Rigel

4.2K 714 6
                                    

Asa mengatakan tak membawa sisir rambutnya yang akan kusut jika menaiki tornado. Akhirnya, hanya Bima dan Bintang yang mengantre menaiki wahana itu.

Tertawa sampai nafas gadis itu habis adalah hal yang pertama dilakukannya saat melihat ekspresi dua orang itu ketika wahana dinyalakan.

Mereka semua berteriak sekencang-kencangnya. Bintang berteriak sumpah serapah di udara dengan rambutnya yang tambah acak-acakan, sementara Bima terus mengatakan 'oh my God' sambil kadang tertawa kegelian lalu mengajak ngobrol orang yang disebelahnya, entah siapa. Tapi sepertinya orang itu tidak peduli karena sudah kehilangan alam sadarnya.

"Asa." Panggilan Samudra menghentikan tawa gadis itu secara perlahan.

"Bagaimana kabar kamu?" Tanyanya dengan nada yang sangat biasa. Bahkan pemuda itu terlihat biasa saja, tak ada kecanggungan pada dirinya saat ini.

Asa menggedik, "As you see." Lalu tersenyum pada Samudra.

Sebenarnya Asa bingung, kenapa tiba-tiba menanyakan kabarnya? Kenapa juga baru hari ini setelah sekian lama Samudra seakan merasa tidak mengenali dirinya lagi. Apakah pemuda itu akan mengajaknya balikan?

"Saya mau kamu bertemu Tante Tari, Asa. Ibu kamu."

Senyuman di bibir Asa mendadak pudar. Wajahnya mendadak tegang saat mendengar nama ibunya keluar dari bibir Samudra. Bahkan dia sendiri baru tahu nama ibu kandungnya. Matanya kini bergetar. Masih memandang lurus wahana tornado yang sedang berjalan dengan datar.

"Oh, kirain apa." Respon Asa seadanya.

Semesta harus tahu bahwa Samudra memang benar-benar bodoh. Bodoh karena mengubah suasana hati Asa yang tadinya riang kini berubah buram hanya dengan satu kalimatnya. Lebih bodohnya lagi, Samudra mengucapkan nama wanita yang usianya hampir sama dengan ibunya itu.

Samudra bernapas berat. Hatinya bergemuruh untuk tetap diam, namun pikirannya tidak. Ia gugup memulai pembicaraan ini. Luka yang berhasil disembuhkan oleh Asa seorang, kini akan kembali terbuka. Samudra sadar akan hal itu. "Kamu masih marah sama tante Tari?"

Asa diam. Matanya juga tak lagi bergerak kesana kemari. Hanya kedipan dan hembusan nafas yang dilakukannya saat ini. Asa enggan untuk menjawab pertanyaan Samudra saat ini.

"Kamu tau kan kalau umur manusia ditetapkan sama Tuhan? Saya nggak mau kamu menyesal nantinya." Samudra bertanya dua kali untuk pertanyaan berbeda. Sayangnya, Asa masih bergeming di tempatnya.

"Kamu gak bisa begini terus, Asa. Kamu harus kasih kesempatan tante Tari untuk menjelaskan."

"Lo gak tau-"

"Saya tau." Samudra menyela sebelum Asa benar-benar menyelesaikan kalimatnya. Posisi duduknya kini berubah tegak.

Asa menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Menyalurkan perasaan yang mencuak saat itu juga. Amarah, penyesalan, kecewa, kehilangan, semuanya menjadi satu menekan hati Asa. Matanya menatap Samudra lekat-lekat dengan air mata yang siap jatuh kapan saja.

Samudra menatap Asa dengan sorot prihatin, setengah tak rela air mata itu terjatuh begitu saja. Akan tetapi, tangannya tak juga mengusap air mata itu.

"Stop nyalahin tante Tari atas semua yang terjadi." Ucap Samudra pelan. "Bagaimana pun dia tetap ibu kamu. Ibu yang melahirkan kamu."

"Kenapa kita jadi bahas ini sih?" Tanya Asa sambil mengusap air matanya. Takut jika Bima dan Bintang melihatnya baru saja menangis.

Bibir Samudra baru saja ingin mengeluarkan kata, namun ponsel yang berada di saku jeans miliknya berbunyi terlebih dahulu. Nama tante Tari yang muncul di layar ponselnya tetap saja menyala-nyala mengisyaratkan Samudra untuk segera mengangkatnya. Tak butuh waktu yang lama, Samudra akhirnya menempelkan ponsel itu pada telinganya. "Halo?"

Sepuluh detik berlalu sampai ponsel itu diturunkan perlahan dari telinganya. Dirasakan waktu yang terus berputar setiap detiknya mendadak berhenti begitu saja. Seakan-akan waktu tengah menyaksikan dirinya menatap Samudra dengan hati yang bergemuruh kencang dan tangan bergetat hebat. "Ibu saya sekarat. Saya harus pergi sekarang."

-PLUTO-

Asa mengumpat sendiri dalam perjalanannya ke rumah sakit bersama Samudra. Ini adalah hari Minggu yang cukup melelahkan.

Ini merupakan ide yang cukup gila, namun Asa seperti sebuah besi yang ditarik oleh magnet. Ada sesuatu yang menariknya untuk pergi bersama Samudra.

Asa meremas-remas ujung kaosnya dan berdeham kecil. Tak ada respon dari Samudra. Untuk itu, Asa memberanikan diri untuk mendekat dan mengelus-elus telapak tangan Samudra.

Tak berselang lama, mereka sampai di lobby rumah sakit. Samudra langsung turun dari mobil itu sementara Asa harus membayar dulu grab yang ditumpangi mereka, setelah itu barulah Asa mengejar Samudra dengan kecepatan cahaya.

Samudra terus berlari tanpa memedulikan orang-orang yang berada di depannya. Dia mengumpat sambil berlari karena mengetahui kamar inap ibunya berada di lantai 4 rumah sakit.

"Gimana keadaan ibu saya, Tante?" Tanya Samudra panik. Dicengkramnya wanita yang sudah mulai menunjukan penuannya itu dengan kencang.

"Semakin parah."

Perlahan Samudra mulai melonggarkan cengkramannya. Kakinya langsung lemas sampai bisa terjatuh kalau saja Asa tidak menahannya dari belakang.

Ketakutan-ketakutan yang selama kni ia bayangkan akhirnya terjadi. Bagaimana bisa ia terus hidup dengan tenang sementara ibunya sedang berjuang melawan penyakit itu?

Asa berjalan mendekati Samudra. Awalnya ia ragu, mengingat hubungannya dengan pemuda itu. Dengan satu tarikan nafas, akhirnya Asa memberanikan diri untuk mendekat. Di dekapnya pemuda itu dengan hati-hati, membiarkan rasa nyeri yang dirasakan Samudra juga menjalar di tubuhnya.

"Sam." ucap Asa serak.

Asa terus mendekap Samudra dalam diam. Kini pandangannya beralih pada tante Tari yang berdiri tak jauh dari tempat mereka terduduk.

Tak ada kebahagiaan yang terlukis di wajah wanita itu. Tatapan sendu menatap dua insan yang sedang menangis dalam diamnya.

Asa bertanya dalam hatinya, untuk siapa kah tatapan itu? Untuk dirinya, atau untuk Samudra.

Melihat Samudra begitu mencintai ibunya membuat hati Asa terasa tercubit. Maka, ditariknya kedua kaki gadis itu secara paksa menghampiri wanita yang kini sedang menatapnya. Asa menoleh ke arah Samudra sebentar, sepertinya pemuda itu pun sedang tidak ingin diganggu.

"Ib-- maksud saya tante, bisa kita bicara? M..maksud saya," Asa kelimpungan mencari kata yang pas untuk melengkapi kalimatnya.

Tante Tari mengangguk dan kini mengisyaratkan gadis itu akan berjalan mengikutinya.

PLUTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang