Epilog

7.1K 826 54
                                    

Bintang Putra Nugroho, San Fransisco.

San Fransisco mendung sepanjang hari, sehingga aku memutuskan untuk berdiam diri di kamar sambil menatap Golden Gate Bridge dari kaca hotel.

Kulihat ada sepasang muda-mudi yang sedang berfoto di jembatan itu. Gadis yang dibawah itu mengingatkanku pada seseorang yang sudah delapan tahun ini menghilang tanpa kabar.

Semua orang tidak tahu dimana ia berada, seakan menghilang bertepatan dengan hari dimana ayahnya meninggal.

Venus Thalassa Anindita.

Ya, lagi-lagi perempuan itu yang selalu menghantui pikiranku.

"Apa?"

Kuangkat telepon dari teman lama. Ah sudah berapa lama aku tidak bertemu cowok sialan ini ya?

"Kabur nikah lagi?" Tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku sebelumnya.

Aku terdiam. Ini sudah kali kedua aku kabur dari pernikahanku. Ayahku pasti akan marah besar, aku tau. Tapi, kenapa harus dipaksakan menikah kalau aku saja belum bisa menghapus bayang-bayang gadis itu?

"Dimana lo sekarang?" Tanya pemuda itu dari seberang sana karena aku tak kunjung memberikan jawaban.

"San fransisco." Jawabku cepat.

"Gila lu ya, udah merasa kaya terus buang-buang duit? Pulang ke Indonesia sekarang!"

Aku berdecak. Dia begini pasti karena suruhan ayahku. Lagipula, mana mau Bima repot-repot meneleponku.

Ya benar, pria sialan yang sedang meneleponku sekarang adalah Bima. Galaksi Bimasakti yang dua bulan lagi akan menikah dengan wanita yang menurutku patut dikasihani karena harus menikah dengan pria itu.

"Ck! Apaan sih lo?"

"Belum move on dari Asa?"

Aku yang semula berniat acuh tak acuh, terdiam seketika ketika mendengar nama itu kembali.

"Kalau lo telepon gue cuma buat bahas itu, mending lo tutup telepon ini sekarang."

"Buka pintu kamar hotel lo sekarang."

"Hah?"

"Buka pintunya sekarang."

Oh sial, kenapa aku melupakan ini. Buru-buru aku berlari menuju pintu dan membukanya.

Deretan gigi putih Bima yang aku lihat pertama kali saat membuka pintu. "Lupa kalau gue ini hacker yang bisa meretas lokasi lo dimana sekarang, pangeran?"

Aku bengong beberapa detik, sulit dipercaya. Aku tau dia adalah hacker yang hebat, tapi untuk datang menyusulku sejauh ini? Bima pasti gila!

Aku menggeleng. "Bim, ini gak lucu! Ngapain lo disini?"

"Liburan." Jawabnya santai sambil berjalan masuk menyeret kopernya ke dalam kamarku.

"Lo dapet duit dari mana? Maksud gue, dua bulan lagi lo nikah dan lo malah menghamburkan duit lo ke San Fransisco?"

Bima tertawa, "Gue abis ngepet elah, gue yang nikah, lo yang sewot. Makanya cepet nikah. Sok-sokan kabur segala sih lo."

Aku benar-benar kehabisan akal. Sekarang lihat! Pria sialan itu malah tiduran di kasurku tanpa merasa berdosa.

Dari pada aku gila dibuatnya, aku memutuskan untuk keluar dari hotel ini untuk mencari udara segar.

Menikmati udara mendung sambil berjalan melewati Golden Gate Bridge memang merupakan ide buruk.

Lagi-lagi aku teringat bayangan Asa.

Dulu dia pernah bercerita padaku bahwa salah satu impiannya adalah pergi ke San Fransisco dan berfoto di Golden Gate Bridge ini.

Ah kenapa aku belum bisa melupakan gadis itu sih? Sudah delapan tahun! Sudah delapan tahun aku bahkan tidak tahu dia masih hidup atau tidak, mengingat terakhir aku bertemu dengannya, dia masih saja hidup tanpa jiwa.

"Bintang, apa lo tahu kenapa gue gak bisa bales perasaan cinta lo?"

Lagi-lagi aku teringat percakapan itu.

"Karena kita begitu mirip." jawabnya.  "Kita sama-sama gak bisa menyembuhkan. Kita sama-sama jatuh ke dalam jurang, kejebak di dasar yang sama, menunggu ada yang menyelamatkan."

Shit!

Seharusnya dulu aku tidak perlu rela-rela berkorban demi Samudra sialan itu. Seharusnya aku yang akan menikah dua bulan lagi bersama Asa, bukan si Bima yang malah menikah sekarang.

Arghh!!!!!!

Dug.

Double shit.

Aku merasakan bahuku menabrak seseorang. Dan benar saja, kulihat ada perempuan yang sekarang jatuh mencium aspal di hadapanku. Buru-buru aku membantunya agar bisa berdiri kembali.

"Hey, are you okay?" Tanyaku sesaat sebelum dia mengangkat kepalanya.

"Wtf! What are you doing?" Bentaknya sambil membersihkan bajunya dari tanah.

Aku terpana. Bukan karena bentakannya, tapi karena wajahnya. Mirip sekali seperti perempuan yang selama delapam tahun ini menghantui pikiranku.

"What's your name?"

"What!?"

"What's your name?" Tanyaku sekali lagi.

"Asa." Jawabnya cepat. "Angkasa Putri."

Setelah itu perempuan yang dihadapanku kini menatapku dengan tatapan bingung lalu pergi begitu saja.

Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa tersenyum begitu hangat seperti musim panas yang datang tepat waktunya.

Tak perlu menunggu lagi, aku segera berlari. Menyusul gadis itu. Menjemput Asaku.

TAMAT.

PLUTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang