16

14 4 4
                                    

•Key pov•

Aku mendekat padanya dengan ritme jantung yang bertambah cepat perdetiknya. Rasanya ingin kutenangkan jantungku dengan mengambil tangannya, kemudian kuletakkan diatas dada.

But, how?

"Panggil aku "sayang",Ara. Mau?"

Gila.
Kenapa jadi itu yang aku katakan?

Aku mengutuki diriku sendiri karena permintaanku terdengar ambigu. Harusnya lebih jelas, Key. Lebih jelas lagi.

Bagaimana kalau dia kira aku bercanda?

Aduh.

Hujan turun, seakan menangisi kebodohanku. Kutarik tangannya spontan untuk berteduh di bawah atap gubuk kecil dekat mobilku.

"Kau kenapa, Key?", ia tertawa sambil memukul lenganku pelan saat tiba disana.

Nah, kan.
Kubilang juga apa tadi.

"Ahahaha..ha. ha.. Hmm, iya. Aku sedang bicara apa sih? Lupakan saja", aku tau wajahku sangat aneh sekarang.

Kugaruk belakang kepalaku yang tak gatal, membuat rambutku jadi sedikit berantakan. Bajuku dihiasi beberapa tetes hujan yang sempat mengenaiku tadi.

"Kau lucu sekali. Berusahalah lagi, ya." , Arasely menyisir rambutku dengan jemarinya.

Aku tertegun.

Jadi dia tau apa maksudku? Lalu dia menertawaiku?

Tahi kucing kau, Ara.

Untung saja aku mencintaimu.

~

•Arasely pov•

Aku tidak berbohong, tadi wajahnya imut sekali. Sampai tak bisa aku menahan diri untuk tertawa. Mungkin dia memang tidak banyak pengalaman berkencan.

Sampai ia jadi selugu itu.

"Lanjut perjalanan?", katanya.

"Boleh."

Kami masuk mobil dan mendapati Ryan terlelap di jok belakang. Ia sudah menarik selimut dari dalam koperku dan melilit badannya sendiri macam kepompong. Mungkin ia kedinginan.

"Ara, sudah kuputuskan."

"Apa?"

"Kita terbang saja ke Los angeles. Jarak tempuhnya hanya sekitar 5 jam 20 menit. Tak apa? 1 kali transit kok."

" Sebentar sekali?"

"Pakai kelas satu saja. Kau tau kita dalam bahaya."

"Kelas satu? Kau yakin?"

"Aku berak uang, tenang saja."

"Cih, yasudah aku ikut saja."

"Okey. Bangunkan Ryan. Kita hampir sampai di bandara."

~

•Author pov•

Ryan memandangi tulisan "Tulsa International Airport" dengan mulut menganga. Ia kira ia tertidur sangat lama.

"Kukira kita tadi sudah meninggalkan Tulsa. Astaga, luas sekali kota ini."

"Kopermu, Ryan."

"Ah, tanganku lemas. Kau bisa bawa dua koper,Sely?", ia berkedip merayu temannya itu.

"Arasely perlu diet, bukan berarti dia harus bawa kopermu untuk bakar lemaknya.", lelaki yang baru saja beli tiket itu merampas koper dari tangan Ryan.

"Auuh, manisnya. Sampai mual aku.", Ryan terus mencibir.

Mereka ambil duduk di sebuah deretan kursi dekat jendela kaca besar. Langit sudah mulai gelap, 30 menit lagi yaitu pukul 17.55 mereka akan berangkat. Ryan sibuk dengan sandwich dan ponselnya. Sedang Arasely menunduk ngantuk.

CHAOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang