BAGIAN 29

11.5K 796 4
                                    

Diamnya seorang wanita tak selamanya menandakan bahwa ia setuju. Terkadang diamnya seorang wanita adalah satu tujuan untuk menjaga perasaan orang lain.

* * *

BELAJAR

Rahman menatap dirinya sendiri di depan cermin. Rasa gugup menderanya sejak semalam setelah menerima telepon dari Daniel. Mertuanya itu memanggilnya untuk mulai belajar menyesuaikan diri dengan pesantren.

"Abi nggak perlu gugup, Ummi yakin kalau Abi bisa," ujar Syifa memberi semangat.

Rahman tersenyum seraya memakai baju koko yang disodorkan oleh isterinya.

"Ummi pulang mengajar jam berapa? Nanti Abi jemput," tanya Rahman.

"Abi nggak perlu jemput, Ummi bisa pulang bersama Bibi Salwa. Abi fokus saja hari ini di pesantren. Jangan pikirkan yang lain," jawab Syifa, seraya tersenyum.

Rahman merasa lega karena Syifa begitu pengertian. Allah begitu baik karena mengirimkan pendamping yang sangat luar biasa ke dalam hidupnya. Setiap hari, Rahman tak pernah berhenti mensyukuri hal itu.

Tepat pukul delapan pagi, Rahman tiba di pesantren Al-Mahmudah. Ia bergegas menemui Daniel yang sudah menunggunya.

"Assalamu'alaikum Bi...," sapa Rahman.

Daniel tersenyum.

"Wa'alaikum salam Nak..., ayo kita langsung saja menuju ke masjid. Shalat Dhuha sudah selesai lima menit yang lalu," ajak Daniel.

Rahman mengangguk dan mengikuti langkah Daniel menuju masjid. Di sana sudah terlihat banyak santri dan santriwati yang sedang menunggu kedatangan pemberi materi.

Daniel sengaja menunjuk Rahman hari itu, karena ia ingin Rahman segera beradaptasi di pesantren untuk menggantikan kepemimpinannya.

"Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh," ujar Daniel yang sudah berada di mimbar.

"Wa'alaikum salam warrahmatullahi wabarakatuh," jawab mereka semua, serempak.

"Hari ini, saya tidak akan memberikan materi, tapi Ustadz baru yang akan mulai mengajar di sini. Namanya Ustadz Rahman, dan kalian akan menerima materi darinya setiap hari setelah shalat dhuha," jelas Daniel.

Banyak di antara para santri dan santriwati itu yang melihat ke arahnya yang masih berdiri di belakang. Rahman hanya tersenyum.

"Silahkan Nak Rahman...," panggil Daniel.

Rahman pun bergegas menuju ke mimbar, sementara Daniel pun pergi dari masjid meninggalkannya bersama para santri dan santriwati.

Ia menarik nafas dalam-dalam untuk mempersiapkan diri. Kini semua mata benar-benar menatap ke arahnya.

"Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh," ujar Rahman, berusaha tenang.

"Wa'alaikum salam warrahmatullahi wabarakatuh," jawaban serentak dari seluruh santri dan santriwati.

"Allahumma sholi 'ala Muhammad, wa 'ala ali syaidina Muhammad, wa 'ala alihi wa shohbihi ajma'in, amma ba'du. Robbishrohlii shodrii wa yassir lii amrii wahlul 'uqdatam mil lisaanii yafqohuu qoulii."

Rahman berhenti sejenak.

"Nama saya Rahman Sofyan, kalian boleh panggil saya Kak Rahman saja, tidak perlu terlalu formal," Pria itu tersenyum.

Semua santri dan santriwati membalas senyumannya dengan perasaan lega. Mereka terlihat takut pada pembimbing baru, sehingga Rahman harus membuat mereka rileks selama ia memberikan materi.

"Hari ini akan saya mulai dengan materi tentang tawakkal."

Rahman memberi waktu bagi para santri dan santriwati untuk mempersiapkan buku catatan mereka.

"Tawakkal dalam bahasa Arab di sebut tawakkul berarti mewakilkan atau menyerahkan. Dalam agama Islam, tawakkal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan atau menanti akibat dari suatu keadaan," jelas Rahman.

Rahman melihat dengan teliti dan memastikan bahwa mereka semua mencatat sekaligus mencerna apa yang ia sampaikan.

"Imam Al-Ghazali menyatakan definisi tawakkal ialah menyandarkan kepada Allah subhanahu wa ta'ala tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepada-Nya dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa yang tenang dan hati yang tenteram. Dan menurut Abu Zakaria Ansari, tawakkal ialah keteguhan hati dalam menyerahkan urusan kepada orang lain. Sifat yang demikian itu terjadi sesudah timbul rasa percaya kepada orang yang diserahi urusan tadi. Artinya, ia betul-betul mempunyai sifat amanah atau terpercaya terhadap apa yang diamanatkan dan ia dapat memberikan rasa aman terhadap orang yang memberikan amanat tersebut."

Para santri dan santriwati masih memperhatikan Rahman dengan baik.

"Tawakkal adalah suatu sikap mental seorang yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah, karena di dalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan segala-galanya, pengetahuan-Nya Maha Luas, Dia yang menguasai dan mengatur alam semesta ini. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan segala persoalannya kepada Allah. Hatinya tenang dan tenteram serta tidak ada rasa curiga, karena Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Sementara beberapa orang, ada yang salah paham dalam melakukan tawakkal. Dia enggan berusaha dan bekerja, tetapi hanya menunggu. Orang semacam ini mempunyai pemikiran, tidak perlu belajar, jika Allah menghendaki pandai tentu menjadi orang pandai atau tidak perlu bekerja, jika Allah menghendaki menjadi orang kaya tentulah kaya, dan lain sebagainya. Semua itu sama saja dengan seorang yang sedang lapar perutnya, sekalipun ada berbagai makanan, tetapi ia berpikir bahwa jika Allah menghendaki ia kenyang, tentulah kenyang. Jika pendapat ini dipegang teguh pasti akan menyengsarakan diri sendiri," jelas Rahman.

Beberapa dari mereka tersenyum saat mendengar contoh yang Rahman berikan. Rahman memaklumi hal itu.

"Menurut ajaran Islam, tawakkal itu adalah tumpuan terakhir dalam suatu usaha atau perjuangan. Jadi arti tawakkal yang sebenarnya ialah berserah diri kepada Allah subhanahu wa ta'ala setelah berusaha keras dalam berikhtiar dan bekerja sesuai dengan kemampuan dalam mengikuti sunnah Allah yang sudah ditetapkan. Misalnya, seseorang yang meletakkan sepeda di depan rumah, setelah dikunci rapat barulah ia bertawakkal. Pada zaman Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam, ada seorang sahabat yang meninggalkan untanya tanpa diikat lebih dahulu. Ketika ditanya, mengapa tidak diikat, ia menjawab, 'Saya telah benar-benar bertawakkal kepada Allah'. Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam tidak membenarkan jawaban tersebut dan berkata, 'ikatlah dan setelah itu bolehlah engkau bertawakkal'."

Para santri dan santriwati yang mendengarkan materi itu pun mengerti dengan amat baik. Rahman mulai merasa lega.

"Baiklah, sekian dulu materi dari saya hari ini. Insya Allah besok kita akan bertemu lagi di sini setelah shalat dhuha. Wabillahi taufik wal hidayah, wassalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh," tutup Rahman.

"Wa'alaikum salam warrahmatullahi wabarakatuh."

Usai para santri dan santriwati membubarkan diri, Daniel pun kembali menemui Rahman yang baru saja hendak turun dari mimbar. Pria itu tersenyum.

"Saya benar-benar tidak salah menilaimu..., kamu memang pantas untuk menggantikan saya di sini," ujarnya.

Rahman hanya mampu menundukkan wajahnya tanpa mengatakan apapun.

'Aku masih memiliki banyak kekurangan, mana mungkin aku bisa menggantikan posisi Abi?.'

* * *

Imam Pilihan Allah [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang