Altair

6.5K 934 40
                                    

Kursi panjang berwarna kuning yang sudah mulai karatan itu menjadi tempat duduknya saat ini. Bintang memutuskan untuk membaringkan badannya di kursi yang ia tempati seorang diri.

Kaki kirinya di tekuk. Satu tangan menutupi setengah wajah lusuhnya. Jaket yang biasa ia pakai dijadikan bantal di bawah kepala.

Taman itu tak seramai biasanya. Senja berganti malam mungkin menjadi saat yang paling dinantikan oleh sebagian pengunjung taman. Detik-detik terbenamnya matahari adalah hal yang memang tidak dapat dibantahkan dari taman dimana Bintang berada saat ini.

Pemandangan di depannya itu mengingatkan diri Bintang pada potongan-potongan memori tentang seorang gadis yang matanya seindah Altair, bintang tercerah di rasi Aquilla.

Tak ada satu adegan pun yang terlewat dari ingatannya. Dari cara gadis itu tersenyum, menangis, kesal, atau sedang marah pada tingkah laku Bintang. Ujung garis bibir Bintang tertarik ke atas. Tidak banyak. Hanya seulas. Namun hatinya luar biasa bahagia.

"Tapi lo tau kan gue sukanya Samudra?"

Bintang mengingat kembali percakapannya dengan gadis itu.

"Gue juga nggak tau kenapa bisa sebaper ini. Pertemuan kita terlalu sinetron hahaha. Dia dengan segala kecintaannya sama asrtronomi, lo tau kan gue lemah sama gituan? Itu yang bikin gue penasaran, ditambah lagi dia cuek tapi diem-diem peduli. Entah sejak kapan gue jadi ketergantungan sama dia." jawab Asa ketika Bintang menanyakan padanya mengapa gadis itu menyukai Samudra.

"Tapi lo juga nerima gue. Nerima semua kepedulian gue, nerima gue ada disaat lo terpuruk kayak gini. Gue ini lo anggap apa? Jangan masukin gue kedalam lingkaran friendzone sialan itu."

"Lo juga sama sialannya sama Samudra." ucap Asa terkekeh sebentar. "Lo tiba-tiba datang, maksa masuk ke hidup gue, ikut campur semuanya."

Asa menggosok-gosokan kedua telapak tangannya. "Sayangnya lo emang bukan sekedar teman. Boleh nggak sih kalau gue juga maunya kita bertiga aja? Gue tau gue egois, tapi gue nggak mau kehilangan kalian berdua."

Langit kebiruan, perlahan berubah warna. Pertanda senja yang mereka nanti akan hilang bersama mentari untuk menanti rembulan yang juga akan hilang menyambut pagi.

Tidak ada lagi yang bisa menakjubkan mata dari tempat itu selain lampu taman dan hembusan angin malam yang menusuk sampai ke tulang. Bintang mengambil jaket yang tadi ia jadikan bantal dan disampirkan di pundak sebelah kanan sambil berjalan menuju tempat parkir untuk kembali mengendarai mobil ke tempat selanjutnya.

PLUTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang