BAGIAN 12

12.9K 934 7
                                    

Salah satu yang paling Allah cintai adalah orang yang mampu menjaga dirinya dari hal-hal buruk.

* * *

BERBATAS

Syifa masuk ke perpustakaan madrasah setelah selesai memberikan materi di masjid. Mira sedang sibuk mencatat buku yang baru saja dikembalikan oleh para santri maupun santriwati.

Rahman terlihat sedang berdiri di hadapan sebuah rak buku sambil membaca. Syifa meletakkan tasnya di meja lalu berjalan menuju rak yang ada di baliknya.

"Assalamu'alaikum...," sapa Syifa dari balik rak buku.

Rahman mengangkat wajahnya dari buku yang sedang ia baca. Ia pun tersenyum ketika menyadari bahwa Syifa memilih untuk berbicara dengannya dari balik rak buku.

Ia tak merasa keberatan.

"Wa'alaikum salam Ukhti..., apakah kegiatan Ukhti sudah selesai hari ini?," tanya Rahman.

Syifa tersenyum diam-diam.

"Alhamdulillah Akh Rahman..., kegiatan saya siang ini sudah selesai. Kemungkinan nanti malam baru ada kegiatan lagi bersama santriwati di rumah pondok, Insya Allah," jawab Syifa.

Rahman pun tersenyum.

"Kemarin dulu, Abi dan Ummi Ukhti Syifa memanggil saya ke pesantren mereka. Mereka membicarakan tentang permintaan mereka agar saya dan Ukhti tinggal di sana setelah menikah. Ibu saya juga boleh ikut tinggal dengan kita, dan saya diminta memikirkan hal ini," jelas Rahman.

"Lalu apa keputusan Akh Rahman?," tanya Syifa.

"Ibu bilang pada saya, bahwa Beliau setuju untuk tinggal dengan kita setelah menikah nanti. Tapi di sisi lain, saya juga sangat tahu bahwa Ibu tidak bisa jauh dari Kakak dan Kakak Ipar saya, terlebih karena mereka sudah memiliki Zulfa," jawab Rahman dengan jujur.

Mira yang awalnya sedang sibuk mendata buku, mulai merasa tertarik ketika melihat serta mendengar percakapan kedua insan yang dihalangi oleh rak buku tersebut.

Diam-diam, ia mengagumi cara Rahman dan Syifa dalam berkomunikasi. Mereka tak ingin terlihat berdua-duaan, yang tentunya akan menjadi fitnah bagi orang yang melihatnya.

"Kalau memang demikian, sebaiknya kita tidak tinggal di pesantren seperti yang Abi dan Ummi saya inginkan. Kita bisa mencari rumah yang sederhana tapi berdekatan dengan rumah Bibi Risya, sehingga kita bisa menengok Ibu setiap hari," saran Syifa.

"Lalu bagaimana dengan permintaan Ummi dan Abi?," tanya Rahman.

Syifa tersenyum.

"Akh Rahman, permintaan mereka memang sangat berarti bagi saya. Tapi saat saya sudah menikah nanti, saya harus menghormati apa yang Akh Rahman anggap lebih penting. Akh Rahman adalah Imam dalam keluarga, dan saya harus mematuhi Imam saya, jika apa yang dikatakannya adalah kebenaran. Lagipula, kita tidak boleh egois. Memisahkan Ibu dan Bibi Risya adalah hal yang akan membuat Ibu tidak bahagia. Sekalipun kita mengurus Ibu dengan baik, tapi jika hatinya tidak bahagia maka semua yang kita lakukan tidak ada gunanya. Saya tidak mau memberikan derita batin bagi seorang Ibu yang tidak ingin berjauhan dari puterinya," ujar Syifa.

Rahman terlihat berpikir.

"Ummi juga tidak ingin berjauhan darimu, Ummi ingin sekali kamu berada di dekatnya. Lalu apakah saya tidak berada dalam posisi memberi derita batin bagi Ummi karena harus berjauhan darimu?," tanya Rahman.

"Akh Rahman..., kita tentunya bisa mensiasati hal tersebut dengan mudah. Apa sulitnya bagi kita mengatur jadwal berkunjung ke rumah Orang tua? Kita bisa berkunjung ke rumah Ummi seminggu dua kali, jika jadwal mengajar saya tidak ketat. Ummi juga pasti akan mengerti," jawab Syifa.

Rahman pun tersenyum, ia senang mendengar bahwa Syifa mau berkompromi soal tempat tinggal dan mengatur jadwal berkunjung pada Orang tua.

"Masalah rumah..., jujur saja Ukhti, saya belum mampu untuk membeli sebuah rumah bahkan jika rumah itu sudah yang paling sederhana. Penghasilan saya belum cukup untuk memenuhi hal itu," Rahman mengungkapkannya dengan jujur.

"Akh..., di manapun kita akan tinggal, bagaimana pun caranya, saya tetap akan ikut bersama Akh Rahman. Sekalipun kita harus mengontrak rumah yang kecil, saya tidak keberatan. Jangan pernah membebani diri dengan persoalan kecil seperti itu, Allah lebih menyukai hamba-Nya yang bisa menerima keadaan ketimbang hamba-Nya yang berkeluh kesah. Insya Allah, saya juga akan ikut membantu jika memang Akh berniat membeli sebuah rumah. Rezeki yang Akh Rahman miliki dan rezeki yang saya miliki adalah rezeki kita bersama jika kita sudah menikah nanti. Allah akan lebih ridha jika kita saling terbuka dalam hal sekecil apapun."

Hati Rahman terasa begitu sejuk setelah mendengar jawaban Syifa. Ia begitu bahagia serta tak lagi merasa ada beban dan rasa takut untuk melangkah bersamanya.

"Alhamdulillah jika demikian Ukhti, Syukron karena Ukhti mau mengerti kondisi saya saat ini," ujar Rahman.

"Afwan Akh..., sama-sama. Lagipula, bukankah saya sudah bilang kalau cinta itu tidak egois. Ingatlah terus hal itu Akh, jangan ingat yang lain. Assalamu'alaikum...," pamit Syifa.

Rahman benar-benar merasa hatinya berdesir hebat. Ia sangat menyukai cara Syifa  mengungkapkan perasaan dengan caranya yang unik. Wanita itu memang berbeda dari yang lain.

"Wa'alaikum salam," jawab Rahman, lirih.

Pria itu pergi dari perpustakaan setelah Syifa pergi lebih dulu. Mira mengikuti jejak mereka berdua dan berdiri di ambang pintu perpustakaan.

"Subhanallah..., betapa Allah begitu mencintai mereka berdua hingga dengan ridha akan menyatukan mereka dalam ikatan pernikahan. Sungguh, aku berharap tak ada satu pun halangan untuk mereka berdua. Amin," gumam Mira, pada diri sendiri.

* * *

Imam Pilihan Allah [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang