Pollux

7.8K 1.1K 72
                                    

Benar kan jika ada pepatah yang mengatakan tidak ada yang lebih sulit daripada memaafkan diri sendiri? Begitu pula bagi Asa, berdamai dengan diri sendiri adalah hal ke sekian yang akan dilakukannya.

Asa menggosokan kedua tangannya dengan cepat, berharap bisa menghangatkan tubuhnya yang sudah mengigil karena dinginnya malam.

Pertanyaan Samudra dibiarkannya menghilang bersamaan dengan angin malam.

"Udah malam. Pulang yuk." ucap Asa dengan suara pelan dan serak. Berharap Samudra paham bahwa sebenarnya ia tidak mau membahas hal itu sekarang.

Samudra terdiam. Bahkan tidak beranjak sedikit pun. Seharusnya Asa juga mengerti bahwa Samudra peduli padanya, sehingga tidak ada gunanya menyembunyikan luka di hadapannya.

"Saya masih menunggu jawaban kamu." Samudra berbicara tanpa menoleh pada gadis di sampingnya.

"Gue mau pulang."  Asa berdiri sambil membersihkan celananya dari pasir.

"Asa."

"Lo mau anterin gue pulang, nggak?"

Gadis itu menatap Samudra lalu menghela napas panjang. "Yaudah, gue pulang sendiri ya. Tapi lo nggak takut gue diculik?" Asa menyengir kaku.

Samudra bergeming di tempatnya.

Perlahan, senyuman di wajah Asa kini berganti menjadi wajah datar. Tidak ada lagi Asa yang senyuman kaku atau mengejek, tidak ada lagi Asa yang ceria atau bawel. Tidak ada lagi topeng dibalik wajahnya itu.

Menyerah, Asa kembali duduk disamping laki-laki itu sambil membuang muka ke arah lain.

"Dari kecil gue selalu kepikiran buat bunuh diri lebih dari sekali." Asa memulai ceritanya sambil menerawang langit malam.

"Seberapa besar gue pengen mati, sebesar itu juga gue pengen hidup. Setiap kali gue pengen mati, gue takut. Takut apa? Takut bakal bagaimana gue kalau mati nanti."

Asa menoleh kepada Samudra. Perempuan itu mendapati Samudra sedang menatap padanya. Mata hitam itu menunjukkan kesedihan. Berharap Asa paham bahwa Samudra mengerti apa yang dirasakannya. Berharap agar Asa tahu bahwa di dunia ini dia tidak sendirian merasakan luka.

Perlahan, Samudra menggenggam erat tangan Asa. Seakan memberi kekuatan pada perempuan itu untuk melanjutkan ceritanya.

"Jangan takut. Semua orang pasti mau di dengar." bisik Samudra.

Asa mengangguk pelan.

"Waktu umur gue tujuh tahun, orang tua gue cerai. Gue disuruh milih mau ikut siapa. Gue yang gak tau apa-apa waktu itu cuma bisa bilang mau ikut mama, karena dari kecil gue cuma deket sama mama. Akhirnya, gue sama mama gue pulang ke kampung mama gue. Gue diurus sama nenek sementara mama kerja. Setiap hari gue pergi pagi dan pulang sore cuma buat main. Karena bosen, gue pergi ke tempat mama kerja. Restoran. Dengan begonya, gue malah main api disana. Ya, yang terjadi kebakaran kecil. Meskipun nggak ada korban jiwa, tapi banyak peralatan yang rusak. Dari situ mama marah besar, gue diseret pulang kerumah. Mama teriak, 'Dasar anak pungut! Kamu itu anak cuma anak angkat! Nggak tau diri!' Disitu gue nggak percaya, gue pikir mama lagi pusing aja sama kerjaannya. Gue cuma bisa teriak bohong sama mama. Gue masih mikir ini cuma hukuman aja."

Asa menghentikan kalimatnya sebentar. Di sisi lain, Samudra mengeratkan genggamannya.

"Gue kira mama bohong, tapi nggak lama kemudian dia kasih lihat gue surat pengangkatan anak dari panti asuhan. Setelah tau fakta itu, gue marah. Gue marah sama diri gue sendiri. Tapi mama lebih marah, dia balikin gue ke panti asuhan. Disana gue jadi anak pendiam. Tiga tahun kemudian, gue diangkat lagi sama orang tua asuh dan dibawa ke Jakarta. Gue mulai mencoba membuka hati, mencoba tau diri, tapi apa yang gue dapetin? Gue disiksa setiap hari. Gue dijadiin pelampiasan kekesalan sama mereka. Puncaknya, mereka buang gue dijalanan. Pas itu lagi hujan, gue kedinginan, kelaparan, berharap gue mati saat itu juga. Tapi ternyata Tuhan masih pengen gue hidup, disaat gue udah mau nyerah sama keadaan, gue ketemu sama ayah yang sekarang. Tapi gue udah bener-bener benci sama dunia, benci sama diri gue sendiri. Kenapa gue dilahirin ke dunia sih? Kenapa gue harus ada hanya untuk dibuang? Bahkan gue nggak tau orang tua gue siapa."

Benteng pertahannya runtuh dalam sekejap. Membuka luka lama yang selama ini ia simpan sendiri. Membuka luka yang belum kering, tapi seakan menyiramkan alkohol di atasnya.

"Ayah hidup sendiri. Ibu meninggal setelah melahirkan anaknya. Sayangnya, anak itu hanya bertahan satu jam di dunia. Ayah sangat terpukul saat itu. Bersamaan dengan itu, gue juga dipertemukan dengan ayah. Ayah ketemu sama gue disaat gue udah gak percaya lagi sama dunia. Mungkin ayah waktu itu lihat gue kayak bercermin. Makanya ayah berniat nolong gue, padahal ayah aja belum tentu bisa nolong dirinya sendiri. Tapi ayah tetap berusaha nolong dan sayang sama gue. Ayah selalu senyum di depan gue, tapi gue tau matanya gak pernah bohong. Matanya selalu menyorotkan rasa kesepian. G-gue.."

Samudra memeluk Asa dalam diam. Dibiarkannya perempuan itu menangis, menumpahkan segala luka yang selama ini dipendam. Samudra tidak tahu, ternyata luka yang dirasakan Asa sebegitu dalamnya.

Selama Ini perempuan itu selalu dikelilingi orang yang ingin dipahami tanpa memberikan pengertian kepadanya. Mungkin mereka lupa bahwa Asa juga manusia. Bahwa perempuan ini juga bisa merasakan sakit dan putus asa.

"T-tadi pagi gu-gue dipanggil karena nilai gue anjlok. Gue nggak bakal bisa ngambil SKS maksimal dan bahkan terancam DO. Gue takut Sam, gue takut ngecewain ayah. Gue takut dibuang lagi. Gue takut selalu jadi orang yang nggak berguna."

Asa menangis sejadi-jadinya. Melihat itu Samudra hanya bisa merasakan dadanya sesak. Sesak karena tahu bahwa Asa terlalu lama menyembunyikan luka.

"Asa denger saya." Ucap Samudra pelan tapi tegas. "Mungkin kamu takut gagal lagi. Mungkin kamu malas mengulang dari nol lagi. Atau bisa jadi kamu merasa kesepian selama ini. Kenapa selalu bertahan nyiksa diri kayak gini sih?"

Jauh di dalam lubuk hati, Asa berterima kasih karena Samudra lah yang tahu masa lalu Asa sebenarnya. Samudra benar, selama ini Asa hanya mau didengarkan. Karena pada nyatanya, Asa sudah terlalu lama hidup dalam kesepian.

"Lihat saya."

Asa membuka matanya perlahan. Pandangannya sedikit buram karena air mata.

Samudra menggenggam kedua tangan Asa dengan erat dan diletakan didepan dadanya.

"Tenang. Nggak semua harus ada jawabannya sekarang. Pelan-pelan. Semua luka ini pasti akan sembuh. Belajarlah berdamai dulu dengan diri kamu, maka perlahan kamu bisa memaafkan orang-orang yang pernah menyakiti kamu."

Asa menatap mata gelap Samudra. Seolah kedua bola mata hitam itu bisa memberikan ketenangan luar biasa padanya.

"Nggak masalah. Seberapa kali kita kalah, seberapa kali kita mengalah. Sampai tiba nanti waktunya untuk bangun dan melawan dunia. Setidaknya, bertahan." Samudra menatap Asa lirih. Dadanya ikut terasa sakit.

"Percuma. Dari dulu gue udah bertahan, Sam. Tapi apa? Lihat sekarang. Gue udah hancur, Sam." Jawab Asa sambil melepaskan kedua tangannya dari Samudra.

"Saya mohon, bertahan Asa. Kamu pantas bahagia. Jangan pernah berpikir lagi buat pergi, karena saya akan tetap disini. Disamping kamu."

Malam lah yang menjadi saksi bisu diantara keduanya. Asa berharap ini keputusan tepat. Mungkin Samudra adalah jawaban Tuhan untuknya. Mungkin Samudra memang ditakdirkan untuk memegangnya erat untuk tetap berdiri tegak disaat semua orang ingin menjatuhkannya.

Semoga memang begitu, karena saat ini Asa tidak punya lagi pegangan untuk bertahan hidup.

"Boleh saya tanya satu hal?" tanya Samudra ragu.

"Kenapa?"

Laki-laki itu menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Venus Thalassa Anindita itu nama asli kamu?"

Asa menggeleng. "Nama ini dikasih ayah."

PLUTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang