Bagian Empat Belas

16.9K 1.3K 86
                                    

Happy Reading!
Typo bertebaran
________________________

Dia Yang Tak Dikenal

________________________

Paginya, sekitar pukul empat pagi, aku mengemas barang ku yang hanya sedikit dalam koper besar bekas tetanggaku yang ku beli percuma. Sudah muat dengan bajuku, baju Ocha dan baju Tina. Aku sudah siap semua, tapi yang sekarang jadi ku bingungkan ialah uang. Darimana aku harus mendapat uang?

Ah, Bodoh, tentu saja uangnya dari hasil jualan gorengan selama ini yang kutabung di dalam kaleng wafer. Aku duduk menselonjorkan kedua kaki di masing-masing sisi koper, dan menatap lurus koper, sekelebat kejadian kemarin terlintas lagi di dalam otakku. Membuatku benar-benar bulat akan keputusan yang kuambil ini.

Untung saja, hutangku sudah lunas, dan itu berkat Erik. Lagi-lagi Erik menjadi penyelamat dalam kesusahan ku. Aku harus berterimakasih atas apa yang dia lakukan padaku.

Aku berdiri setelah menutup koper, dan bangkit mengambil kaleng wafer yang kusimpan di lemari baju paling bawah. Ku keluarkan isinya, dan meletakkan kaleng wafer di sisi kananku. Menghitung banyaknya rupiah yang ku kumpulkan selama ini, selama menjadi tukang sapu jalanan dan hasil menjual gorengan.

Syukurlah, uang yang kumpulkan setidaknya sudah cukup banyak. Bisa untuk kami bertiga naik kereta. Perjalanan menuju Salatiga, tempat lahir ku dulu. Tempat dimana aku masih merasa hangatnya keluarga, meski hidup keluargaku harus banyak berjuang melawan kerasnya hidup. Perjuangan hidup keluargaku dimulai saat Ayahku yang bangkrut, lalu Ibu yang sakit-sakitan dan pada akhirnya dia pergi meninggalkan ku dan Ayah. Kepergian Ibu saat membuat aku dan Ayah amat terpuruk, ayah harus extra bekerja, tapi aku tak tinggal diam, aku membantu mendistribusikan kue bolu ke warung-warung langganan. Lumayan upahnya ku tabung untuk biaya masuk kuliah, karena saat itu aku masih kelas satu SMA.

Tiga tahun berlalu, Ayahku berhutang pada orang, saat itu pula aku sudah di Jakarta, kuliah dengan bantuan beasiswa ku. Aku mendengar kabar bahwa Ayah terlilit hutang setelah sepuluh bulan ia berhutang dan belum dibayar. Bibiku yang mengabari seluruhnya, hutang Ayah dan keadaan Ayah. Terakhir aku mendapat kabar bahwa Ayahku sakit, itupun saat aku sedang hamil dan mengirim seluruh uang yang ku punya, berharap dengan uang itu Ayah sembuh.

Hhh ... Sudahlah. Aku tak tahu lagi harus bagaimana, yang sekarang kau pikirkan adalah segera mengundurkan diri dari menjadi tukang sapu jalanan dan ... Mengabari Erik tentang kepergian ku ke Salatiga.

"Mba, sudah bangun ..?" aku berjengit, menengok ke belakang mendapati Tina yang berdiri dengan mengucek-ucek sebelah matanya.

"Sudah, Ocha sudah bangun atau belum?" tanyaku menanyakan tentang Ocha pada Tina.

"Belom,?Mba. Nyenyak tidurnya si Adek."

Dia memberikan cengengesan padaku. Lalu berjalan ke arahku. Sebelum mendekat ia sempat menguap lebar.

"Loh, Mba, kok ada koper isi semua baju kita sih? Mau kemana emang?"

"Mau ketempat Kakeknya Ocha, Ayah Mba."

Seketika wajahnya jadi suram. Aku tau kenapa wajahnya jadi suram begitu.

"Ayah kamu juga." aku melemparkan senyum agar dia ikut tersenyum. Kutarik tubuh kecilnya, memangkunya diatas kakiku. "Jangan sedih ya, keluarga Mba, keluarga kamu juga."

Tina mengangguk. Tapi raut sedihnya berganti dengan raut polosnya. Mudah sekali anak ini berkamuflase, pikirku.

"Terus sekolah Tina gimana Mba? Kan Tina masih sekolah."

Dia Yang Tak Dikenal | SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang