Bulan

5.8K 991 55
                                    

"Akh!"

Samudra meringis saat membuka matanya. Bau obat-obatan mulai menusuk hidungnya. Kepalanya pusing dan matanya mulai menyesuaikan cahaya di dalam ruangan itu.

"Sudah bangun pangeran tidur?"

Samudra tidak perlu menoleh untuk memastikan suara siapa yang ada di sebelahnya, lagipula di lehernya terdapat penyangga sehingga dia tidak bisa menoleh.

"Sudah berapa lama saya tertidur?"

"42 jam. Congrats, you driving me insane."

Asa menatapnya Samudra lama sekali. Diperhatikannya bentuk wajah pemuda itu dalam diam. "Bima udah cerita semuanya."

Samudra sudah menduga bahwa mulut Bima memang tidak bisa diam. Lagipula, jika Asa tau segalanya tentang Samudra, gadis itu bisa apa?

Melihat Samudra tidak memberikan respon apa-apa, berjalan mendekat. "Maaf."

Hening menyelimuti keduanya.

"Salah saya dimana, Asa?" Tanya Samudra tenang sambil menatap lurus langit-langit ruangan yang serba putih itu.

"Salah ya kalau saya lahir dari kesalahan? Saya juga nggak pernah bisa milih mau lahir dari rahim siapa."

Tanpa sadar, air mata Samudra sudah jatuh dari matanya yang tampak kuyu. Ia menoleh pada Asa.

"Kenapa saya nggak mati aja sekalian ya? Kenapa kalian malah bawa saya ke rumah sakit?"

Asa tidak menjawab. Gadis itu bahkan tidak mau menatap Samudra, tapi tangannya bergetar hebat.

Samudra menginginkan kata itu terdengar sekali lagi. Tapi bukan dari mulut Asa. Ia ingin ibunya sendiri yang menggumamkan kata 'maaf' itu. Samudra tidak ingin dibuang. Ia tidak ingin menyesali kelahirannya. Ia tidak ingin mengganti orang tua atau mengubah masa lalunya. Samudra hanya perlu ibunya hadir dihadapannya saat ini.

Perlahan, Asa mulai menangis hebat.

-PLUTO-

Asa tertawa pendek. Lebih tepatnya menertawakan dirinya sendiri. "Gue kira lo ngejauh gara-gara gue ngajak pacaran pas di rumah Bintang."

Hari ini Asa berkunjung lagi. Tampaknya mood Samudra sudah membaik. Setidaknya, Samudra sudah tidak meracau lagi seperti kemarin. Mengingat kejadian itu, hati Asa terasa sesak. Samudra begitu rapuh.

Gadis itu mencoba menggoda pemuda itu agar moodnya semakin membaik.

"Saya memang berencana menghindari kamu setelah itu." Jawab Samudra enteng.

Mata Asa melotot mendengarnya. "Jangan bercanda."

"Saya takut dengan segala sesuatu tentang cinta dan komitmen, Asa. Begitu takutnya sampai-sampai saya berusaha mengubur perasaan saya untukmu. Bukan berarti saya membenci kamu, bukan juga karena saya menyukai kamu. Entahlah, tapi saya merasa senang jika di dekat kamu."

"Jadi?"

Samudra terdiam cukup lama. "Kamu pernah lihat Dinosaurus di kebun binatang?"

Asa menggeleng.

"Tidak pernah kan? Benar, mereka sudah punah. Dipunahkan dengan paksa, tepatnya. Kamu tahu siapa pelakunya? Hanya sebongkah batu kerikil, tapi ukurannya 10 km."

"Itu Asteroid!" Bantah Asa.

"Benar. Tapi Asa, kamu sama saya itu ibarat Bulan dengan Bumi. Kamu tau berapa ukuran Bulan? Radius rata-ratanya 1.737 km."

Asa menatap Samudra tidak percaya. "Sam, lo masih sakit bahkan badan lo masih lemah dan sekarang itu yang ada di pikiran lo? Are you kidding me?"

"Kamu tahu apa jadinya kalau Bumi dan Bulan menyatu? Jika kamu mau bandingkan, batu kerikil seperti Asteroid saja bisa memusnahkan Dinosaurus. Bagaimana dengan bulan yang besarnya 173 kali dari Asteroid. Apa yang terjadi? Kiamat. Punah. Tamat."

"Maksudnya apa sih?"

"Kamu dan saya memang tidak bisa bersatu atau kita bisa sama-sama hancur. Saya memang mau memberitahukan ini dari kemarin, cuma waktunya belum ada. Mumpung sekarang kamu ada disini, saya bisa kasih jawaban atas pertanyaan kamu waktu itu."

Asa menatap Samudra dengan tatapan tidak percaya. "Lo sama gue emang bukan Bumi sama Bulan, tapi Saturnus dan Pluto. Jangan mikir macem-macem, sekarang gue bakal suapin lo makan karena tangan lo patah. Sekarang apa? Lemah kan lo? Apa artinya itu tuan Samudra Rahardian? Lo butuh gue. Lo butuh gue disamping lo, begitupun juga gue. Dan jangan harap setelah lo ngomong gini gue bakal ngejauh."

Asa menarik napas cepat dan melirik Samudra sinis. "Gue baru tau kalau selama ini lo bego."

- PLUTO -

"Jadi lo ditolak Samudra?"

Asa tidak menjawab. Barulah Asa mengingat betapa bodohnya gadis itu karena menceritakan kejadian yang dialaminya beberapa menit yang lalu pada Bintang.

Menanggapi diamnya Asa, Bintang bisa mengambil kesimpulan mengapa gadis yang ada disampingnya ini keluar dari kamar Samudra dengan menghentak-hentakan kaki.

"Gue ditolak sebelum nembak!" Asa menyilangkan tangannya dengan kesal sambil cemberut. "Apa jangan-jangan Samudra suka sesama jenis?"

Bintang menoyor kepala Asa. "Gini nih orang kalau cintanya ditolak jadi bego. Mungkin dia merasa kurang jantan kalau ditembak sama cewek."

"Tapi kan sekarang udah ada emansipasi wanita!"

"Atau mungkin dia gak mau sama lo karena lo laki banget?" Seketika Bintang memperhatikan Penampilan Asa dari atas sampai bawah.

Asa tidak menggubris godaan Bintang.

"Matahari dimana sih? Tanya Asa. Langit hari itu memang sedang mendung, matahari yang dicari Asa seakan terpenjara diantara awan-awan.

"Nggak tau." Jawab Bintang cepat.

"Kira-kira Samudra kapan boleh keluar dari rumah sakit ya?"

"Nggak tau."

Asa berhenti menatap langit lalu menoleh ke arah Bintang. "Jadi, yang lo tau apa?"

"Lo."

"Gue?" Tanya Asa bingung.

"Ya. Kayaknya di dunia ini cuma lo yang gue tau. Gue nggak perlu tau dimana matahari berada, atau kapan hujan akan turun. Gue juga nggak perlu tau keadaan perekonomian dunia. Kayaknya selama lo disini, persis di samping gue, gue gak perlu tau apa-apa lagi."

PLUTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang