Praktek Lapangan | 8

1.1K 137 43
                                    

'Jangan ke-pede-an. Gue juga nggak suka sama lo.'

Beberapa kali Christel memutari kamarnya yang tak seberapa. Sesekali diliriknya kertas yang dengan mudahnya diberikan oleh pria kulkas itu. Meski awalnya Christel sempat bahagia, namun kini dia terlihat ragu.

Apa harus dicoba?

Tentu saja. Siapa yang mengira jika sebenarnya pria kulkas itu sebaik ini?

Dan Christel memutuskan untuk menghubungi nomor yang tertera di sana. Beberapa kali terdengar nada 'tut tut...' , dan...

"Hallo." Sapa Christel setelah merasa jika seseorang diseberang sana menganggkat teleponnya.

"Lo harus selalu di samping gue selama praktek lapangan. Dan gue nggak mau lo deket-deket sama senior yang lo ganjenin tadi siang." Christel membulatkan matanya.

Kenapa suara pria kulkas ini? Di mana Rana?

Christel mengumpat tanpa suara. "Kok elo sih?" Dan pertanyaan itu tidak lagi bisa ditahan olehnya.

"Soal tawaran lo ngabulin apa pun yang gue minta, gue terima. Setelah itu, gue bakal kasih nomor kakak gue."

"Shit!" umpatan itu meluncur begitu saja. "Apa lo bilang?" Suara itu kembali menyadarkan Christel yang hanya berdehem.

"Itu permintaan pertama gue. Karena lo mirip jin yang datengnya tiba-tiba, gue minta tiga permintaan yang harus lo turutin."

Klik. Sambungan telepon itu tertutup sebelum Christel sempat mengeluarkan suaranya.

Gadis itu memukul-mukul bantalnya untuk melampiaskan kekesalan.

"Cowok kulkas sialan. Baru nemu manusia kayak tuh orang."

***

Tank top hitam, jeans dan sneakers hitam serta kemeja biru langit menjadi paduan paling normal sepanjang sejarah fashion dari seorang Delana Christel.

Jangan pakek baju yang mencolok. Lo mau praktek lapangan, bukan mau pawai.

Pesan itu menjadi faktor utama Christel memilih warna paling netral diantara semua warna yang pernah disakitinya dengan menyatukan mereka meski tak serasi. Segala yang disatukan tanpa keserasian akan berakibat buruk, bukan? (Sa ae mbak uti, ah).

"Lo keliatan terlalu 'normal' hari ini, Tel." Kinan tak bisa menyembunyikan senyum dibalik kemudi mobil.

"Udah deh. Ini juga gara-gara lo, tauk?"

"Kok gue sih? Eh, by the way ni ya. Gimana, udah dapet belum nomornya kak Rana itu?"

"Iya, ini semua gara-gara ide lo soal dapetin nomornya kak Rana dengan bantuan adeknya yang kayak kulkas itu." Kinan berkerut.

Sesaat kemudian, tawa Kinan menggema kuat. Christel mendengus dan kembali melihat ke arah jalan dengan tangan terlipas didada.

"Lagian lo mau-an aja nurutin junior kayak gitu." Kinan menoleh sejenak dengan sisa tawanya.

"Lo nggak tau seberapa pedesnya mulut tuh bocah, Kin. Gue masih punya malu kalo dia ngehina gue di depan orang banyak."

Kinan hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum, trilili...lilii...lilili (mulai jiwa tuanya).

"Buat saat ini, gue bakal turutin apa maunya dia. Siapa tau gue juga bisa tau alamatnya dia, kan? Jadi gue bisa ketemu sama kak Rana sepuasnya."

Tekad gadis itu terlihat (terlalu) besar.

***

Tak ada waktu untuk bisa berada di samping Alta saat ini, seperti apa yang cowok kulkas itu mau. Christel terlalu sibuk membantu Dion mengurus duapuluh junior lainnya.

Je t'Aime [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang