Dua hari setelah kejadian di kamar Yuta. Saat ini keluarga mereka sedang berlibur di Puncak. Kebetulan, keluarga Leo juga di sana pula. Cowok itu mengajak Samantha untuk bertemu malam ini di Nicole's Kitchen and Lounge. Demi mendapat izin orangtuanya, Samantha mengajak Yuta dan Amira.
"Percaya sama gua Mir, tempatnya bagus dan kekinian. Lu bisa hunting photo di sana. Di lantai 3 paling bagus." Katanya meyakinkan Amira yang ngambek acara bakar – bakarnya diintrupsi.
"Lu ketemuan dimana?" Tanya Amira ketus. "Malam minggu begini, rame pasti di sana. Kenapa dia nggak ke villa aja?"
"Nanti apa kata keluarga lu berdua, gua bawa cowok ke villa? Udah deh, lu sama Yuta ke lantai 3. Tunggu gua di sana."
Amira tetap saja cemberut. Sedangkan Yuta yang duduk di samping supir yang mereka sewa, diam saja.
Sesampainya di sana, Samantha langsung pergi ke gedung lain. Tersisa dirinya dan Yuta yang celinguk kanan kiri bingung.
Yuta sempat menatapnya sesaat seperti menanyakan apa yang akan mereka lakukan sekarang. Amira menatap balik dengan mata melebar sama bingungnya. Yuta menghela napas dan jalan lebih memasuki gedung di depannya. Mereka berbelok ke kiri lantas menaiki tangga—padahal di sana terdapat lift.
"Katanya ada kelinci, dimana?" Tanyanya ketika sampai di lantai 2.
Yuta mengedikkan bahu, "Nggak tau."
Mereka naik satu lantai lagi. Dan mereka dihadapkan dengan pemandangan yang menakjubkan.
"Bagus." Gumamnya takjub.
"Mir liat!" Yuta menunjuk dinding yang tergambar sayap putih lebar.
Amira berlari ke arah dinding itu. "Fotoin gua."
Kamera yang tergantung di leher ia serahkan kepada Yuta. Yuta mundur beberapa langkah mengambil posisi membidik.
Pertamanya dia bergaya candid, kemudian tersenyum ke arah kamera dan terakhir dia merentangkan tangan walau malu – malu.
"Ya ampun! Norak banget gua!" Katanya ketika melihat hasil foto.
Yuta tersenyum tipis, dalam hati membenarkan. "Mau difoto lagi nggak?"
"Iya. Tapi ke sana dulu." Dia menunjuk deretan sofa – sofa empuk di pelataran.
Amira duduk di salah satu sofa besar berwarna biru. Bentuknya lingkaran dengan leher sofanya hanya setengah. Dia meletakkan tripot di depan sofa itu lalu meletakkan kamera di atasnya. Dia atur kameranya untuk mode vidio. Dia mengatur lensa kamera agar satu sofa ini keliatan.
Setelah merasa pas, dia mencari keberadaan Yuta yang sedang memesan makanan. Lama sekali.
Dia duduk di sofa itu, melambaikan tangan ke arah lensa kamera. Bolak – balik dia memastikan kamera siap.
"Kurang kerjaan lu." Kata Yuta sambil membawa makanan.
Amira tidak memperdulikan perkataan Yuta, dia malah menyambar makanannya lalu berkata pada kamera, layaknya vlogger.
"Ini dia makanannya datang!"
Yuta memutar bola matanya melihat tingkahnya.
"Biar ngapa sih Mir?"
Dia menoleh sesaat dan kemudian melengos berbicara ke arah kamera.
"Yuta! Ngomong dong ke kamera. Perkenalan kek, atau curhat juga boleh."
"Norak banget sih," Cibir Yuta.
"Ih!" Dia menonjok bahu Yuta. Kencang loh pukulannya. Yuta mengusap bahunya tetap mendengarkan ocehan Amira.
"Ngomong kenapa sih? Daripada diem – dieman. Sambil makan kan enak."
Yuta tampak berfikir mempertimbangkan.
"Nggak akan lu sebar kan?"
"Nggaklah. Buat apa? Ini Cuma buat kenang – kenangan kok."
"Terserah gua ya mau ngomong apa? Awas lu protes."
"Iya deh iya." Jawabnya sambil mengangguk – angguk.
Amira bengkit. Menarik bangku kecil di dekat sana. Dia akan duduk di samping kamera seperti sedang wawancara untuk vidio dokumenter.
"Oke. 1. 2. 3. Siap!"
Yuta menyender ke leher sofa kakinya ia silangkan. Dipahanya ia taruh piring makanan.
"Lets introduce yourself." Perintah Amira.
"Konbanwa, watashi wa Nakamoto Yuta desu. Douzo yoroshiku onegaishimasu." Yuta membungkuk sedikit di akhir perkenalannya.
Amira tersenyum lebar mendengar Yuta dengan berani memperkenalkan dirinya dengan bahasa ayahnya. Ini pertama kalinya dia mendengar Yuta berbicara bahasa Jepang.
"Terus apa?" Yuta bertanya dengan alis terangkat.
Amira mengedikkan bahu, "Terserah."
"Gua, pindah di komplek itu udah sekitar sembilan bulan. Atau sepuluh bulan? Gua nggak inget. Alasannya nyokap dipindahin ke cabang Jakarta Timur. Dia pegawai bank-menejer lebih tepatnya. Bokap nggak masalah soal kepindahan kami, malah dia jadi lebih deket ke kantor. Yang kasihan sih, Luna. Dia nggak punya temen. Pengasuh buat dia juga belum dapet sampe sekarang. Gua berterima kasih ke Mama lu, yang menjadi Mama Luna ketika nyokap nggak ada."
"Oh ya, komplek kita lumayan menyenangkan." Sambungnya dengan senyum yang terkesan dipaksakan.
"Apa cita – cita lu, kita kan udah selesai mau lulus. Lebih spesifiknya, jurusan apa?" Tanya Amira ketika Yuta menatapnya, tidak tau harus berkata apa lagi.
Yuta menaikkan sedikit ujung bibirnya, "Gua belum tau."
"Kok bisa?"
"Yah lu tau kan? Hobi gua apa? Main basket. Gua cinta banget sama olahraga itu. Sayangnya gua nggak boleh jadi atlit. Gua sempet tanya ke nyokap, gimana kalau gua jadi guru olahraga?"
Amira menahan tawa. Guru olahraga? Dengan muka bak model majalah itu, muridnya memangnya bakal konsen?
"Nyokap cuma natap gua, sampe gua tersadar sendiri, gua nggak bisa jadi guru. Nggak cocok aja. Nggak tau deh, ide itu dari mana."
"Sampe detik ini gua belum tau cita – cita gua apa, aneh kan?"
"Terus pas tulis PTN yang lu pengen, lu tulis apaan?"
"UI lah."
"Jurusan?"
Kali ini, dia terkekeh sambil mengacak rambut, "Nggak tau, si Sultan yang isi." Lalu dia tertawa.
"Lah? Lu kan pinter di semua pelajaran, bahasa asing lu juga oke. Nggak ada satupun yang menarik buat lu?" Tanya Amira heran.
Yuta menggeleng.
"Lu sendiri, habis ini mau masuk mana?" Yuta bertanya balik.
Alis Amira terangkat. "Kok lu nanya balik?"
"Kan perjanjiannya, gua boleh ngomong apa aja. Dan lu nggak boleh protes."
Garis wajah Amira turun drastis. Dia mulai gelisah.
To Be Continue...
Aloha!
long time... Ini adalah babak baru untuk tim YuRa. karena adegan ini panjang sekalee, aku putuskan untuk dipotong di bagian ini. so vote dan comment untuk menyemangatiku *maksabanget.
ya udah.
makasih ya,
KAMU SEDANG MEMBACA
Next Door [Complete]
Fiksi Remaja[Complete] Amira mempunyai dua pintu yang harus ia pilih. Pintu masa lalunya, atau pintu yang dihapannya. Ia akan membuka pintu dihadapannya yang sudah terbuka lebar, namun pintu masa depannya memaksa ingin terbuka kembali. Amira bimbang, yang man...