Jebakan | 16

989 136 28
                                    

'Seperti orang bodoh, aku rela menantang bahaya jika itu bisa membuatmu ada.'

Tanpa menanyakan apa pun, Alta langsung membawanya pulang. Membiarkan tangis gadis itu habis, sebagai penenang hati.

Tak ada yang berbicara selama perjalanan. Dan hening masih dengan setia menyelimuti saat mereka sudah duduk di sofa rumah gadis itu.

Christel tak lagi menangis. Sesekali, gadis itu menarik air dari hidungnya. Sekilas dilirik Alta yang sejak turun dari mobil terus melihatnya.

Terdengar desahan dari tuan kulkas itu. "Ngapain ke sana?" Dan suara lembut Alta memecah kecanggungan.

Lembut? Iya. Tidak ada nada dingin yang biasa Christel dengar dari Alta. Suara itu terdengar menenangkan. Atau karena Christel mulai menyukai cowok itu? Sehingga suara ketuspun menjadi hangat?

Christel tidak menjawab. Gadis itu hanya memainkan kukunya. Harus jawab apa?

"Lo gak budeg kan? Jangan buat gue sampe ngulang pertanyaan yang sama. Gue bisa nekad nyari penyebab lo ke klub gue kalo lo gak ngomong sekarang."

Mata mereka bertemu. Ada kekhawatiran yang Christel tangkap dari tatapan pria itu. Christel berpaling. Tidak seharusnya dia berani menatap pria yang satu bulan ini membuatnya berdebar meski tak saling bertemu.

"Gue pikir lo kenapa-kenapa. Bang Dion-,"

Alta menyipit mendengar penjelasan Christel. Dan segera melihat pesan video yang dikirim Dion. Pria itu mendengus.

"Lo bego, ya?! Kenapa percaya?!" Christel beringsut mendengar teriakkan Alta yang kini berdiri. Berkali-kali pria itu mengusap kasar wajahnya. "Lo gak liat, ini waktu gue dateng tiba-tiba ke sini dengan keadaan-, ah lupain!"

Benar. Dalam video itu Alta memakai baju yang sama saat dia dengan keadaan mengerikan berkunjung ke rumah Christel.

"Gue cemas! Gue gak mikir apa-apa selain lo yang di pukuli. Siapa yang gak panik tiba-tiba dikirimi pesan video kayak gitu? Kalo bukan lo, gue juga gak bakal seberani ini dateng ke tempat kayak gitu!"

Suara Christel ikut meninggi. Bulir itu kembali jatuh, dengan kasar Christel menghapus. Alta kembali duduk, menutup mata untuk meredam emosinya.

"Lo dijebak. Harusnya lo gak gegabah langsung dateng ke klub gue. Gak ada orang baik di sana, Tel."

Untuk pertama kalinya, Alta benar-benar menyebut namanya.

"Gue bisa gila kalo lo sampe kenapa-kenapa." Ucapan itu membuat Christel mendongak. Mencari mata pria yang sekarang terlihat sangat hangat.

"Kenapa? Kenapa Dion mau jebak gue dengan ngirimi video kayak gini? Dan kenapa lo dipukuli? Dion ada di sana dan dia gak bantu lo. Kenapa?"

Alta mendesah. Meremas tangannya kuat. "Gue baik-baik aja kok."

"Bukan jawaban itu yang gue mau. Jelasin semua!"

"Minnion, dia masih sakit hati sama apa yang gue lakuin di praktek lapangan waktu itu. Dan lagi, dia ngerasa image dia jadi buruk di depan para dosen. Asal lo tau, dia itu udah iri sama gue dari dulu. Gue sama dia emang ga pernah satu sekolah, tapi gak tau kenapa dia selalu ngerasa kalo gue rival dia.

"Gue selalu menang di lomba basket, jadi juara disetiap olimpiade, ngalahin dia di sirkuit balap liar, dan yang terakhir, dia ngerasa cafe-nya sepi karena klub gue. Orang-orang yang mukulin gue divideo itu suruhan dia. Itu kenapa gue selalu bilang, lo gak tau siapa dia yang sebenernya."

Christel diam. Mencerna setiap kalimat yang Alta ucapkan. Klub? Balap liar? Hal-hal sama seperti yang Rana ceritakan tentang Alta waktu itu.

"Balap liar? 'Klub gue'?"

Je t'Aime [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang