PART TWENTY FOUR

7.5K 297 32
                                    

Assalamualaikum semua, sebelumnya aku mau mengucapkan pada kalian semua yang merayakan, Selamat Hari Raya Idul Fitri Mohon maaf lahir dan batin. Semoga di lebaran kali ini dapat memberikan dampak yang baik pada keimanan kita semua.. Amin YRA

Dan aku juga mau mengucapkan Selamat liburan panjang bagi para siswa dan siswi SD, SMP dan SMA. Semoga liburan panjang ini dapat memberikan inspirasi bagi kalian semua saat ditanya liburan kemana aja. Dan buat yg kuliah, jgn sedih yh Walaupun msk mulai masuk lagi, akan datang masa nya kalian leyeh leyeh kok... 😁

Oke, sebagai ucapan maaf dan hadiah lebaran, aku kembali melanjutkan cerita menye menye yang aku mulai dari kapan tau. So check this out guys...

Rena POV

Pagi ini aku dibangunkan dengan suara debur ombak yang berbisik di pendengaranku, rupanya aku masih di pulau dewata. Jika tidak salah, hari ini adalah hari terakhir aku di Bali. Jujur saja, aku tak ingin pulang dari tempat indah ini. Tapi, jika sampai aku tak pulang bisa-bisa aku tak diizinkan berlibur lagi oleh ayah bundaku. Jadi dengan terpaksa kukatakan, aku harus pulang. Bye beautiful place...
Seperti biasanya, aku akan memeriksa ponselku saat aku bangun tidur. Membalas chat yang masuk saat aku sedang tertidur dan membuka sosial mediaku. Setidaknya aku butuh satu jam untuk menyelesaikan semua rutinitas itu. Setealah selesai, aku memutuskan untuk mandi. Karena ini hari terakhirku disini, aku harus memanfaatkan hari ini dengan baik dan menyenangkan setidaknya untuku.
Setelah selesai bersiap, aku menuju dapur untuk membuatkan secangkir kopi untuk kak rean dan untuk sarapannya aku akan memesan dari restoran hotel ini. Dan aku sendiri akan sarapan langsung di restoran kemudian menikmati sisa liburanku di sini.
Karena ini adalah hari sabtu, bali cukup ramai dipagi ini. aku berjalan menyusuri jalan sekitar villa. Karena aku menginap di daerah yang cukup sering dikunjungi wisatawan, disekitar villa terdapat beberapa toko souvenir dan beberapa distro clothing terkenal. Sehingga, aku tidak kesulitan mencari sedikit oleh-oleh untuk teman-temanku.
Setelah memastikan oleh-olehnya cukup, aku kembali meyusuri jalan dan menikmati udara panas khas daerah pantai. Meskipun panas, aku sangat menyukainya karena angin pantai tak hentinya berhembus sehingga panas yang kurasa tidaklah begitu menyiksa. Seperti yang kita tahu, bali adalah surganya wisatawan asing dari beragai negara. Tak dapat aku pungkiri jika aku memanglah sedikit melihat-lihat para turis mancanegara ini. tidak jarang, beberapa kali aku mencuri pandang saat berpapasan dengan turis pria yang aku sukai. Kebiasaan mereka yang shirtless saat dipantai menjadi keuntungan sendiri bagiku. Karena aku dapat melihat secara langsung keindahan ciptaan tuhan yang mereka jaga dengan olahraga rutin. Sungguh indah duniaku.
Tetapi mungkin aku terlalu sibuk menaruh perhatian pada pemandangan indah yang tersaji dihadapanku. Hingga tak sadar kakiku terantuk batu dan menyebabkan aku terjatuh  kedepan dengan lututku menjadi tumpuannya. Jika sudah seperti ini, hal utama yang ada dikepalaku adalah rasa malu terjatuh di depan umum. Hal ini lebih utama dibandingkan sendal yang putus dan lututku yang kemungkinannya lecet karena tergesek dengan aspal.
Tak lama berselang, seorang pria menghampiriku dan menanyakan keadaanku. Aku malu, rasanya ingin menangis saja, tapi jika aku menanggis bukankah itu lebih memalecetn?
“Gek, tidak kenapa-kenapa? Mari saya bantu berdiri.”
“Saya baik-baik saja bli, hanya tersandung.”
Seorang bapak-bapak muda menghampiri aku dan mengulurkan tangan nya untuk membantuku berdiri. Aku menerima uluran tangan yang bapak itu berikan. Rupanya aku sedikit menarik perhatian orang-orang yang lewat sehingga mereka nampak ingin tahu dengan apa yang sedang terjadi.
“Lutut Gek sedikit berdarah, harus segera dibersihkan agar tidak parah. Saya carikan obat mau?”
“Ah tidak perlu repot-repot bli, nanti saya cari sendiri saja. Terimakasih banyak telah menolong saya.”
“Sama-sama Gek. Di sebelah sana ada minimarket yang jual obat-obatan juga, gek bisa obati lecetnya disana.”
“Oh baiklah. Jika tidak keberatan, bolehkah saya minta antar bli ke minimarket tersebut? Karena kaki saya masih belum bisa kembali normal.”
“Tentu-tentu, mari saya temani.”
Saat aku akan melangkahkan kaki, dari belakangku seseorang menahan kami.
“Bli, tunggu. Bli, maaf sudah merepotkan sebelumnya. Saya, calon suami mbak ini. jadi biar saya saja yang mengantar ke minimarket sana. Saya sangat berterimakasih atas kebaikan bli menolong calon istri saya.”
“Oh Gek ini calon istri Gus, lain waktu janganlah dibiarkan berjalan sendiri. Kalau terjadi seperti ini kan gus yang repot.”
“Iya, terimakasih banyak yah Bli. Saya juga memang sedang mencari nya, tadi kami ada sedikit perselisihan, oleh sebab itu ia memilih jalan duluan. Untung saja ada Bli yang tolongin. Sekali lagi saya ucapkan terimakasih, dan mohon maaf sudah merepotkan.”
“Tidak, tidak masalah gus. Saya doakan pernikahan kalian nanti awet dan penuh cinta hingga akhir hayat. Saran saya, saat menikah nanti jagalah komunikasi kalian dan jangan ego sendiri. Karena, dua kepala yang dijadikan satu tidaklah mudah dilalui gus.”
“Baik bli, akan saya ingat baik-baik pesan anda.”
Kedua orang tersebut tampak asik berbicara, mereka lupa jika aku sedang perlu diberkan pertolongan pertama. Tetapi sejujurnya aku penasaran dengan pria yang membelakangi aku ini, jujur aku familiar dengan aroma wewangian yang pria ini gunakan. Namun sepertinya bukan hanya dia yang menggunakan aroma ini dalam kesehariannya. Masih banyak ribuan orang yang menggunakan parfume dengan aroma yang mirip ataupun sama. Karena sangat tidak mungkin bukan jika perusahaan parfume hanya membuat satu aroma untuk satu orang saja. Bahkan david Beckham sekalipun parfume-nya diproduksi secara masal. Lagipula untuk apa juga aku memikirkan dia.
Entah angin apa yang sedang berlangsung saat ini, dan entah mimpi apa yang aku dapat semalam. Setelah selesai berbicara dengan bapak-bapak yang dipanggil Bli tersebut, pria ini membalikan tubuhnya dan segera menggenggam tanganku. Dan benar, aku mengenali pria ini. bahkan semalam, aku masih bersama dengan nya.
“Ayo ran, kita harus segera membersihkan lecet-mu. Saya tidak ingin ini menjadi semakin parah.”
Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi deganku. Semua terasa cepat, aku seperti mengikuti kemana angin membawaku. Bahkan sangking cepatnya, aku hingga tidak tersadar bahwa kini aku sedang didudukan di kursi yang disediakan minimarket ber logo ‘K’ ini dan pria yang membawaku kesini sedang di dalam membeli obat-obatan yang aku butuhkan.
Setelah selesai, ia kembali menghampiriku dan mengeluarkan semua yang ada di dalam kantung pelastiknya. Ia membeli dua botol minuman kemasan selain obat-obatan. Aku tidak mampu berkata apapun sejak awal melihatnya dihadapanku. Pria ini memanglah penuh kejutan, bahkan aku masih linglung dengan apa yang sedang terjadi ini. ia nampak cekatan dalam melakukan pertolongan pertama. Kedua tangan nya baru akan menyentuhkan kapas berisikan cairan antiseptik pada lecet di lututku. Namun, tiba-tiba aku teringat apa yang baru saja dia ucapkan pada bapak-bapak yang menolongku barusan.
“Tunggu, Aku ingin tahu apa maksud kakak mengatakan itu pada Bapak yang menolongku barusan?”
“Hanya reflek.”
“Tapi kenapa harus mengatakan aku calon istri kakak?”
“ Saya hanya berfikir cepat.”
“Tapi kak, bagimana jika bapak tadi percaya kalau aku dan kakak adalah calon pasangan yang akan menikah?”
“Yasudah, lakukan saja apa yang bapak itu fikirkan. Mudah bukan?”
“Mudah kak? Kakak fikir menikah itu main-main? Pernikahan itu sakral, dan aku tidak ingin main-main dengan pernikhan. Itu dosa.”
“Sudah? Lecet di kakimu masih perlu obat atau tidak? Jika masih, duduklah dengan tenang, minum minuman itu, dan biarkan saya bersihkan lecet kamu. Mengerti? ”
“Iya aku ngerti.”
Aku mulai membuka minuman yang ia belikan. Dan dia dengan perlahan mulai menyentuhkan kapas pada lecet di lutut-ku. Meskipun perlahan, tetap saja cairan antiseptik itu terasa begitu perih di lecet-ku. Reflek, aku menggeser sedikit kaki-ku saat ia membersihkan lecet.
“Ssshhhh”
“Tahanlah sedikit, ini tidak akan lama. Jika kamu masih merasa sakit, pegang saja pundak saya. Dan dengan begitu, kamu mempersingkat  penanganan lecet ini.”
Dengan ragu-ragu aku meletakan tangan di pundaknya. Saat kapas menyentuh lecet di lututku, refleks aku mencengkram kaus yang ia gunakan. Dengan perlahan dan telaten dia membersihkan, meniup lecetku, dan menutupnya dengan kasa yang ada. Semuanya tidak lepas dari pandanganku yang masih saja menahan sakit. Setelah selesai dengan lututku dia menarik kursi dan kami duduk berhadapan.
“ Berikan kedua tagan mu.”
“Untuk apa? Kakak gak usah modus deh.”
“Saya akan membersihkan lecet di telapak tanganmu. Kamu tidak perlu terlalu pede saya modusin kamu.”
“...”
Aku saja tidak menyadari jika kedua telapak tanganku terdapat lecet. Meskipun hanya kecil, tetapi tetaplah perlu medapatkan penanganan. Tanpa banyak protes, aku menuruti apa yang dia katakan. Ia kembali mengulang prosedur pembersihan lecet.
“Saya tidak sedikitpun ingin mempermainkan sebuah pernikahan. Dan sayapun tahu betul akan hukum agama mengenai pernikahan tersebut. Mengapa saya mengatakan itu hal mudah, karena saya serius dengan apa yang saya katakan barusan. Jika kamu menginginkannya juga, sesegera mungkin saya akan menemui ayahmu untuk membicarakannya.”
“Hah? Maksud kakak”
Ia tidak menjawab apa yang aku pertanyakan hingga ia selesai dengan kegiatannya membersihkan lecet di tanganku.
“Saya rasa apa yang saya katakan sudah jelas. Dan apa yang ada dikepala mu itu benarlah adanya.”
“Jadi ceritanya kakak ngelamar aku?”
“Jika kamu menganggap apa yang saya katakan barusan adalah sebuah lamaran, yasudah begitulah adanya.”
“Disini? Gak bisa cari tempat yang lebih romantis lagi memangya kak.”
“Kamu pengen saya lamar dengan cara yang romantis?”
“Ya.. sebagai seorang wanita aku pengen dong diperlakukan sebaik mungkin. Apa lagi ini momen dalam seumur hidup. Setidaknya ada effort lah buat melamarnya.”
Respon yang ia berikan sungguh diluar dugaanku, ia menarik kedua sudut bibirnya dan perlahan tertawa dengan manis dihadapanku. Sungguh, ini sanggat membingungkan bagiku. Entahlah, rasanya hari ini semua mengejutkanku.
“Kok ketawa? Memang ada yang lucu?”
“Sepulang dari Bali saya akan segera menemui ayahmu untuk membicarakan semuanya. Setelah itu, kita bicarakan kembali bagaimana kedepannya. Yasudah, ayo saya antar pulang. Kamu pasti keluar tanpa kakak mu kan?”
“Kok kakak_”
“Rean bilang kamu kabur dari vila kalian, dia minta saya cari kamu.”
“Apa? Kabur? Kabur macam apa yang sebelumnya menyiapkan sarapan dulu. Dasar kakak tidak tahu terimakasih.”
“Sudahlah, sekarang kamu sudah ketemu dengan saya. Tunggulah sebentar disini, saya harus mengambil mobil di dekat pantai sana. Kamu jangan kabur lagi, saya tidak ingin mengambil resiko kamu akan terjatuh lagi setelah ini. “
“Kalian sama saja. kakak fikir aku bisa kabur dengan kaki seperti ini? bahkan sandalku saja rusak saat ini.”
Ia kembali tersenyum padaku dan meninggalkan aku terduduk sendiri di depan mini market. Sambil menunggunya datang, aku menghabiskan minuman yang ia belikan tadi dan merapihkan obat-obatan yang sudah terpakai. Selang beberapa menit, telah tampak sebuah mobil SUV yang kemarin aku naiki bersama pemiliknya. Sang pemilik keluar dari balik kemudinya dan segera menghampiriku yang masih terduduk.
“Sebentar saya cari sandal untuk kamu dulu.”
Ia kembali menelurusi mini market mencarikan sandal untuku. Namun sangat disayangkan, ia kembali dengan tangan kosong.
“Sendalnya abis, dan belum ada stock lagi.”
“Terus aku gimana pulangnya?”
“Ya naik mobil sama saya.”
“Ya tapi kan, aku harus jalan ke mobilnya. Sendalku aja putus.”
Tanpa aba-aba ia manghampiri aku dan menggendongku didepan. Katanya, menunggu aku berfikir itu lama, bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Jadi lebih baik jika ia mengambil langkah cepat untuk menggendongku ke mobil. Tapi, tetap saja aku malu. Bayangkan saja, bagaimana rasanya saat seluruh mata menatapmu. Begitulah yang aku rasakan saat ia menggendongku ke mobil.

Mr. AnthonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang