24. Please Listen To Me

15 2 0
                                    

Amira terharu Yuta mau menjadi pendengarnya, walaupun alasannya untuk kepentingannya sendiri. Sejujurnya Amira tidak biasa berbagi cerita dengan laki – laki. Apalagi dia sedang dalam keadaan kacau begini. Bagaimana wajahnya nanti? Berbagi cerita dengan laki – laki apalagi tentang hal yang sensitif dan pribadi, itu sedikit memalukan bagi Amira. Mungkin penyebab lainnya, karena dia tidak pernah bercerita dengan sesosok ayah pada usia remaja, yang dimana masanya rentan seorang remaja butuh teman curhat.

"Nih," Yuta sudah kembali, kemudian menyodorkan tissue dan berdiri di depannya. Melihatnya begini, Yuta terlihat tinggi sekali karena Amira duduk.

Amira mengambil tissue dan aqua yang diberikan.

"Aqua doang?" Tanya Amira dengan nada mengejek.

"Yah tuh kan songong. Masih mending gua kasih minum. Kan nanti gua beliin bubble matcha," Jawabnya sebal.

Amira tersenyum simpul lalu menegak minumannya.

Keduanya terdiam hingga Yuta berjongkok di depannya.  Dengan kaki kanannya menjadi tumpuan sedangkan tangan kanannya menopang dagu. Lalu tatapan lembut ia arahkan seraya bertanya,

"Jadi, Tanu yang nabrak Kyla?"

Ini terlalu cepat untuk Yuta menembakkan pertanyaan. Tak bisa kah dia menanyakan keadaannya sudah baikan atau belum? Amira pun kaget melihatnya tiba – tiba berjongkok di depannya. Ya Tuhan, kenapa cowok ini harus bergaya seperti itu?

Amira bergeming dengan alis terangkat. Setelah menghembuskan napas pasrah, patah – patah ia mengangguk.

"Dia datang ke lu buat ngaku karena lu juga korban, atau gimana?" Yuta langsung menembakkan pertanyaan kedua.

Amira mengangkat bahu. Itu yang dia tidak tahu.

"Lu kecewa karena tahu dia yang nabrak?"

"Nggak juga." Akhirnya Amira bersuara.

"Terus kenapa lu nangis?" Tanya Yuta heran.

"Bawaan batin."

Yuta mendengus mendengarnya. Ett ngelawak dia, Batin Yuta.

Dan ini poin yang membingungkan menurut Yuta.

"Mir, terus salah Samantha apa?"

Amira membuka mulutnya namun mengatupkannya kembali. Tadi dia hendak menjawab, tapi kalimatnya tertahan oleh rasa bingung yang datang bersamaan. Di dalam dirinya, dia sedang berperang dengan hati dan pikirannya. Dan jawabannya tidak ditemukan. Jadi dia hanya mengangkat bahunya.

"Nggak apa – apa Mir, ngomong aja. Gua dengerin. Semua orang pasti punya kesalahan, nggak terkecuali kalau dia sahabat lu,"

Amira mengerling ke arahnya. Yuta salah mengartikan sikapnya. Dan itu membuat Amira semakin bingung mendapat jawabannya. Lama Yuta menatap Amira menunggu penuh harap. Sampai akhirnya, Amira menjawab berdasarkan hatinya.

"Gua kesel karena dia tau kalau cowok itu Tanu, tapi kenapa dia nggak kasih tanda atau cerita ke gua? Kan selama ini gua takut sama sosok Tanu yang itu. Kalau gua tau gua bisa-" Amira diam.

"Apa? Bisa modus?" Sambung Yuta bercanda.

Amira menatap tajam Yuta.

"Gua jahit mulut lu. Tuh kan nggak senengnya gua cerita sama cowok, bercandanya gak tepat." Amira merajuk.

"Ya ampun salah lagi gua," Yuta menepuk dahinya, "Ini juga nggak enaknya denger cewek curhat, sok dramatis dan sok dihayatin,"

Lah? Tadi dia yang minta?

Next Door [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang