Banyaknya berkas-berkas berceceran disebuah ruangan yang berisi dua orang pemuda yang sibuk dengan laptop mereka masing-masing.
Tapi hanya satu pemuda yang benar-benar fokus mengerjakan tugasnya. Satunya lagi, pikirannya entah kemana. Ia tidak fokus mengerjakan tugas kuliah yang sebenarnya sebentar lagi akan dikumpulkan.
"Yo, lo kenapa? Mikirin Reyhan lagi?" tanya pemuda yang tadinya fokus, ia menutup laptopnya setelah menyelesaikan tugas.
Theo, pemuda itu menghela nafas berat. Ia ikut menutup laptopnya dan bersandar di kursinya sambil menutup kedua mata.
"Gue gagal, Van. Gue bukan kakak yang baik," ujarnya.
Pemuda bernama Arvan itu melirik Theo sejenak, ia ikut menghela nafas berat. Sebenarnya, Theo selalu bercerita padanya mengenai Reyhan, ia tau kalau Theo tengah bimbang dengan dirinya sendiri.
"Gue tau kalo ini bakalan terjadi sama lo, Yo." Ia menyingkirkan laptop di meja lalu menaikkan kakinya. "Sebenarnya, gue udah berapa kali peringatin ke lo, tapi lo berulang kali marah. Lo tau apa yang lo perbuat selama ini salah?"
Theo mengangguk, tanpa menjawab.
"Setidaknya lo udah nyadar. Gue tau pasti adik lo udah terlanjur kecewa kan sama lo?" tanya Arvan yang tepat sasaran.
Arvan melirik Theo lalu menepuk pundak temannya itu. "Lo harus siap nerima penolakan dari dia, jangan paksa dia buat terima lo. Gue yakin, dia hanya butuh waktu untuk nerima keadaan lagi. Ini terlalu menyakitkan buat adek lo."
"Iya, gue gak akan maksa dia buat maafin gue. Gue udah tau apa yang pernah gue lakuin ke dia itu udah kelewatan."
"Gue akuin, lo emang jahat banget ke dia dulu, tapi gue sadar, lo sebenarnya gak sejahat itu. Dalam hati lo, ada rasa sayang yang gak bisa diungkapin ke dia. Lo gak benar-benar membenci kehadiran dia, lo cuma belum bisa nerima keadaan."
Semua yang Arvan katakan benar. Theo mengakui, ia tidak benar-benar membenci hadirnya Reyhan. Ia hanya belum bisa menerima keadaan yang berubah drastis akibat suatu kejadian.
"Gue harus apa? Papa gak bakalan tinggal diam apalagi pas tau kalau Yansyah hampir mati di tangan dia."
Theo frustasi, ia mengacak rambutnya kasar. Sekacau itu pikirannya sekarang, dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi pada Reyhan.
"Lo harus jadi garda terdepan dia, Yo. Lo harus ada disisi dia, dia butuh lo. Untuk kali ini gue mohon banget sama lo, jangan ngelakuin kesalahan lagi. Jangan diam lagi saat lo rasa ada yang salah. Ini bukan lagi persoalan biasa, nyawa adek lo taruhannya." Arvan menatap Theo lekat, di matanya tersirat sebuah harapan.
---Gue gak bisa apa-apa, ini masalah keluarga kalian, gue gak berhak ikut campur. Tapi gue yakin, lo gak bakal biarin adek lo kenapa-kenapa." Ia menepuk pundak Theo sambil tersenyum tipis.
Theo melirik Arvan, ia bisa merasakan harapan yang temannya itu berikan padanya. Tapi ia takut, jujur saja, dalam hati Theo yang paling dalam, ia takut dengan Bobby.
Ayahnya itu sadis, ia bisa melukai siapapun yang menentangnya. Keluarga sekalipun, contohnya Reyhan.
"Gue bakal coba lindungi Reyhan sebisa gue, Van. Makasih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Leave Me Alone | Huang Renjun ✔️
Teen FictionDON'T COPY MY STORY. Tentang dia yang menginginkan keutuhan, di tengah jahatnya takdir. Tentang semesta yang tak pernah memihak nya. Dipaksa menyerah disaat masih ingin bertahan. Lucu memang hidupnya. Lika-liku kehidupan yang memuakkan dengan ras...