22. Merelakan

16.6K 1.5K 104
                                    

Qonita POV

Aku menunggu wawancaraku kemarin diputar di televisi, namun apa yang terjadi? Mereka memotong banyak percakapan denganku, yang mereka tampilkan hanya perkataanku yang tidak penting saja. Sudah ku duga! Mereka pasti ada di bawah Kusuma Jaya, sehingga setiap apa yang akan ditayangkan di televisi adalah apa-apa yang diijinkan oleh Kusuma Jaya. Sungguh licik!

Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Emosiku kembali menggebu, astagfirulloh hal adzim, ya Allah tenangkan hamba. Marah, sedih, benci, itu yang ku rasakan sekarang, aku seperti seekor tikus kecil yang ingin mengalahkan anjing liar yang ganas. Itu sangat tidak mungkin!!!

Tidak Qonita, kau salah! Itu mungkin, karena kau bersama Allah. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Tidak seharusnya aku berpikir pesimis. Aku harus memikirkan cara lain dengan segera, aku yakin pasti Allah memberikan jalan, karena Allah tidak akan membebani seseorang di luar batas kemampuannya, itu tandanya aku mampu. Aku harus optimis.

Aku mematikan televisi, kemudian beranjak menuju kamarku, tanpa sengaja aku melihat sosok ayah mertuaku sedang menatap foto yang terpasang di dinding ruang tamu, itu foto Galang ketika Wisuda dulu di akademik kepolisian. Aku memperhatikan dari belakangnya. Aku mendengar suara isak tangis ayah.  Pasti ayahpun sedih harus kehilangan anak laki-laki satu-satunya, bukan hanya aku saja yang sedih. Meskipun begitu, tapi ayah terlihat begitu tegar di hadapan orang-orang, namun ternyata dibalik itu, hatinya sangat rapuh.

Sampai sekarang pun aku belum berani melihat foto Galang, hatiku terasa sakit melihatnya dan justru itu membuat aku merindukannya, namun rindu yang tak bisa terobati, yang hanya menyisakan luka, luka yang teramat perih. Mataku sudah berkaca-kaca melihat ayah, sebelum ayah menyadari  keberadaanku, aku harus pergi sekarang.

Aku melanjutkan kembali langkahku ke kamarku  dan segera menutup pintunya. Aku tidak boleh membiarkan  rasa sedih terus menyelimutiku, aku harus keluar dari sini. Aku harus menyusun rencana untuk mengembalikan islam dan juga mengembalikan nama baik Galang.

Aku duduk di ranjang, air mata yang sempat aku tahan menetes, kini menetes begitu saja di pipiku. Aku merasa se isi rumah ini dipenuhi dengan bayangan Galang, kalau begini terus kapan aku berhenti bersedih dan merelakan kepergain Galang? Apa sebaiknya aku meninggalkan dulu Jakarta untuk sementara waktu, agar aku bisa cepat  berhenti bersedih dan merelakan kepergian Galang? Karena jika aku berada di sini terus, aku akan selalu teringat Galang. Yah benar, aku harus menenagkan dulu hatiku, setelah itu barulah  aku bisa menyusun rencana baru untuk mengembalikan nama baik Galang juga Islam.

Aku mengambil ponselku di saku bajuku untuk memberitahu ayahku, kalau aku akan pulang ke Bandung.

"Assalamu'alaikum abi, maaf mendadak, Qonita berencana akan pulang ke Bandung dalam waktu dekat."

Setelah aku mengirm pesan, beberapa menit kemudian, aku menerima balasan dari ayahku.

"Wa'alaikumussalam, pulang dengan siapa? Perlu abi jemput? "

"Tidak usah abi, Qonita sendiri saja."

"Bukannya kamu sedang hamil, tidak apa-apa abi jemput saja ya, khawatir terjadi sesuatu di jalan."

Sebenarnya aku tidak mau merepotkan ayahku, apalagi kemarin ayahku baru ke sini untuk melayat Galang dan sekarang harus ke sini lagi, aku merasa membebani. Tapi, ayahku memaksa.

"Ya sudah Abi terima kasih...."

Sekarang aku harus mengemasi pakaianku. Sebagian barang-barangku juga ada di rumah aku dan Galang yang dulu. Berarti aku harus menyempatkan waktu ke sana, nanti.

Aku mengambil koper dan membuka lemari pakaian. Pakainaku dan pakaian Galang tersimpan di lemari yang sama, sehingga ketika aku mengambil pakaianku aku melihat pakaian Galang dan kembali merasa sedih. Aku harus kuat, aku harus kuat!!!

The Truth (Hacker Vs Psychopath Director) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang