BAGIAN 18

12.6K 849 6
                                    

Terkadang menjauhi hal-hal kecil adalah sebuah usaha untuk menerima hal-hal besar. Maka jauhilah hal-hal yang buruk.

* * *

TEMPAT BARU

Kiana menyambut kedatangan Syifa, Rahman, dan juga Mira ke pesantren yang dibina oleh Salman. Mereka pun segera masuk ke dalam kantor pengurus pesantren tersebut.

"Saya pikir siapa temannya Syifa yang akan menjadi pustakawati di pesantren ini. Ternyata Ukhti Mira yang dia maksud," ujar Kiana, senang.

Mira tersenyum.

"Saya juga berpikir kemana saya akan dibawa oleh Ukhti Syifa..., ternyata ke sinilah saya di bawa. Ke hadapan Ukhti Kiana," ujar Mira.

"Syifa memang seperti itu, dia tidak akan membawa seseorang jauh-jauh kalau memang orang itu sangat berarti baginya. Dan kebetulan sekali, saya memang sedang mencari pustakawan atau pustakawati untuk mengurus perpustakaan di pesantren ini."

Mira merasa bersyukur karena Syifa benar-benar membantunya untuk menjauhi masalah. Kiana pun mengajaknya menuju perpustakaan pesantren.

Sebuah bangunan gedung tunggal yang dikhususkan untuk membaca dan meminjam buku itu membuat Mira terkesima beberapa saat. Luas dan besarnya perpustakaan itu serta banyak jumlah buku yang belum ditata rapi membuatnya kembali bersemangat.

"Jadi, tugas Ukhti Mira mungkin akan banyak sekali di sini. Semua buku-buku ini belum diregistrasi datanya ke dalam komputer, dan juga tata letaknya belum diatur sama sekali. Apakah Ukhti tidak keberatan mengerjakan semua ini sendiri?," tanya Kiana, yang merasa agak tak enak hati.

Mira tersenyum bahagia ke arah Kiana.

"Ya, Insya Allah akan saya kerjakan semuanya Ukhti. Saya senang sekali bisa melihat buku sebanyak ini. Saya akan segera menginput datanya di komputer lalu akan saya buatkan laporan setiap minggunya pada Ukhti Kiana," jawab Mira.

Kiana ikut tersenyum ketika mendengar jawaban Mira yang begitu bersemangat.

"Sepertinya Syifa tidak salah ketika membawamu ke sini, Ukhti sepertinya sangat menyukai tempat ini," puji Kiana.

Ya..., Mira menyukai tempat itu. Sangat suka. Karena semakin banyak pekerjaan akan semakin mudah ia melupakan apa yang pernah ada di hatinya.

* * *

Rahman menemani Syifa di ruangan milik Salman. Tak lama kemudian orang yang mereka tunggu pun masuk ke sana dan tersenyum bahagia ketika melihat mereka.

"Assalamu'alaikum..., kenapa keponakan Paman yang cantik ini datang tanpa memberi tahu?," tanya Salman.

Syifa dan Rahman mencium tangan Salman bergantian.

"Wa'alaikum salam...," jawab mereka.

"Aku sudah bilang pada Bibi kalau aku akan ke sini bersama Kak Rahman untuk mengantar Ukhti Mira. Bibi membutuhkan seorang pustakawati, dan Ukhti Mira membutuhkan pekerjaan," jawab Syifa.

Mereka duduk di sofa dan saling berhadapan.

"Kamu sedang membicarakan Ukhti Mira yang selama ini menjaga perpustakaan di madrasah pesantren Al-Mu'min kan?," Salman menduga-duga.

"Iya Paman, aku sedang membicarakan Ukhti Mira yang itu. Dia sekarang sedang pergi ke perpustakaan bersama Bibi," jawab Syifa lagi.

Tak lama berselang Kiana dan Mira pun masuk ke dalam kantor itu. Keduanya di sambut dengan baik.

"Jadi bagaimana Bi? Ukhti Mira bisa menjadi pustakawati di sini kan?," tanya Syifa.

"Iya, Ukhti Mira bisa jadi pustakawati di sini. Dia sangat antusias sekali saat melihat perpustakaan yang belum di atur sama sekali. Jadi..., Bibi sudah jelas akan menerimanya di sini," jawab Kiana seraya tersenyum dari balik niqob-nya.

Syifa tersenyum lega. Ia menatap Mira, dan berharap akan ada hal yang berubah dalam hidupnya setelah menjauh dari apa yang pernah ia harapkan.

'Aku masih bertanya-tanya, apakah yang kulakukan untukmu kali ini adalah benar?.'

* * *

Mira POV

Aku meletakkan tasku di atas meja kerjaku yang baru. Ya..., di sinilah aku. Di tempat yang jauh dari kenyataan yang ingin sekali aku tinggalkan.

Kenyataan yang pernah aku harapkan, kenyataan yang pernah aku yakini akan terjadi dalam hidupku. Dan kenyataan itu akhirnya membawaku pada titik ini. Titik di mana aku tak ingin lagi mempercayai hati dan perasaanku sendiri.

Bertahun-tahun aku menatapnya, tertawa dengan tingkah nakalnya, bahkan terkadang tak habis pikir karena dia tak juga jera apabila mendapat detensi dari Abah setiap kali tertangkap.

Tio.

Satu nama yang membuatku sangat betah tinggal di pesantren, meskipun aku tetap hidup di tengah kubangan sepi. Aku ini penyendiri, tak punya banyak teman, dan hanya mampu menjadi pustakawati.

Aku tak pernah mampu menjadi salah satu pengajar di pesantren. Aku tak pernah mampu membawakan materi di depan orang banyak, dan karena alasan itupula lah aku tak terlalu dikenal.

Bu Nyai tahu sekali kelemahanku ini, hingga dia menyarankan padaku untuk menjadi seorang pustakawati yang tak perlu banyak berbicara di depan banyak orang.

Dan ketika akhirnya aku mendengar bahwa dia dijodohkan oleh Abah untuk Ukhti Ria, di saat itulah aku menyadari sesuatu, bahwa memang aku tak pernah terlihat berarti.

Aku dan Ukhti Ria sudah tentu sangat jauh perbandingannya. Ukhti Ria dikenal oleh banyak orang, dia mampu mengahadapi pertanyaan macam apapun secara frontal, dan bahkan mampu membawakan materi di depan orang banyak, sekaligus terpilih menjadi salah satu pengajar di pesantren.

Aku???

Aku hanyalah orang lemah yang selalu bersembunyi di balik tumpukan buku perpustakaan. Aku hanyalah seorang wanita yang hanya bisa menatapnya dari jauh tanpa berani mengatakan apa yang kurasakan.

Dan tentu saja, Allah selalu adil. Allah menakdirkan Ukhti Ria untuknya, karena Ukhti Ria seimbang dengannya dalam hal apapun. Bukan denganku.

* * *

Imam Pilihan Allah [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang