Chaos

5.8K 803 63
                                    

Untuk : Saturnusku yang megah.

Perihal jarak, saya minta maaf karena tidak dapat menyapamu secepatnya.
Perihal rindu, saya juga minta maaf karena membuatmu risau.
Perihal waktu, saya berharap semesta memantaskanku agar berada di orbit yang sama denganmu nantinya.
Perihal perasaan, jangan ditanya.
Maaf untuk waktu yang saya lewatkan sendiri bersama beku yang membuatku nyaman.
Terima kasih untuk menjadi baik.
Terima kasih untuk menjadi yang pertama menyapa.
Mungkin ini biasa.
Tapi bagi saya yang tinggal di tepian bima sakti, ini sungguh menyenangkan untuk dipamerkan pada semesta nantinya.

Asa, saya akan berhenti disini.
Terima kasih karena sudah ada disamping saya selama ini.
Untuk membuat saya lupa pada kenyataan.
Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan pada kamu.
Jika saya membuka mata saya besok pagi.
Jika saya bisa melihat senyuman di wajah kamu lagi.
Saya akan tersenyum sambil memelukmu dan bicara seolah semuanya akan baik-baik saja.
Tapi saya tahu semua itu tidak akan terjadi.
Maafkan saya yang pengecut ini.
Maaf karena saya terlalu lelah dan harus menyerah pada dunia.
Maaf karena saya terlalu mencintai ibu saya.
Saya gak punya pilihan lain selain memberikan jantung saya agar ibu tetap hidup.
Maaf karena saya sudah bohong.
Maaf karena saya membuat kamu nangis malam itu.
Dan maaf..
Karena saya telah mencintai kamu.

Kamu janji akan menunggu waktu itu akan tiba kan?
Maka saya juga akan berusaha bertemu kamu lagi di kehidupan yang selanjutnya.
Saya akan minta akhir yang bahagia, tidak seperti ini.
Saya harap juga kamu bisa bahagia selama saya gak ada di dunia yang sama dengan kamu.
Kamu tahu, saya adalah orang yang paling egois memenangkan rasa, dulunya.
Tapi sejak saya mengenal kamu, sepertinya pemahaman mengenai 'bahwa tidak semua rasa harusnya berbalas' membuat saya sadar.
Bahwa kadang sebuah ketulusan tidak hanya dilihat dari sebuah kesetiaan.
Namun, bisa juga dilihat dari sebuah kerelaanmu untuk melepas.

- Planet beku yang sudah terlupakan, Pluto.


Kesedihan ini masih terasa selamanya. Hujan memang sudah berhenti, namun langit masih gelap. Awan-awan tetap kelabu, jalan-jalan masih dihiasi genangan air. Angin masih terus meniupkan hawa dingin. Payung-payung hitam, bunga-bunga mawar, aroma tanah basah, isak tangis, duka, seluruhnya masih ada.

Disamping nisan kayu anaknya, Santi masih menangis meraung-raung memanggil nama itu, sekalipun orang-orang berpakaian hitam-hitam sudah pergi perlahan-lahan membubarkan diri.

Sementara Asa, dia tidak menangis ataupun meraung-raung seperti wanita yang ada di hadapannya. Matanya masih menatap lurus ke depan, seakan sudah terperangkap di paralel dunia yang lain. Ia hanya berdiri diam. Tanpa air mata ataupun teriakan.

Walaupun tubuhnya masih ada disini, tapi tampaknya jiwanya sudah pergi mengejar Samudra.

Perlahan Bintang menuntun gadis itu pergi meninggalkan Santi yang masih memeluk nisan Samudra disebelah Tari. Asa berjalan seperti boneka yang dituntun oleh tuannya. Tanpa jiwa. Tanpa kehidupan.

Begitu pun berbulan-bulan setelahnya, Asa hanya diam di kamarnya, terduduk dengan tatapan kosong. Tak jarang Bintang mendapati gadis itu memandangi langit dari balkon kamarnya hingga tertidur dan berteriak meronta-ronta saat terbangun.

Tak ada yang bisa membawa Asa kembali ke dunianya, jiwanya sudah pergi bersamaan dengan kepergian Samudra. Hingga detik ini.

Kini Asa berjalan sendiri menyusuri pantai dengan tatapan kosong. Tak peduli siapa atau apa yang akan ditabraknya. Tak peduli seberapa ia terjatuh lalu bangun kembali. Bahkan gadis itu tak peduli kakinya yang terus saja mengeluarkan darah karena ia memaksakan kakinya terseret ke aspal tanpa memakai alas kaki selama berjalan dan sekarang ia harus menahan perih karena harus bersentuhan dengan pasir. Asa terus berjalan ke bagian pantai yang tidak terlihat banyak orang.

Drt!!

Tanpa melihat siapa peneleponnya, Asa mengangkat telepon itu lalu menempelkannya ke telinga.

"Asa, kamu dimana?"

"Kenapa, om?" jawabnya dengan suara serak.

"Ayah kamu kecelakaan, Sa. Sudah tidak bisa tertolong lagi. Kamu tolong cepat datang ke rumah sakit untuk data pasien."

Asa mendengar suara pamannya sedang menahan tangis di seberang sana. Sementara Asa sudah tidak kuat lagi mengeluarkan air mata.

Asa menjauhkan ponsel itu dari telinganya lalu memandang ke bawah. Dilihatnya kini ombak yang berlomba-lomba menyentuh kakinya. Berteriak seakan menyuruh Asa tenggelam bersamanya.

Ponselnya kini sudah terlepas dari tangannya. Jatuh menghantam batu pantai dan membentuk retakan besar di layarnya. Retakan-retakan kecilnya sudah tersapu oleh ombak yang berdatangan setelahnya.

Waktu seakan terasa cepat sekaligus lambat. Hingga akhirnya Asa tersadar dirinya sudah berjalan sampai ke tengah laut.

Dan akhirnya, air sudah menyelimuti seluruh tubuh gadis itu. Hanya satu yang dia mau sekarang.

Sebelum dia berjalan lebih jauh lagi, Asa mendonggakan wajahnya dan melihat dua bayangan laki-laki yang seakan menunggunya di langit sana.

Setelah itu, Asa tersenyum.Tak perlu menunggu lagi, Asa semakin berjalan ke tengah laut.

Hanya satu yang diinginkan Asa sekarang.

Tenggelam.

Menghilang bersama ayahnya menyusul Samudra.

PLUTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang