Bintang Kapal Pesiar | 13

882 117 13
                                    

'Tentangmu yang baru aku kenali, rasanya menyenangkan merasakan debaran karenamu.'

Mulut gadis itu membuka lebar. Mengedar memandang rumah yang berlipat-lipat lebih besar dari rumahnya. Meski dengan gaya minimalis, namun rumah ini tidak bisa disebut minimalis.

"Yuk masuk. Aku lagi sendirian. Papa, Mama lagi keluar kota buat bisnis."

Christel hanya mengangguk pelan dan mengikuti Rana. Meski bersyukur tidak bertemu dengan pimilik kampus yang, katanya, sangat tegas dan kaku, Christel masih berharap bisa bertemu Alta di dalam rumah ini.

Sepanjang perjalanan mereka hanya bercerita tentang kampus dan bagaimana menjadi sutradara. Rana menceritakan pengalamannya menjadi sutradara. Tidak mudah, dan tidak ada bantuan dari ayahnya yang sangat kaya raya ini.

Namun sedikitpun Rana tidak menyinggung tentang Alta. Itu membuat Christel semakin khawatir.

Hanya sebatas senior dan junior. Tidak ada salahnya khawatir, bukan?

"Duduk dulu, ya. Aku mau ganti baju bentar." Christel tersenyum dan mengangguk. Dilihatnya Rana menaiki tangga menuju kamar.

Rumah ini besar, tapi sangat sepi. Sebelum masuk, Christel melihat beberapa pekerja taman sedang bersih-bersih. Dan baru saja ada seorang asisten rumah tangga yang sudah paruh baya memberinya minum.

Sebuah foto di atas rak membuat Christel berdiri. Seulas senyum terlukis dari gadis mungil itu. Foto seorang balita dengan rambut lurus yang dikuncir ujung depannya sedang memegang ice cream, berdiri di tepian menara Eiffel.

Umur segitu udah sampe Paris aja lo, Al.

"Maaf. Lama ya, Tel?" Christel menoleh dan tersenyum.

"Gak papa kok, kak." Christel duduk di samping Rana yang sudah dengan baju lebih santai.

Christel tidak bisa menyangkal jika Rana benar-benar cantik. Wajahnya terlihat seperti gadis arab. Hidung mancung, kulit kecoklatan, dengan bibir tebal yang sexy. Rambut bergelombang yang pirang dan tebal melengkapi penampilan gadis itu. Ah jangan lupa, Rana juga punya tubuh tinggi.

Sempat melihat foto keluarga saat memasuki rumah ini, membuat Christel menyimpulkan wajah arab Rana turunan dari sang Mama.

Dan Alta? Wajah pria itu tidak terlalu ke-arab-an. Bahkan cendurung seperti orang barat.

Ah, kenapa Alta lagi?

"Ini kartu nama aku. Ada nomor handphone sama alamat PH yang sekarang aku diriin. Maaf kalo Alta ngerepotin kamu, ya. Padahal dia bisa aja ngasih cuma-cuma nomor aku ke kamu."

Christel menerima sodoran kertas dari Rana dengan senyum. "Gak papa, Kak. Alta juga ga semerepotkan itu kok."

"Menurut kamu Alta gimana?" Christel melihat Rana yang menatapnya dengan penasaran. "Yah, soalnya baru kamu yang bilang Alta itu gak merepotkan. Padahal siapa aja juga tau, Alta itu suka buat orang susah sama kelakuan dia."

Gadis mungil itu mengigit bibirnya sekilas. Memainkan kukunya karena gugup.

"Alta... dia baik kok, kak. Ya emang sih, kalo ngomong suka sembarangan. Tapi dia perhatian kok."

"Oh, ya? Perhatian?"

"Iya. Pernah waktu praktek lapangan bulan lalu, dia ngajakin aku makan karna tau aku lemes belum makan. Terus ada sesuatu yang ngebuat rok aku sobek, dan dia ngasih jaketnya ke aku."

Benar. Jaket Alta belum aku balikin.

"Kayaknya dia tertarik sama kamu." Mata Christel membulat, semakin sering dia memainkan kuku. Rana tersenyum ke arahnya.

***

Tas hijau lumut itu terlempar begitu saja, dan sang pemilik merebah keras di atas kasur. Christel tampak mengatur napasnya yang tiba-tiba tersengal.

Bertemu Rana membuatnya mendapatkan sesuatu yang lebih dari apa yang dia mau. Nomor handphone idolanya itu, alamat production house yang Rana dirikan sendiri, juga cerita tentang Alta.

"Asal tau aja, Alta bukan tipe orang yang peduli sama orang lain. Bahkan sampe khawatir. Sampe tau kamu lemes karna belum makan, itu sesuatu yang langka banget. Bahkan aku sendiri sebagai kakaknya ga pernah digituin. Kalo gak tertarik sama kamu, apa lagi coba?"

Christel menutup matanya kuat. Percakapan dengan Rana membuat rasa penasaran tentang pria kulkas itu semakin menjadi.

"Tuh, kan. Dia sampe udah tau rumah kamu? Gila ya? Dia jadi kayak penguntit." Rana tertawa renyah saat Christel menceritakan tentang Alta yang datang ke rumahnya.

"Kakak tau kenapa dia bisa babak belur gitu?"

"Ah biasa. Dia itu sering buat ulah. Paling dia berantem sama temen motornya. Atau sama pengunjung clubnya."

Temen motor? Alta anak geng motor? Pegunjung club? Alta juga clubbing? Tapi kenapa Rana terlihat begitu santai dengan kelakuan Alta yang seperti itu?

Meski sangat ingin tau, namun Christel tidak ingin Rana mengira dia tertarik pada Alta. Sehingga membuatnya memilih untuk tidak lagi menanyakan apa pun.

"Kamu tau, arti nama Alta itu apa?" Christel hanya menggeleng. "Rana, nama aku itu artinya bulan. Dan Alta itu bintangnya."

Sudut bibir gadis yang kini memejamkan mata itu, terangkat. "Bintang di kapal pesiar." Sesaat setelah berkhayal tak jelas, Christel meraih handphone dan membuka aplikasi WhatsApp.

Dia tidak akan menahan diri kali ini. Jari gadis mini itu mengetik cepat, segera menekan tombol send. Napasnya terhempas kuat. Tak peduli dengan balasan, setidaknya Christel sudah memberanikan diri.

Mr. Kulkas : Kemana?

☺☺☺

Pengen cepet-cepet update 😂😂

maafkeun kalo ada typo yaaa😘😘

happy reading😇😇

Je t'Aime [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang