Kata(i)

6.3K 995 38
                                    

IPod di depannya dibiarkan menyala. Menyisakan lagu-lagu yang kerap kali diputarnya untuk menemani dirinya saat sedang kesepian. Kali ini, Asa memutar lagu Fake Optics yang dinyanyikan oleh Ardhito Pramono.

If I could be a to all my friend in this lonely world.
It will be hundred thousand pictures on my hands.
But and I realized that my life been some much mate.

Asa melamun. Kakinya bersila dan matanya menatap pada satu arah. Pikirannya melayang-layang entah kemana. Kejadian tiga jam lalu membuat Asa mengabaikan lagu yang di dengarnya. Ada bagian dari dirinya yang terasa perih. Ini pertama kali dia merasakan hal itu.

My life has been for.
On someone who always been there could.
Stared it be the one pleasure its always mine.
Is goodbye for the best of the passing for the rest.

Asa mengusap wajahnya dengan kasar. Rambut yang berantakan dan sudah kering itu diacak begitu saja. Membuatnya semakin berantakan. Ia menutup mata sambil menghirup napas sejenak.

Here there every a fake optics or the same mistake.
Whom will be so surprised define the place.
You are my future hope please don't make the same mistake.
Cause I want you to be free.

Asa masih mencoba melupakan rasa yang tak tentu berkecamuk dalam benaknya.

Is goodbye for the the passing for the rest.

"Asa." Suara tak asing dari belakangnya berseru, bersamaan dengan tepukan pelan di bahunya.

"Eh ayah. Ngagetin aja." Gadis itu menghela napas pelan.

"Kamu udah mandi atau belum?" Ayahnya duduk di sofa belakang gadis itu dan bersender pada pinggiran.

"Udah kok yah."

"Kapan? Kok ayah nggak lihat?"

Asa memutar mata bola mata, merasa heran. "Ayah aja yang dari tadi di kamar terus. Akhir-akhir ini juga ayah jadi lebih jarang di rumah." jawab Asa cuek.

Ayahnya mendekat perlahan dan mengusap puncak kepala, lalu menatap kosong ke arah lain.

"Nak, percayalah. Jika suatu hari nanti ada yang meninggalkanmu, pergi dari hidupmu, bukan berarti orang itu membencimu. Untuk alasan apapun."

"Maksud ayah?" Asa menatap ayahnya bingung.

"Seminggu lagi ada yang mau ketemu sama kamu."

Asa menautkan kedua alisnya, "siapa yah?"

"Nanti juga kamu tahu." Ayahnya mencium puncak kepala Asa lalu pergi tanpa penjelasan apapun.

- PLUTO -

3 jam sebelumnya...

Langit teduh dengan hembusan angin dingin menyentuh kulit saat sore. Asap mengepul dari tiga cangkir teh di meja.

Kicauan burung terdengar dari atas pohon, menghinggap pada dahan kecil. Keheningan menenggelamkan pikiran mereka masing-masing.

Sissy menyesap tehnya lamat-lamat. Matanya memandangi jalan raya yang tidak terlalu ramai.

"Jadi," Sissy meletakan cangkir tehnya diatas meja lalu menatap Asa. "Lo mau apa sampe ngajak kita berdua ketemuan?"

Asa menegakkan punggungnya lalu menatap Bella kemudian Sissy. "Maaf."

Kalimat pertama yang keluar dari mulut Asa membuat Bella memutar matanya.

"Harus gini dulu ya biar lo sadar?" Tanya Bella sinis.

"Tolong jangan anggap cuma diri lo yang jadi korban. Disini kita sama-sama salah." Asa menatap Bella dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Oke gue salah. Gue minta maaf. Tapi tolong lah jangan kayak anak kecil gini. Masalah kayak gitu aja langsung kucing-kucingan, ini udah dua minggu kalau lo mau tau." Asa melanjutkan kembali kata-katanya.

Suhu di ruangan itu langsung menurun drastis. Bella masih menatap Asa sinis, sementara Sissy sudah gelisah di tempatnya.

"Terus sekarang apa? Baru nyadar rasanya gak punya temen? Baru nyadar kalau lo juga butuh orang lain? Seharusnya dari awal gu--"

"Bel udahlah, kita udah janji gak bahas ini." Potong Sissy.

"Biar aja, Sy. Orang kayak gini tuh harus butuh tamparan yang kuat dulu biar dia sadar, biar dia bisa melihat dunia dari otak kecilnya itu."

"Gue nggak tau kenapa masalah kayak gini lo besar-besarin." Kini giliran Asa yang menatap Bella sinis. "Inget, gue disini bukan untuk ngemis-ngemis biar lo jadi temen gue lagi. Gue kesini mau minta maaf karena gue ngerasa salah. Seenggaknya gue nggak egois kayak lo!"

Bella tertawa mengejek. "Gue egois ya? Sebenernya lo ngaca nggak sih? Gue lupa lo nggak punya kaca ya kayaknya. Waktu itu lo minta gue berhenti buat ngejar-ngejar Bagas, gue turutin karena gue mikir kata-kata lo bener juga. Tapi ternyata lo juga selalu kemakan omongan sendiri ya?"

"Oh jadi ini semua tentang Bagas?"

"Bukannya sekarang lo juga ngejar-ngejar Samudra? Sekarang, siapa yang kelihatan lebih murahan?"

Brak.

Asa menggebrak meja di depannya. Ia lupa bahwa sekarang mereka bertiga sedang ada di kafe. Bunyi meja yang dipukul itu akhirnya menyita perhatian pengunjung disana.

Karena sudah terlanjur menjadi pusat perhatian, Asa tidak mau lagi repot-repot menjaga image nya.

Mukanya sudah memerah sedari tadi menahan emosi, kini semua emosinya tidak bisa dibendung lagi. Asa berdiri dan menatap tajam ke arah Bella.

"Denger! Lo atau siapapun di dunia ini nggak berhak buat nilai gue sembarangan! Kita semua punya privasi!" ucap Asa sambil setengah berteriak. Ingin sekali rasanya Asa menyiramkan teh yang ada di depannya ini ke muka Bella, tapi Asa memilih untuk pergi dari tempat itu.

- PLUTO -

Asa membuka aplikasi chatting di ponselnya itu. Mungkin sudah ratusan kali Asa mencoba menghubungi Samudra, tapi hasilnya nihil.

Sepulang dari rumah Bintang seminggu yang lalu, Samudra menghilang. Itu yang membuat Asa bertanya-tanya dalam hati. Apakah Samudra menjauhi dirinya?

Drtt!!

Asa menatap layar ponselnya dengan cepat, Berharap Samudra yang menghubunginya, tapi..

Monyet belanda is calling....

Lagi-lagi Bintang yang menghubunginya. Pemuda itu tidak pernah absen semalam pun untuk tidak menghubunginya.

Asa mengangkat telepon dengan malas. "Kenapa?"

"Lo dimana?"

Asa mengernyitkan dahinya, suara Bintang terdengar seperti habis berlari-lari.

"Dirumah lah."

"15 menit lagi gue jemput."

"Apaan sih? Gue lagi males keluar rumah."

Baru saja Asa ingin mematikan ponselnya, suara Bintang sudah lebih mendahului.

"Samudra masuk rumah sakit. Tangan kanannya patah, tulang rusuknya memar dan lehernya cedera."

PLUTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang