'Kata 'cuman' yang terucap, hanya sebagai penenang hatiku sendiri. Haruskah aku mengatakan bahwa aku terlalu berdebar saat, bahkan, hanya melihatmu?'
Christel melirik ibunya yang mondar-mandir memberesi pakaian ke dalam koper. Ayah yang jarang di rumah hari ini sudah duduk cantik di depan televisi. Berkali-kali Christel mendesah.
"Kalo kamu takut di rumah sendirian, ajakin Kinan nginep sini, ya. Kalo males masak, beli aja di luar. Jangan lupa pasang alarm tiap malem, entar kamu ga kebangun kuliah lagi."
Christel hanya diam. Besok ibunya harus ikut dengan ayah yang bekerja menjadi kontraktor. Kejadian dia harus ditinggal beberapa tahun lalu kini terulang.
Saat SMA, Christel harus berada di Bogor sampai menyelesaikan sekolahnya sendirian. Karena ayahnya bekerja di Jakarta dan ibu pasti harus ikut.
Dan sekarang, setelah Christel menyusul mereka ke Jakarta dan kuliah, orang tuanya kembali berpindah. Kota Jambi. Bukankah itu terlalu jauh dari Jakarta? Karena pekerjaan yang berpindah-pindah membuat ayah Christel membangun rumah yang tidak terlalu besar.
Kali ini, ibu memang benar-benar harus ikut karena di sana neneknya tinggal sendirian. Dan sangat tepat bagi ibu untuk bisa merawat nenek yang sudah renta.
"Christel beneran nggak boleh ikut, Yah?"
Gadis mungil itu bergelayut dilengan ayahnya yang tersenyum hangat.
"Kamu kan harus kuliah. Emang kamu mau pindah tempat kuliah dan ngulang dari awal? Juga nggak bakal ada Universitas broadcasting di Jambi."
Christel tersungut. Benar. Dia bahkan sangat mencintai kampusnya. Gadis ini begitu tergila-gila dengan dunia pertelevisian.
"Kamu kan udah biasa juga ditinggal."
"Tapi nggak selama ini, Bu. Aku baru semester empat loh. Dua tahun lagi dan harus sendirian."
"Belajar mandiri. Selama ini kamu apa-apa sama ibu dan ayah. Sekarang kamu harus bisa ngatur semuanya sendiri karna kamu udah gede. Dulu jaman SMA juga kan kamu apa-apa dibantuin sama bibi-mu. Sekarang kamu beneran sendirian, dan kamu harus bisa."
Christel hanya terdiam mendengar balasan panjang dari ibunya. Benar juga, dia harus bisa lebih mandiri. Mengingat umurnya yang dua tahun lagi akan berkepala dua.
***
Hari kedua praktek lapangan berlangsung. Setelah kejadian kemarin, Christel baru sadar jika Dion benar-benar memanfaatkannya.
Kalo dia baik, dia gak bakal jadiin lo babu.
Kembali hari ini, semua pekerjaan tertimbun dibahu cewek mini itu. Namun dia juga tidak bisa menolak, karena merasa bertanggung jawab dengan para juniornya. Jadilah dia kembali begitu sibuk hari ini.
Berkali-kali cewek dengan dress denim setengah tiang dengan lengan pendek dan boots hitam mengedar pandangan. Tapi lagi-lagi, cowok kulkas itu tidak terlihat.
Kemana lagi tuh bocah?
Christel kembali berkutat dengan kesibukkannya.
"Del." Panggilan itu membuatnya menoleh. Orang itu satu-satunya yang memanggil Christel dengan sebutan Delana setelah para dosen. Dan sepertinya orang itu sedang tidak dalam suasana yang baik.
"Iya bang."
Tumpukkan kertas berhambur di depan Christel yang benar-benar terkejut. "Beresin! Kerjaan lo gak ada yang bener."
Christel mengerut. Inikah Dion yang sebenarnya?
Tanpa berkata apa-apa lagi, Dion pergi. Membiarkan kertas itu berserakan. Christel mengumpat sambil memberesi kertas-kertas itu.
Dion kembali dengan sebuah meja kerja kecil yang diletakkannya berdekatan dengan Christel yang kembali terdiam dengan tangan yang masih sibuk dengan kertas. Beberapa kamera bertengger rapi di atas meja itu.
Christel benar-benar menahan amarahnya sekarang. Dia hanya bertekad untuk tidak kalah dengan cowok yang dulu sangat digilai-nya.
Dulu? Iya, untuk saat ini dia benar sudah muak dengan perlakuan Dion.
Kreak!
Bunyi itu membuat Christel bergeming diposisi setengah berdiri. Suara itu membuatnya tertegun sesaat, lalu segera melihat yang terjadi.
Christel membelalak melihat sobekkan didressnya. Cukup lebar, dan cukup untuk membuat beberapa orang yang lewat menyembunyikan tawa.
"Lo sengaja narok dress lo deket meja ini, biar kameranya pada jatoh?" Christel menggeleng menahan genangan dipelupuknya. Kenapa laki-laki ini berubah terlalu drastis?
"Alah! Bilang aja iya. Kerjaan lo emang gak ada yang bener. Nyesel gue ngasih kepercayaan penuh ke lo." Masih dengan tangan memegang robekkan didressnya, agar tidak terlalu terbuka, Christel kembali menggeleng pelan.
Lidahnya kelu, sehingga sedikitpun tak ada kata yang keluar. Gadis itu benar-benar lelah hari ini. Dan itu juga karena pria yang saat ini sedang membentaknya.
Entah karena sebuah bentakkan atau memang kecewa sebab sangkaan kebaikan tentang pria itu sama sekali salah. Christel tak lagi bisa menahan air matanya saat melihat Dion pergi dengan tatapan tak suka.
Senggukan Christel mereda saat merasakan sebuah tangan melingkarkan sesuatu dipinggangnya. Dan tangan itu kembali menggenggam sebelum sempat Christel mengatakan apa pun.
***
Usapan tangan mungil itu berakhir dengan tatapan ke arah cowok yang kini duduk dengan rokok terselip dijarinya.
"Makasih, ya." Dengan masih terisak, Christel masih memandangnya.
Cowok itu membuang puntung rokok yang langsung menginjak agar api rokok padam.
"Udah?" Christel hanya mengerutkan dahi. "Nangisnya udah?" Dan gadis itu hanya mengangguk. Nada dari pria kulkas ini sama dinginnya dengan bentakkan Dion tadi. Tapi entah mengapa rasanya berbeda.
"Cengeng banget, ya. Pantes bego." Alis Christel bertaut dengan kerucutan bibirnya. "Gue tinggal. Jangan nangis cuman gara-gara rok sobek."
"Nggak kok. Gue cuman sebel aja dituduh-tuduh sama bang Dion kayak gitu." Cicitan Christel membuat pria kulkas yang sudah beranjak kembali melihatnya.
"Gue tau. Dan ini kali kedua Dion buat lo susah. See? Cowok baik lo itu perlu dikasih pelajaran."
"Lo gak berpikir buat ngeluarin dia dari kampuskan, Al?"
Senyuman miring terbit dari bibir cipokable tuan kulkas itu.
"Soal pendidikan dia itu bukan urusan gue. Kampus ini juga punya bokap gue kok, gue gak punya hak buat hal-hal semacam itu. Lagian, ngeluarin dia dari kampus itu hukuman paling mudah, kan? Dan gue gak suka sama sesuatu yang terlalu mudah."
Christel hanya diam menggenggam jaket pria kulkas yang masih melingkar dipinggangnya. Sobekan yang disebabkan Dion tertutup sempurna karena jaketnya.
"Alta." Panggilan Christel membuat Alta kembali menoleh. "Kenapa lo selalu ngelindungi gue?"
"Anggap aja gue emang ngelindungi lo. Jadi jangan sungkan nekan panel hijau di handphone lo kalo butuh gue."
☺☺☺
Another part...🤗
Selamat membaca, mari mengapresiasi karya penulis dengan memberi vote dan komen.😉
Salam hangat dari Mbak Uti yang kelelahan💦
![](https://img.wattpad.com/cover/150809148-288-k860464.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Je t'Aime [Sudah Terbit]
General Fiction(Tersedia di shopee dan playstore) Warning !! Sebelum baca Je t'Aime Aussi, disarankan buat baca cerita ini dulu. Biar gak bingung. Tengkiyu Hidup gadis itu berubah setelah bertemu dengan Alta Prasiarkana. Lelaki yang beberapa tahun lebih muda darin...