Bagian Dua Puluh Dua

14.2K 1.1K 125
                                    

Pengen publish aja.. Sekarang udah random update ya.. Soal nya bulan desember cerita bakal saya tamatin. Maafkan saya yang membuat alur cerita yang cukup fast dan seakan-akan memaksa. Maafkan atas banyak typo, kegajean, dan keanehan yang terjadi selama pembuatan cerita. Saya harap pembaca-pembaca semua memaklumi apa yang saya lakukan. Semoga bisa bertemu di Dia yang Tak Dikenal 2 ya..
Sekian curhatan dari saya. Saya ucapkan banyak terimakasih pada pembaca-pembaca yang reka menghabiskan waktunya hanya untuk cerita ini. Sekali lagi Terimakasih banyak.

Happy Reading
Typo Bertebaran
______________________

Dia Yang Tak Dikenal
______________________

|Alle POV|

Aku terus saja memandang langit malam yang semakin gelap. Tanganku terus mengelus rambut hitam legam milik adik angkatku ini. Dengan berurai air mata aku hanya bisa menangisi takdir yang seakan kejam sekali terhadap dirinya, ataukah aku yang memang dengan bodohnya menyerahkan putri satu-satunya. Kesayanganku, matahariku, hidupku... Kepada lelaki yang bahkan pernah mengukir luka teramat dalam di hatinya.

Kenapa aku lemah seperti ini? Kenapa aku bodoh sekali? Kenapa aku dengan gampangnya menyerahkan bagian dari hidupku untuknya kenapa? Padahal dia yang merusak hidupku dia yang menghancurkan masa depanku, tapi kenapa? Kenapa malah semuanya jadi seperti ini? Aku sama sekali tak menginginkannya, aku sama sekali tidak pernah berpikir bahwa aku harus kehilangan, aku fikir Ocha akan selamanya bersamaku sampai aku mati nanti, tapi kenapa sebelum aku mati, aku sudah kehilangan anakku?

Tetap aku menatap lurus ke depan. Menatap pohon yang terkadang daunnya bergoyang ataupun jatuh karena angin. Bahkan aku tidak merasa bahwa adikku terbangun karena air mata yang jatuh di atas kening bocah cilik itu.

Aku yang melamun tak jua menyadari bahwa mata kecil itu terbuka. Tetapi, saat sebuah tangan menyapu derasnya air mata yang jatuh diriku baru menyadari bahwa adikku terusik akibat diriku.

"Mba kangen Ocha, ya?" aku terdiam. Setelahnya mengangguk mengiyakan pertanyaan Tina.

"Kita ke rumah Om aja, ya?" aku hanya tersenyum menanggapi ucapan adiknya itu. Aku tidak tahu tempat lelaki itu berteduh bersama keluarganya.

"Seandainya saja.. Mba tahu dimana rumahnya pasti akan Mba kunjungi setiap hari untuk melihat anak Mba, walau Mba mungkin hanya bisa melihat anak Mba dari jauh.. Tapi Mba enggak tahu apa-apa dek, Mba terlalu bodoh sampe lupa untuk menanyakan dimana rumahnya." 'dan Mba tahu kalau, Mba enggak mungkin bisa bertemu anak Mba lagi.' ucap ku lirih. Aku memang tahu bahwa aku ini bodoh, aku tahu sangat tahu.

Tina bangkit dari posisi tiduran nya. Duduk disamping ku, lalu memelukku dari samping. Dan kami merasakan kehangatan itu, tapi ada satu yang terasa hilang. Ocha. Kami selalu bersamanya. Bertiga seperti saat-saat sebelumnya, susah bersama kami selalu bertiga tapi apalah daya itu hanyalah kenangan saja. Dia tak lagi bersama kami. Mungkin anakku sudah bahagia disana dengan berbagai mainannya. Atau malah sebaliknya, anakku dihina, atau dibuat sedih oleh mereka, orang-orang asing dalam istana lelaki itu.

Tentu tidak. Aku tidak boleh berfikir negatif. Aku harus terus berfikir bahwa Ocha bahagia dengan keluarga barunya disana.

Aku jadi teringat saat pertama kali Ocha menjadi bagian baru dalam hidupku. Menjadi keluarga baru, penyemangat baru untukku, juga Tina yang sebagai Adikku.

"Wah... Mba dia cantik banget ya... Pengen aku cubit pipinya!" tangan gadis itu sudah melayang untuk mencubit pipi anakku.

Tapi aku menjauhkan tangan itu. Aku bukan bermaksud tidak mengijinkannya tetapi, anakku baru saja lahir dan kulit anak bayi itu sangat rentan.

"Eum... maafkan aku... Mba, a–aku gak ber–maksud nakalin di–dia.." anak itu menunduk seperti tak ingin melihat ku.

Seketika saja aku merasa bersalah karena ulahku yang membuat dia mengira kalau dirinya ingin menjahati anakku. Tapi sejujurnya aku hanya ingin melindungi bayi yang berada dalam dekapanku ini.

"Enggak.. kamu ehm bukan begitu maksudnya.." kedua bola mata yang berbinar itu bersibobrok dengan kedua bola mataku. Menatapku dengan mata berkaca-kaca, seperti siap mengeluarkan air matanya kapan saja. "Kulit anak bayi itu rapuh jadi kalau kamu cubit nanti pipinya memerah dan dia akan menangis tanpa henti." jelasku kaku. Aku berusaha menjelaskan ini agar mudah ia pahami.

Kulihat dia merapatkan bibirnya. Kemudian mengangguk pelan, dan aku menghela nafas lega karena berhasil menjelaskan hal ini padanya. Kemudian tatapannya hanya ia tujukan kepada anakku saja. Sampai di terlalu fokus menikmati wajah bayi mungil ini.

Aku pun ikut memandang wajah anakku. Wajah nya membuatku terkesima karena anugerah yang diberikan Tuhan padaku sangatlah indah. Bibirnya, matanya dan sentuhan tangan itu membuatku ingin menangis saja. Begitu lembut tarikan tangannya pada tanganku yang begitu besar bagi putri kecilku. Kuresapi rasa hangatnya yang menggenggam tanganku. Memejamkan mata sebentar berusaha menahan air mata yang terasa menumpuk di pelupuk. Mengulas senyum semangat mungkin pada Anakku. Rosa Dinara.

"Bunda rindu sekali padamu. Bunda ingin sekali mendengar suaramu menyanyikan lagu 'Ambilkan Bulan Bu'"

*****

|Author POV|

Hari berlanjut. Malam itu datang membuat gadis kecil itu terus meringkuk di atas ranjang super besar. Berharap suatu keajaiban datang padanya. Berharap sang bunda ada selalu di sisi nya. Tapi harapan itu tampak lah semu karena pada kenyataannya Bundanya itu tak 'kan pernah datang atau mendatanginya.

Jadi, setiap kali Ocha rindu bundanya, gadis kecil itu pasti berdiri di balkon rumah, mematung menatap langit yang hitam. Lalu mengingat lagu 'Ambilkan Bulan Bu' yang selalu didendangkan Bundanya untuk dirinya. Air matanya berlinang-linang. Rindu pada Bundanya itu selalu datang di saat malam. Ketika malam benar-benar sepi dan dingin ditubuhnya. Bahkan karena sudah terlalu lama tidak melihat Bundanya itu, bayang-bayang sang bunda seperti ingin menghilang saja di benaknya. Gadis kecil itu rindu dalam diam. Menunggu waktu itu datang. Waktu dimana ia dan Bundanya dapat kembali bersama menumpahkan segala rindu yang amat sangat menyiksa bila terus menerus dipendam tanpa ada niat untuk menyalurkan rindu tersebut.

Saat derit pintu kamarnya terbuka gadis itu menatap hamoatan langit hitam yang tersaji sepanjang matanya memandang. Hingga gadis kecil itu merasa sebuah tangan hangat menyentuh punggungnya. Ocha tak mengerti maksud apa yang dilakukan neneknya padanya. Anak Roy itu menoleh ke belakang. Menangkap tubuh besar milik sang Nenek. Dan yang terasa berikutnya adalah sapuan lembut tangan yang mulai keriput milik Desi. Usapan itu mengingatkan Ocha akan ibunya, usapan yang nyaris sempurna mirip nya seperti sang ibu ketika ia menangis, tetapi bedanya ibunya akan selalu menyelipkan kata-kata indah yang mampu membuatnya berpikir bahwa dunia itu Indah. Sekalipun banyak yang menghina dirinya.

Dan secara tiba-tiba wanita paruh baya itu menarik Ocha dalam drkpan penuh kasih sayang. Dan disinilah Ocha merasa bahwa selain Ibunya ada neneknya yang akan memberikan apa yang ibunya berikan.

"Oma sayang Ocha, jadi Ocha tidak boleh menangis, kamu tahu kenapa Oma bertanya seperti ini padamu?" Wanita paruh baya itu melepas pelukannya. Desi menatap lekat cucu pertamanya. Meskipun tahu bahwa cucunya tak mengerti, ia hanya ingin mengungkapkan apa yang ia ingin ungkapkan. "Karena jika Bunda Ocha tahu Ocha menangis, maka Bunda Ocha akan ikut menangis juga. Jadi sekarang, Ocha jangan menangis lagi ya.."

Ocha mengerti saat Neneknya mengucap kata "Bunda" dan "menangis". Gadis kecil itu tahu makna perkataan Neneknya. Lalu setelah selesai mengucapkan hal itu Ocha kembali menangis tersedu-sedu. Bahkan amat jelas di mata Desi punggung kecil itu bergetar..

Karena tak tega, Desi menarik tubuh kecil itu kembali ke pelukannya. Hanya ke pelukannya.

Bersambung...

Jum'at, 30 November 2018
18:17

Dia Yang Tak Dikenal | SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang