepon lagi," pamit Mira.

"Baiklah..., Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

Mira menutup sambungan telepon dan menatap Tio yang masih saja berada di sampingnya.

"Akh Tio ada perlu apa? Kok datang tiba-tiba tanpa bersuara?," tanya Mira.

Tio tersenyum.

"Ini pertama kalinya saya melihat Ukhti Mira berbicara dengan seseorang hingga tertawa lepas. Hanya dengan Ukhti Syifa saja kah Ukhti bisa berkespresi seperti itu?," tanya Tio.

Mira menundukkan wajahnya, jantungnya berdebar hebat. Tio tahu, kalau ia takkan dapat jawaban apapun dari Mira. Ia pun beranjak pergi.

Mira masih berusaha menetralkan debaran jantungnya dan merasa lega karena Tio pergi dari hadapannya.

"Ukhti Mira...," panggil Tio, yang membuat Mira menoleh ke arahnya.

Pria itu tersenyum.

"Saya suka kalau Ukhti lebih banyak bicara dan tertawa..., jadi sering-seringlah menelepon pada Ukhti Syifa," saran Tio.

Wajah Mira memerah seketika, ia buru-buru masuk kembali ke dalam perpustakaan untuk menghindari Tio. Tio terkekeh sendiri melihat tingkah Mira.

"Kok bisa kamu suka sama saya? Nah kamu tahu sendiri kalau saya ini jahil...," gumam Tio, pada dirinya sendiri.

* * *

"Gimana? Ummi sudah tanya sama Ukhti Mira tentang Akh Tio?," tanya Rahman.

"Belum Bi..., Ukhti Mira sepertinya ada keperluan mendesak sehingga memutus sambungan telepon dengan cepat," jawab Syifa.

Rahman merangkul isterinya dengan hangat.

"Kira-kira, Akh Tio benar-benar mencari Ukhti Mira atau tidak ya Bi? Ummi cemas...," tanya Syifa.

"Alangkah bagusnya kalau kita sebaiknya menengok Ukhti Mira, biar Ummi nggak cemas terus seperti ini," saran Rahman.

Syifa mengagguk tanda setuju dengan saran itu. Mereka berdua bergegas bersiap untuk pergi ke pesantren Al-Muttaqin.

Pukul satu siang, mereka pun tiba di sana dan segera bertemu dengan Mira. Mira begitu bahagia ketika melihat kedatangan Syifa dan Rahman.

"Bagaimana kabar Ukhti?," tanya Rahman.

"Alhamdulillah baik Akh Rahman, dan saya harap kalian juga baik-baik saja," jawab Mira.

"Alhamdulillah kami berdua baik-baik saja Ukhti. Hanya saja, kami ke sini untuk membicarakan sesuatu yang membuat kami cemas beberapa hari ini," ujar Syifa.

"Hal apa itu hingga membuat kalian cemas? Ayo katakan saja, siapa tahu saya bisa membantu," ujar Mira.

Rahman dan Syifa saling menatap.

"Ini bukan perkara kami, tapi perkara mengenai Ukhti Mira," jelas Rahman.

Mereka duduk di meja-meja perpustakaan dan saling berhadapan. Mira menantikan inti pembicaraan itu.

"Begini Ukhti, seminggu yang lalu kami melihat pertengkaran di antara Ukhti Ria dan Akh Tio. Pertengkaran itu terjadi di samping madrasah. Ukhti Ria mengucapkan sumpah serapah di hadapan Akh Tio dan memintanya menolak perjodohan pada Abah," ujar Rahman.

Mira terpaku di tempatnya.

"Ukhti Ria bahkan mengungkit semua kenakalan Akh Tio dan menghinanya terang-terangan. Akh Tio tidak marah, tapi juga tak menunjukkan kalau dia baik-baik saja. Dan ketika Akh Tio benar-benar menolak perjodohan itu, Bu Nyai akhirnya memberi tahu kalau Ukhti Mira menyukai Akh Tio," jelas Syifa.

Mira semakin merasakan sakit di dadanya. Mengapa ia merasa tidak terima karena Tio diperlakukan dengan buruk???

"Akh Tio pun bertanya pada kami di mana keberadaan Ukhti, kami memberitahunya dengan pertimbangan bahwa dia baru saja terluka karena sikap Ukhti Ria padanya. Tapi di saat bersamaan, kami takut kalau Ukhti Mira akan marah pada kami karena memberi tahu Akh Tio di mana keberadaan Ukhti," lanjut Rahman.

Mira menatap mereka berdua.

"Akh Tio memang ada di sini, dia juga sudah bilang pada saya kalau Ukhti Ria menolak perjodohan itu. Tapi dia tidak pernah mengatakan apa yang Ukhti Ria lakukan padanya. Saya malah dengan enteng mengatakan bahwa dia akan dapat pengganti yang lebih baik," ujar Mira, merasa bersalah.

Syifa berpindah ke samping Mira dan memeluknya.

"Ukhti kan tidak tahu, lagipula saya yakin kalau Akh Tio memaklumi ketidak tahuan Ukhti Mira. Ukhti jangan merasa bersalah," bujuk Syifa.

Mira mengangguk, ia mencoba menenangkan hatinya.

"Begini saja, kalau memang Ukhti ingin membantu Akh Tio, Ukhti bisa sering-sering mengajaknya bicara. Siapa tahu, apa yang Ukhti lakukan bisa membuat luka di hati Akh Tio menghilang. Allah selalu membukakan jalan bagi hamba-Nya yang saling membantu," saran Rahman.

Waktu menunjukkan pukul setengah tiga sore ketika Syifa dan Rahman akhirnya berpamitan untuk pulang pada Mira. Mira kembali menyendiri, namun kali ini ia lebih memilih menyendiri di depan perpustakaan, bukan di dalam perpustakaan.

Tio baru selesai mengajar ketika melihat Mira yang berdiri di depan perpustakaan. Ia memutuskan untuk mendekat pada wanita itu.

"Tidak bersiap untuk shalat ashar Ukhti?," tanya Tio seraya tersenyum.

Mira menatapnya dan membalas senyuman pria itu dari balik niqob-nya.

"Baru saja saya akan ke masjid Akh...," jawab Mira.

Tio merasa lebih baik ketika mendengar jawaban wanita itu.

'Alhamdulillah..., akhirnya kau mau menjawab pertanyaanku, meskipun yang paling sederhana.'

* * *

Imam Pilihan Allah [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang