Chapter Two.

121K 4.3K 194
                                    

"Oh baiklah, Marc."

Barack memikirkan nama itu baik-baik. Seperti ada yang mengganjal dalam hatinya. Ah tapi itu mungkin hanya, perasaannya saja. Saat ini Barack tidak mau memikirkan hal yang tidak pasti benar adanya. Karena yang dia fikirkan saat ini adalah keselamatan puteri-Nya.

Ya puteri cantiknya. Setelah Sesiana meninggal dunia, Barack harus menjaga puteri kesayangannya itu seorang diri. Sesiana meninggal disebabkan seorang mafia yang tidak bertanggung jawab menembaknya tepat pada jantung wanita itu. Dan baru saja kemarin dirinya mendengar kabar dari orang suruhannya kali ini mafia tersebut mengincar anaknya. Ini tidak bisa dibiarkan. Mafia tersebut sangat licik dan pandai sekali menyembunyikan identitas nya. Sehingga sampai saat ini, Barack belum mengetahui siapa mafia yang membunuh istri tercintanya dan yang mengincar anaknya saat ini.

Sial!

"Silahkan duduk. Kita akan makan bersama disini. Anggaplah ini sebuah penyambutan dan ucapan terimakasih saya karena anda mau menjaga puteri saya selama saya tidak ada dirumah nanti." Tuturan ayahnya membuat Ellfa mengernyit keningnya heran. Jantung Ellfa seolah berhenti seketika. Ellfa takut jika ayahnya akan meninggalkannya seorang diri sama seperti dirinya kehilangan ibunya pada beberapa tahun silam.

"Apa maksud ayah berbicara seperti itu?"

Barack menghembuskan nafasnya. Sebenarnya dia tak tega akan berbicara hal ini pada puterinya. Namun walau bagaimanapun dia harus berbicara pada puterinya.

Barack mengelus tangan puterinya dengan lembut dan kasih sayang. Dia menatap mata puterinya dalam. Seolah dengan tatapan bisa menjelaskan apa yang ingin dia sampaikan. "Maafkan ayah nak. Besok ayah harus pergi ke-Canada, ada masalah serius disana yang mau tidak mau ayah harus turun tangan. Ayah minta kamu mengerti kondisi ayah ya nak... Ayah janji tidak akan meninggalkanmu setelah ini."

"Berapa lama? Aku harap ayah tidak menjawab dengan jawaban yang membuat hatiku seolah berhenti berdetak." Matanya mulai berkaca-kaca. Ellfa tak suka jika ayahnya meninggalkannya. Cukup. Cukup ibunya saja yang meninggalkannya. Ellfa tak mau jika dia harus kehilangan ayahnya juga.

"Ayah tidak bisa menjamin nak... Karena ini masalah serius. Tapi ayah usahakan paling cepat, sepuluh tahun yang akan datang."

Deg

Sepuluh tahun?!

Sepuluh tahun yang tidak pasti. Oh ayolah ayah, aku pasti akan sangat merindukanmu. Pikir Ellfa yang semakin mengeluarkan air matanya dengan begitu deras. Ellfa tidak mau ditinggalkan!

"TIDAK! AKU TIDAK MAU DITINGGAL AYAH! AKU IKUT DENGANMU!" Teriak Ellfa membabi buta dan terdengar sekali nada frustasi. Dibantingnya gelas yang sudah berisikan air putih itu kelantai. Gelas yang malang...

"Naak... Ayah-"

"Aku tidak mau ayah... Tolong mengertilah. Aku sudah kehilangan ibu. Saat ini aku hanya punya ayah. Aku tidak mau kehilangan ayah. Hiksss.. Hikss" Ucapnya dengan sesegukan. Sungguh ini kenyataan pahit yang Ellfa tidak mau semua ini terjadi.

Dengan perasaan sedih dan frustasi Ellfa langsung berlari kekamarnya. Make up yang membuatnya terlihat lebih cantik pun sudah hilang begitu saja entah kemana.

Bruk

Pintu ditutup dengan sangat kencang. Hingga pintu itu terdengar sangat nyaring sekali ditelinga membuat siapapun yang mendangar akan terkejut karenanya.

'Ughh... Kau terlihat sexy sayang, ketika sedang marah.'

"Maaf, Marc. Puteriku, sifatnya memang seperti itu. Setelah ibunya meninggal, dia terlihat manja sekali terhadapku. Karena yang ada dipikirannya akulah satu-satunya yang dia punya didunia ini. Jika seperti ini, aku semakin ragu meninggalkan anakku seorang diri." Barack mengelus keningnya dan memijatnya pelan. Dia terlihat pusing memikirkan semua ini. Sungguh ini tidak sesuai harapannya. Dia tidak mau meninggalkan puterinya tapi apa boleh buat, ada sesuatu yang harus Barack bereskan di-Canada.

"Saya mengerti tuan, lambat laun dia akan memahaminya saya berjanji akan menjaganya sebaik mungkin. Sehingga dia akan lupa dengan kesedihannya."

"Aku percayakan padamu, Marc. Aku harap kau bukan hanya sekedar pengawalnya tapi bisa menjadi teman untuknya." Ujarnya.

Marc tersenyum licik mendengar penuturan Barack. Seolah akan ada rencana baru yang akan dia laksanakan dikemudian hari.

'Bukan hanya teman. Tapi pasangan hidup, pak tua. Aku janji, setelah kau kembali kesini kau akan terkejut melihat apa yang sudah aku lakukan terhadap puteri kesayanganmu itu.'

***

Paginya Barack sudah berada dibandara ditemani Ellfa dan Ellmarc. Mereka sudah menginjakan kakinya dibandara ini, sejak pukul lima pagi. Karena Barack yang harus cepat-cepat ke-Canada. Ellfa sadar bahwa sikapnya tadi malam benar-benar kekanakan. Walau bagaimana pun Ellfa harus bersikap dewasa saat ini. Ayahnya harus menyelesaikan masalahnya. Ellfa tidak mau menjadi beban ayahnya.

"Ayah... Aku pasti akan merindukanmu. Berjanjilah padaku untuk pulang secepatnya." Ellfa memeluk ayahnya seolah ia mengisyaratkan untuk tidak pergi.

"Ayah usahakan sayang." Ujarnya sambil tersenyum menenangkan.

Lima belas menit sudah berlalu. Barack sudah lepas landas meninggalkan kota yang saat ini dia dan Ellfa dilahirkan. -NewYork.

"Sudah jangan menangis. Aku akan selalu berada disampingmu nona." Ucap Marc sambil merangkul bahu Ellfa bertujuan untuk menenangkannya. Karena sesungguhnya Marc pun tak tega melihat gadisnya manangis.

Sedangkan Ellfa melihat perlakuan Marc terkejut. Tapi dia hanya diam, karena sejujurnya dia butuh sandaran untuknya saat ini. "Aku harap kita bisa menjadi teman baik Marc."

To be continue...

Exitium Mendax [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang