Babak Belur | 10

931 123 14
                                    

'Sepertinya, aku mulai terpesona.'

Christel berjalan santai menuju kantin kantor. Kinan yang masih asik dengan gadget-nya, mengekor. Hari terakhir praktek, tak ada salahnya dia memanjakan diri makan di kantin kantor ini, bukan?

"Mau makan apa, Kin?" mereka sudah bediri di depan meja pesanan.

"Ikut aja." Kinan masih sibuk dengan benda pipih berlogo apel tergigit itu.

Christel hanya menggeleng dan mendesah. "Dua porsi paket sedang, ya, mbak."

"Mbak yang namanya Delana Christel, ya?" pertanyaan asisten koki itu membuat Christel mengangguk canggung.

Ah benar. Mereka memakai nametag yang menunjukkan mereka mahasiswa praktek lapangan.

"Mbak pesen aja apa yang mbak mau. Temennya juga bebas milih apa aja. Mas Alta udah pesen kalo apa pun yang mbak pesen dia yang bayarin."

Senyuman diwajah petugas perempuan itu membuat Christel semakin kebingungan. Alta, memberi makanan enak di kantor ini cuma-cuma untuknya?

"Asiik, makan enak dan gratis." Kinan tersenyum sumringah. Langsung mengambil kertas menu dengan semangat.

"Kin, lo gak tau malu banget, ih." Hardik Christel.

"Bodo. Emang lo rela makanan gratis ini lewat gitu aja? Sayangkan, lagian biasanya kalo makanan gratis itu, nikmatnya beda."

Christel menyipitkan matanya kesal.

Seseorang melintas di seberang kantin, membuat gadis itu hendak memanggil. Tapi sepertinya Alta terburu-buru. Dia berjalan tergesa dengan handphone ditelinga.

Ah, nanti ditelpon aja.

Christel tidak bisa menyembunyikan kegelisahaannya selama menyantap makan siang. Entah kenapa, perasaannya jadi tidak enak setelah melihat wajah terburu-buru Alta.

***

Gadis mini itu meletakkan camilan yang sudah habis setengah. Sepertinya dia perlu makanan berat untuk mengisi perutnya yang masih lapar.

Sepi. Dan Christel sangat lelah. Sebenarnya dia memang orang yang tidak terlalu suka ramai. Namun kecintaannya pada pertelevisian membuat jiwa penyendirinya terkubur.

Demi sesuatu yang penting untuk hidupnya, Christel tidak bisa terus bersikap tertutup. Jika terus seperti itu, siapa yang bisa merubah siapa selain dirinya sendiri?

"Minnion." Christel berhenti dikaki. Terkejut dengan suara serak dari luar. Matanya membuka lebar.

Siapa? Kuntilbapak? Suaranya serak-serak becek gitu.

Christel bergidik dan berusaha tidak menghiraukan.

Tok.... tok.... tok....

Kini pintu rumahnya terketuk. Christel kembali menoleh. Bergegas berjalan menuju pintu.

Tunggu dulu. Suara laki-laki dan memanggilnya dengan sebutan 'Minnion'? Mungkinkah?

Mata Christel membelalak sesaat melihat seseorang dihadapannya. Mulutnya terbuka tanpa suara. Seseorang di depannya bernapas dengan terengah. Wajah cowok itu terlihat sangat.... mengerikan. Darah berada disudut bibir, pipi dan pelipisnya. Lebam memenuhi wajah.

Telapak tangannya penuh dengan luka. Christel tidak bisa mengatakan apa pun. Tapi pria itu justru tersenyum kecil saat melihat Christel. Sampai kakinya tak lagi bisa menumpu, membuat tubuhnya ambruk begitu saja.

"Alta!"

***

"Gue gak tau kalo dia mau ke rumah lo dengan keadaan kayak gini, Tel. Dia minta alamat lo ya gue kasih. Begituan doang kok."

Kinan memberikan penjelasan karna Christel membuatnya tidak nyaman dengan tatapan yang tidak bersahabat.

Karena terlalu panik, akhirnya Christel menelpon Kinan untuk datang. Dan kecurigaannya tentang Alta yang tiba-tiba datang ke rumahnya, benar. Kinan-lah penyebabnya. Sahabatnya itu benar-benar terlalu 'baik' dengan cowok ganteng.

"Terus sekarang gimana?"

"Ya lo apain kek nih bocah. Lagian habis ngapain sih sampe babak belur gitu dia?"

Christel hanya mengangkat bahu sekilas. Menatap Alta yang menutup matanya rapat.

***

Setelah melihat Kinan yang tidur dengan nyaman di kamar yang dulu ditempati kedua orang tuanya, Christel keluar dan meraih kotak P3K. Tidak seharusnya dia membiarkan Alta tidur atau pingsan dengan keadaan yang sangat jauh dari kata baik.

Christel masuk ke kamarnya dan duduk dibibir ranjang. Kembali melihat Alta dengan wajah yang mulai membengkak karena lebam. Gadis itu mendesah.

Habis ngapain sih lo, Al? Jadi bonyok gini mukanya.

Christel membersihkan darah yang mulai kering diwajah dan tangan pria itu. Lalu mencoba membuka jaket kulit yang dipakai. Christel bernapas lega karna tidak ada luka dibagian lain tubuh pria itu.

Sangat pelan, gadis itu menempel beberapa plester diwajah Alta yang terluka. Dengan jelas, Christel bisa melihat setiap sudut wajah Alta. Menatap matanya yang tertutup, hidung bangirnya, dan mata Christel berhenti dibibir Alta.

Tangan gadis itu tak lagi bisa tertahan untuk menyentuh wajah Alta. Mengusap sekilas bibir pria itu.

Haruskah, Al?

Gerakan Christel terhenti. Mata Alta yang terbuka membuat gadis itu sedikit terkejut dan menarik diri. Tapi tangan pria itu kembali membawanya mendekat.

"Gue seneng masih bisa ngeliat lo, Minnion." Lirih suara itu masih bisa tertangkap jelas dipendengaran Christel.

Tubuhnya menghangat. Christel menahan napas, wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari Alta yang kini kembali menutup mata. Segera Christel menarik tangannya dan menjauh.

Dia cuman ngigau, Tel. Dia gak sadar ngomong gitu.

☺☺☺

Apdet lagi yaaaakkk 🤗🤗

Selamat membaca, vote dan komen jangan lupa.😚
🍁

Je t'Aime [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang