BAGIAN 16

13.2K 884 11
                                    

Ketika Allah mempersatukan dua hati dalam takdirnya, maka tidak ada satu pihak pun yang bisa menentangnya.

* * *

BERSAMAMU

Ardi menatap ke arah Syifa yang sedang membantu Marni memasak di dapur. Dia dan Rahman belum menempati rumah mereka sendiri karena Syifa ingin tinggal dengan Marni untuk beberapa hari.

"Jadi..., sekarang kamu memanggil saya Paman atau Kakak?," tanya Ardi.

Syifa tertawa dari balik niqob-nya.

"Kepengen sekali kupanggil Kakak ya? Biar merasa awet muda?," tebak Syifa.

Ardi tertawa tanpa ampun, begitupula dengan Marni.

"Kok kamu bisa tahu tujuanku?," tanya Ardi, lagi.

"Karena sudah jelas tak ada tujuan yang lain selain ingin dibilang awet muda..., tenang..., mulai sekarang aku pasti panggil Kakak, Kak Ardi...," jawab Syifa.

Ardi terlihat begitu lega, Risya masuk ke dapur dan menyerahkan Zulfa pada Ardi. Ia pun segera ikut membantu di dapur.

"Kamu itu harusnya istirahat saja, memangnya nggak capek setelah seharian kemarin berdiri di pelaminan?," tanya Risya, khawatir.

"Kalau capek ya sudah jelas Kak, tapi masa aku harus tidur terus di kamar. Nggak ada yang bantu Ibu," jelas Syifa.

Rahman masuk ke dalam rumah dari pintu belakang. Beberapa bagian bajunya terlihat kotor.

"Sudah kuperbaiki pipa airnya Bu, coba dicek lagi di kamar mandi," pinta Rahman.

Marni pun bergegas ke kamar mandi dan memutar keran air yang tadi macet karena pipanya tersumbat. Air pun mengalir kembali dengan lancar.

"Alhamdulillah Nak..., sudah lancar airnya," ujar Marni, sumringah.

Rahman pun tersenyum dan segera keluar dari dapur menuju kamarnya. Syifa meminta izin sebentar pada Risya. Ia mengikuti langkah Rahman.

"Abi mau mandi?," tanya Syifa.

Rahman pun menoleh ke arahnya.

"Iya Mi, Abi mau mandi," jawab Rahman.

Syifa pun memberikan handuk pada Rahman, ia segera membereskan baju suaminya yang kotor dan menyiapkan yang baru dari dalam lemari.

Lima belas menit kemudian Rahman sudah selesai mandi, Ia pun memakai baju yang sudah Syifa siapkan di atas ranjang. Isterinya itu masuk kembali ke kamar tak lama kemudian.

"Kita ke rumah baru yuk..., Ummi pasti mau lihat rumah yang akan kita tempati kan?," ajak Rahman.

Syifa membuka niqob-nya dan tersenyum ke arah Rahman. Ia mendekat dan mengecup pipi kiri Syifa dengan lembut. Wajah Syifa memerah, hatinya terasa begitu hangat.

"Iya..., kita ke rumah baru setelah Ummi mandi ya..., badan Ummi rasanya agak kurang enak," jawab Syifa.

Rahman pun segera menyentuh dahi Syifa dengan punggung tangannya. Suhu tubuh Syifa terasa lebih panas dari suhu tubuh normal. Wajahnya memucat.

Syifa segera dibaringkan di ranjang oleh Rahman, lalu ia segera menuju ke dapur untuk mengambil air hangat.

"Kamu mau minum air panas?," tanya Risya.

"Bukan Teh..., Syifa demam, aku mau kompres dia," jawab Rahman, terburu-buru.

Marni pun segera meninggalkan pekerjaannya dan menyusul langkah Rahman bersama Risya. Syifa terlihat semakin pucat.

"Tuh kan..., tadi aku bilang juga apa, kamu terlalu capek Dek..., harusnya kamu istirahat," omel Risya, yang khawatir.

Marni segera duduk di samping Syifa dan mengusap wajah dan lehernya.

"Ibu buatkan bubur ya, biar perutmu lebih enak. Tapi janji, jangan kemana-mana dulu hari ini. Kalau ada jadwal mengajar minta izin saja, jangan memaksakan diri," ujar Marni dengan lembut.

Syifa tersenyum pada Marni.

"Iya Bu..., tapi Ibu nggak perlu repot-repot, nanti Ibu ikut kecapekan juga," pinta Syifa.

Marni tersenyum.

"Kamu itu anak Ibu juga, jadi sudah seharusnya Ibu ikut memperhatikanmu. Kamu nggak perlu risau."

Rahman membawakan obat penurun panas. Marni dan Risya pun keluar dari kamar itu.

"Ummi minum obat dulu ya," ujar Rahman, seraya menyodorkan segelaa air putih pada Syifa.

Syifa menerimanya dan segera meminum obat. Rahman kembali meletakkan gelas itu saat Syifa sudah meminum obatnya. Mereka saling menatap beberapa saat.

"Maafin Ummi ya Bi..., baru juga menikah tapi sudah bikin Abi susah," ujar Syifa.

Rahman mengusap kedua pipi Syifa yang terasa begitu panas karena demam. Ia pun mengecup kening isterinya itu dengan lembut dan lama.

Syifa memejamkan kedua matanya dan menikmati kebahagiaan yang Allah kirim untuknya melalui Rahman.

"Ummi nggak menyusahkan sama sekali. Abi justru yang merasa bersalah karena tidak memperhatikan kondisi Ummi lebih awal. Kalau saja Abi tahu Ummi lelah, pasti Abi akan mencegah Ummi untuk tidak beraktivitas," balas Rahman.

Kedua pipi Syifa kembali memunculkan semburat kemerahan karena jarak wajahnya dan wajah Rahman begitu dekat. Rahman tersenyum bahagia, ia begitu menyukai wajah isterinya ketika menunjukkan perasaan malu-malu. Ia pun kembali mengecup pipi kanan Syifa dengan hangat.

Pandangan mata mereka saling bertemu, kedua tangan mereka kini saling bertaut. Debaran jantung mereka menjadi nada-nada pengiring bersatunya dua hati yang saling mencintai.

Untuk pertama kalinya, Allah mempersatukan mereka..., jiwa dan raga.

Subhanallah...

Alhamdulillah...

Allahu Akbar...

Laa Illaha Illallah...

* * *

Imam Pilihan Allah [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang