Sambutan Lisa | 24

824 112 15
                                    

'Ucapan itu bisa menguap seiring waktu. Perasaan saja bisa terlupa, apa lagi sekedar kata-kata.'

Alta menghempas badannya di kasur dengan bedcover berwarna softpink itu. Jelas bukan ranjang pria yang lebih menyukai warna hitam, putih dan abu-abu itu.

"Bu Sut. Sibuk, ya?" Alta melirik kakaknya yang membolak-balikkan beberapa kertas di meja kerjanya.

"Lumayan." Rana menoleh sambil membuka kacamatanya. "Tapi demi adik tercinta, gue rela ninggalin semua ini." Sambung Rana tersenyum. Menyandarkan punggungnya dan menyilang tangan di depan dada.

"Gue serius, kak." Alta tampak jengah.

"Iya-iya. Ada apa sih? Tinggal cerita aja juga."

Alta duduk menghadap Rana yang sudah sangat siap mendengarkan ceritanya.

"Tadi gue ketemu Christel."

"Bagus dong. Dua bulan lebih lo ninggalin dia."

"Tapi Christel liat gue sama Merlin."

"Oh, ya? Terus?"

Alta mulai menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Rana hanya mengangguk pelan mencoba mencerna semua ceritanya.

"Apa perasaan gue kurang jelas ke Christel, kak?"

"Bukan kurang jelas, tapi emang gak jelas. Lo suka sama dia, tapi gak bilang suka. Ya gimana dia mau percaya?"

"Tapi gue sering ngodein dia, kak. Gue sering bilang kalo dia itu calon istri gue." Alta terlihat seperti anak polos saat ini. Rana tertawa dibuatnya.

"Ih, kek anak jaman sekarang banget lo, ya? Main kode-kodean gak penting. Kalo suka itu bilang, 'Bintang'." Alta melotot ke arah Rana yang menutup mulutnya sejenak. Alta berarti bintang, dan Rana sering mengejeknya dengan panggilan itu.

"Bukan malah ngodein. Lo pikir dia peramal ngerti kodean lo? Kalo pun dia peka, gak mungkin sih cewek bakal ngomong duluan, Alta Prasiarkana."

Alta nampak berpikir. "Jadi gue harus gimana, kak?"

"Ya ngomong dong. Ampun deh, Alta. Katanya preman beginian aja gak bisa."

Rana memutar matanya kesal. Alta kembali berbaring. Memikirkan ucapan Rana.

"Jangan kode-kodean kayak anak alay tik-tok, Al. Lo udah gede." Rana kembali dengan kertas-kertasnya.

"Lo nemenin dia terus selama gue gak ada kan, kak?"

Rana tiba-tiba menghentikan kegiatannya, menoleh pada Alta yang kini menutup matanya.

"Dia punya temen-temen yang baik kok. Sesekali gue ajak dia main. Mama juga udah ketemu, dan keliatannya mama suka."

Alta tersenyum tanpa membuka matanya.

"Gue gak salah milih dia, kan? Tapi kayaknya dia yang salah milih gue. Itu yang gue takutin kalo sampe gue ngomong sayang sama dia."

"Makanya, lo harus berani sekarang. Gue yakin dia gak berpikir salah milih lo." Rana berucap lirih.

Alta langsung terduduk dan segera berdiri. Masih dengan senyum.

"Makasih waktu curhatnya, Bu Sut. Gue mau tidur."

Pria tinggi itu berjalan. "Seengaknya, lo bisa tau seberapa sayangnya dia ke lo."

Suara Rana membuatnya berhenti di ambang pintu. Beberapa detik Alta hanya bisa terpatri, sampai senyumnya mengembang dan kembali berjalan sambil mengibas tangannya sekilas. Rana menatap dengan desahan.

Je t'Aime [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang