Mereka makan siang di CFC dekat rumah Tanu. Amira yang akan mentraktirnya hari ini.
"Lu borong Thai Tea gua ya?" Tanya Tanu. Dia menahan diri untuk bertanya hal itu sejak ia meninggalkan rumah.
Amira terkekeh, "Buat cemilan di rumah."
"Nanti gua bayar, tenang..." Lanjutnya dengan senyum lebar.
"Bu-bukan gitu. Maksud gua-"
"Iyalah. Udah nggak usah dibahas." Potong Amira yang kemudian menatap Tanu lamat – lamat.
Sudah setahun mereka tidak bertemu. Pertemuan tempo hari, Amira tidak merekam jelas wajah Tanu dalam ingatannya. Mungkin karena kedatangannya yang begitu mendadak dan penampilannya tidak serapih sekarang—ini pun karena permintaannya. Wajahnya yang dulu terlihat mulus—lebih mulus daripada Amira—menjadi lebih kusam. Wajahnya tetap tampan dimata Amira apalagi senyumnya. Garis wajahnya menjadi lebih tegas daripada setahun yang lalu. Badannya tinggi tegap. Rambutnya pun ia potong tipis seperti tentara.
Perubahan itu membuat Amira berpikir, setahun ini dia ngapain saja, sampai bisa merubah dirinya lebih terlihat 'dewasa' dari umur seharusnya?
"Heran ya? Pasti lu lagi berfikir, kenapa gua sekarang dekilan. Walaupun gua udah pake sepatu sama baju baru, kayaknya nggak membantu. Tapi tetep jadi yang terkerenkan di mata lu?" Tanyanya sambil menaik – turunkan alis.
Amira tertawa sambil mengangguk – angguk geli.
"Iya, lu tetep yang terkeren di mata gua."
Setelah itu Amira bergidik, "Ihh! Jijik ya ampun! Apaan sih gua ngomong gitu!" Katanya sambil tertawa. Tanu ikut tertawa.
"Makasih ya!" Balas Tanu dengan senyum hangatnya, "Kayaknya gua harus peduliin penampilan gua lagi deh. Setahun ini gua cuek banget, pake aja seadanya." Lanjutnya.
"Nggak perlu ahh. Apa peduli orang masalah penampilan? Yang penting itu akhlak sama aqidah lu. Jadi diri lu sendiri."
Tanu tersenyum lagi.
"Jadi, pekerjaan lu apa, Nu?"
Tanu menaikkan bibir bawahnya, tampak berfikir.
"Enam bulan ini gua jadi pegawai Caref***, itu hari jumat sampai minggu. Terus kalau senin sampai kamisnya gua kerja di K*C di mall yang sama." Jawabnya santai.
Tapi, Amira berat mendengarnya.
"Tadi, gua liat helm di motor lu, kayak ojeg online. Lu juga ngojeg?"
"Oh itu. Kedepannya sih gitu. Tahun ajaran baru, gua lanjutin sekolah sambil ngojeg."
Wajah Amira sendu. Dia ingin menangis rasanya. Bukan bermaksud mengasihani Tanu, namun dia malu pada dirinya sendiri yang masih saja merepotkan ibunya. Seharusnya dia bisa seperti Tanu. Nyatanya dia tidak bisa dan tidak mempunyai niat untuk itu.
"Mir! Kenapa?" Tegur Tanu masih dengan senyumnya.
Amira berfikir, jika ia menyahuti 'Berat ya?' itu seperti mengasihani. Dia harus mencari kalimat lain yang membangun.
Segera Amira tersenyum, "Sering – sering telepon gua ya, mungkin nanti lu kelas 12 butuh les. Lu les di gua aja. Dengan senang hati gua bantu."
"Siap!"
Makanan mereka datang. Beberapa saat mereka sibuk dengan makanan masing – masing.
"Gua, udah tau semua tetang kematian Kyla. Dan masalah uang takziah, yang nyuri itu kepala sekolah, Nu. Itu juga udah gua selesain. Makasih udah kasih tau tentang itu." Amira menatap lekat cowok itu. Dia benar – benar berterima kasih padanya.
"Gua lega sekarang. Minggu kemarin, gua sama anak OSIS udah ziarah ke makam Kyla. Pasti lu sering ya?" Tanya Amira.
"Iya. Setiap dua minggu sekali. Beberapa kali ketemu dengan ibunya." Jawab Tanu lapang.
"Gua seneng lu bisa bahagia Mir. Maaf kalau gua telat kasih tau lu. Susah buat gua menampakkan muka gua lagi di depan lu."
"Lu tau, gua kira gua bakal gila karena ngebunuh orang. Tapi nyokap sama bokap nguatin gua. Walaupun gua dicambuk dulu." Katany sambil terkekeh.
Amira meringis melihatnya. Sakit rasanya membayangkan hidup Yuta setelah kejadian setahun silam.
"Gua ngerasa dosa banget. Kayaknya gua nggak bakal dapet surga di akhirat nanti. Tapi Bokap bilang ke gua, manusia Cuma dikasih satu kali kesempatan di dunia. Dan tugasnya adalah menghamba. Ketika kita melanggar aturan-Nya, sengaja atau tidak, Allah tahu niatnya, Allah tahu kejadiannya, Allah tahu segalanya.
"Jika kita menyesal lalu bertaubat, Allah akan membuka pintu maafnya selebar – lebarnya. Yang ini nih yang gua suka Mir. Sesungguhnya di dalam kesusahan ada kemudahan.
"Dia nitip nyokap dan adek – adek ke gua. Jangan tinggalin shalat- disuruh jadi hafidz dan sadaqoh. Doain mereka. Tegapin kepala setiap gua melangkah. Bokap mau ngeliat gua sukses setelah dia bebas nanti. Dan gua udah janji buat itu semua." Suaranya bergetar ketika menceritakan itu semua. Amira sendiri bersusah payah menghapus air matanya yang sudah deras.
"Itu yang ayah gua omongin setelah persidangan. Gua tadinya Cuma geleng – geleng nggak sanggup. Tapi omongan dia benar semua dan gua pengen nurutin semua kemauannya, sebagai rasa terima kasih. Berat Mir, sebulan gua udah kayak mayat hidup. Ibu gua repot bukan main. Adek gua ngeluh.
"Hidup gua benar – benar hancur waktu itu. Gua nyesel sekaligus marah. Tapi gua nggak bisa berbuat apa – apa. Syukurnya, setelah enam bulan gua bisa ngejalanin hidup lagi dan nyokap udah lapang dada buat terima hidupnya sekarang."
Setetes air mata jatuh. Disusul dengan tetes berikutnya yang berubah deras. Amira yang ingin menyuap ayamnya, tidak jadi.
Amira manarik lengan kemeja Tanu, dengan ekspresilembut,"Jangan nangis,"
-------
Hohoho.....
halo semuanya! sehari menuju hari senin.
selamat menempuh tahun ajaran baru.
suplemen semangat kawan, vote dan comment. oiya, yang punya tinlit, baca ceritaku 'Get It Girl' ya
KAMU SEDANG MEMBACA
Next Door [Complete]
Teen Fiction[Complete] Amira mempunyai dua pintu yang harus ia pilih. Pintu masa lalunya, atau pintu yang dihapannya. Ia akan membuka pintu dihadapannya yang sudah terbuka lebar, namun pintu masa depannya memaksa ingin terbuka kembali. Amira bimbang, yang man...