Beta Geminorum

9.1K 1.2K 74
                                    

Asa langsung bergegas keluar dari ruangan fotografi itu. Sebenarnya selama materi tadi, pikirannya tidak fokus karena memikirkan ucapan bu Lisa tadi pagi.

Kepalanya penat, tangannya terus mengepal kuat, sementara ia terus mengigit bibir bawahnya untuk menahan tangis. Yang terlintas di otaknya hanya satu. Pergi dari dunia yang tidak pernah puas memberinya masalah.

Mau berapa orang lagi yang terus dia kecewakan?

Mungkin untuk berlari ke rooftop gedung lalu melompat saja tidak bisa ia lakukan sekarang. Energinya sudah cukup terkuras untuk mengeluarkan air mata. Lagipula, dia tidak mau menarik perhatian orang sekitarnya karena kelakuan bodohnya itu.

Kini perempuan itu berhenti di belakang fakultas teknik. Asa juga tidak tahu tempat apa sebetulnya ini. Tapi bangunan bekas yang sudah berhenti dibangun itu bisa memberikan membuatnya lega sekarang.

Setidaknya, tidak akan ada orang lain yanh melihat jika dirinya nanti menangis.

Tempat yang cukup sepi untuk merenungi nasibnya yang buruk itu. Ditemani oleh langit sore yang masih belum mau berganti malam. Asa menyenderkan punggungnya ke tembok bata sambil memejamkan mata. Tanpa disadari, tubuhnya ikut merosot dan bergesekan dengan tembok kasar itu.

Air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi. Dadanya nyeri, tapi Asa terus memukulnya sambil berharap rasa sakitnya akan segera berlalu.

Tiba-tiba ada sengatan dingin di pipinya. Perempuan itu langsung mendongakkan kepalanya dan langsung melebarkan mata ketika melihat siapa yang datang.

"Sam?"

"Nih, minum." ucap Samudra sambil memberikan botol air mineral itu kepada Asa lalu ikut terduduk disampingnya.

Asa mencoba tidak peduli akan kehadiran Sam yang tiba-tiba itu. Bahkan untuk repot-repot menanyakan bagaimana Samudra bisa ada disini.

"Tadi malam saya lihat Saturnus. Cantik sekali, persis dibawah Bulan."

Mendengar itu Asa langsung teringat informasi yang baru saja dibacanya beberapa hari yang lalu. Tadi malam memang seharusnya ada konjungsi Bulan dengan Saturnus.

"Lalu saya ingat sama kamu. Saturnus itu bukan cuma planet yang cantik seperti Venus, bukan juga planet nomor satu seperti Merkurius, tapi dia berbeda. Saturnus berbeda dengan caranya sendiri."

Asa mendengus keras. "Saturnus nggak ada hubungannya sama gue."

"Oke, kalau gitu pernah nggak kamu merasa 'kok masalah saya begini amat' dibanding teman atau orang lain? Pernah nggak kamu kepikiran mau nyerah aja sama yang udah kamu jalanin?" tanya Samudra kemudian.

Asa mengangguk. Sekarang gue lagi ngerasain itu.

"Semua orang pernah gitu kok. Insecure sama masa lalu, sekarang, atau masa depan. Saya pernah tanya ke teman saya yang ganteng banget, sukses banget, bahkan sempurna versi sosial. Hasilnya? Kita sama-sama insecure kok cuma dalam level yang berbeda."

"Hidup itu harus tetap bergerak. Satu masalah pergi, satu masalah datang lagi. Tugas manusia hanya perlu berjuang sampai akhir." lanjut Samudra.

Setelah mengatakan itu, Asa menangis sejadi-jadinya. Sementara Samudra masih terduduk di sampingnya dalam diam. Sang mentari pun sudah berganti dengan malam. Udara dingin malam hari juga tampaknya tidak malu-malu lagi untuk menyapa kulit mereka berdua.

"Makasih ya, Sam." ucap Asa pada akhirnya ketika ia merasa sudah cukup untuk menumpahkan air matanya. "Yuk pulang. Gue nggak mau ketemu kuntilanak disini."

Samudra menggeleng lalu melirik jam tangannya. "Tunggu sebentar lagi, Bulan akan muncul bersama Saturnus."

"Lagi?"

"Malam ini puncaknya."

Tak berapa lama, Bulan pun muncul berdampingan dengan planet yang kehadirannya ditunggu-tunggu itu.

"Gue kira ada tempat yang lebih romantis buat ngelihat konjungsi Bulan dan Saturnus ini daripada di belakang gedung fakultas teknik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Gue kira ada tempat yang lebih romantis buat ngelihat konjungsi Bulan dan Saturnus ini daripada di belakang gedung fakultas teknik."

"Kalau mau, saya bisa ngajak kamu buat ke atas rooftop gedung nggak jadi ini di depan kita sekarang juga."

Asa hanya memutarkan bola matanya saat mendengar jawaban Samudra. Daripada romantis kayaknya bakal jadi momen mencekam, apalagi kalau Asa harus bertemu mbak Kunti dan teman-temannya.

"Jadi?"

"Apa?" tanya Asa.

"Tadi sore kamu kenapa?"

PLUTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang