"Lu masih suka sama gua?" Tanya Tanu pada akhirnya.
Amira tersentak. Dia menahan napas, gugup sekali. Jadi ini, yang ingin dikatakan Tanu daritadi. Rasanya saat ini dadanya bergemuruh. Degup jantungnya bagai tabuh. Berdegup keras sekali. Kali ini dia yang menunduk. Ahh, pasti pipinya merah.
"Nggak Tan," Amira menggeleng.
"Itu dulu, sekarang udah biasa aja. Kalau kangen, pasti."
Tanu menatap Amira dari samping sambil tersenyum tipis.
"Bagus deh kalau gitu. Gua tau lu lagi suka sama orang kan? Yang orang Jepang itu kan?"
Amira balas menatap Tanu dengan tatapan terkejut. Dia kira Tanu akan kecewa karena dia sudah tak menyukainya lagi. Tapi, dia terlihat senang mendengar jawabannya dan mendukungnya dengan orang lain. Amira agak sakit hati mengetahuinya.
"Lu harus move on dari gua Mir. Gua juga harus move on juga dari lu,"
Amira sedikit senang mendengar kalimat itu. Berarti selama ini bukan hanya dia yang berjuang.
"Gua seneng cowok Jepang itu ngelabrak gua. Gua jadi sadar kalau yang gua lakuin itu salah dan nyadarin gua, kalau lu udah punya pengganti gua. Gua senang." Lanjutnya.
"Mir," Panggil Tanu sambil memberi jarak antar mereka.
Ada lagi yang mau disampaikannya?
"Gua pengen ngaku sesuatu. Yang jelas ini bikin lu, orangtua gua, teman kita, dan diri gua sendiri kecewa. Setelah lu dengar ini, lu mau benci sama gua atau gimana, terserah. Gua terima respon lu nanti. Yang gua minta lu bisa maafin gua. Tolong Mir, maafin gua." Matanya merah. Mungkin sebentar lagi dia akan terisak.
"Gua yang nabrak Kyla."
Amira membulatkan matanya. Seketika dadanya sesak. Badannya mati rasa. Ini tentang kejadian setahun yang lalu. Bagaimana mungkin dia baru mengaku? Mengapa dihadapannya? Kenapa dia pelakunya? Ini tidak masuk akal.
Kakinya lemas tak sanggup menopang tubuhnya lagi. Dia jongkok sembari menghirup oksigen sebanyak mungkin. Dia tidak sanggup berfikir, dia akan merespon apa. Terbesit dipikirannya, apakah Tanu sedang mengerjai dia? Tapi isakkan itu, bukan akting.
"Lu inget hari kecelakaan Kyla, sebelumnya gua sama lu kan di warung dekat jalan raya. Neduh. Dan tiba – tiba gua pamit pulang dan ninggalin lu. Gua ditelfon buat pulang cepat, gua mau pindah rumah liburan itu dan gua disuruh bantuin ngepacking barang – barang," Dia terisak namun tetap berdiri tegak. Kepalanya sudah tidak dapat ditegakkan saking malunya dia.
"Gua buru – buru. Waktu itu hujan deras dan gua ngebut. Gua nggak sama sekali melihat ada orang nyebrang. Kaca gua berembun. Bener – bener nggak jelas. Ketika tinggal semeter gua baru melihat ada bayung warna abu – abu di depan gua. Karena kaget gua salah nginjak pedal. Harusnya rem malah gas," Suaranya bergetar. Amira kembali berdiri agar bisa mendengar lebih jelas.
"Pas gua sadar gua nabrak orang. Gua berhenti, malah gua berencana turun. Tapi gua ngeliat lu. Diam dipinggir jalan. Gua malu dan takut kalau lu tahu gua yang nabrak. Dan gua tambah panik, ngeliat banyak orang mulai lari ke jalan. Jadi gua kabur."
Tanu menangis di depan Amira untuk pertama kalinya. Amira menahan diri, dia tidak ingin menangis. Sekarang dia benci dengan orang yang berada di depannya saat ini.
"Dan sekarang lu bisa datengin gua? Bukannya lu harusnya dipenjara?" Suara rendah Amira yang menahan amarah membuat Tanu mendongak.
"Ayah gua yang di penjara karena umur gua belum cukup. Gua gak jadi pindah. Perusahaan ayah bangkrut untuk bayar denda. Gua putus sekolah demi cari uang."
"Lu tau kan kalau SMA kita melarang siswa membawa mobil? Lu ketua OSIS! Tanggung jawab lu besar! Kenapa lu malah melanggar aturan!? Temen lu mati karena lu. Mikir gak sih lu!" Amira berteriak memancing orang – orang melihat ke arah mereka.
"Kenapa lu bawa mobil Tanu? Tanpa supir," Lirih Amira.
"Sudah empat bulan gua bawa mobil ke sekolah. Dan gua parkirnya jauh dari sekolah demi tidak ketahuan sama yang lain. Orang tua gua bolehin. Gua waktu itu lagi senang banget dapat mobil dari ayah, walaupun belum punya SIM. Gua tahu gua bodoh banget. Gua terlalu terbuai dengan pujian gua sendiri. Gua sombong sama diri sendiri. Itu yang buat gua benci sama diri sendiri."
"Kepala sekolah tahu lu bawa mobil?"
Tanu menggeleng.
Amira mengusap wajahnya yang pias. Ini belum bisa ia percaya.
"Dua setelah kejadian itu, gua masih berani masuk. Karena niat gua mau ngaku dan salam perpisahan. Tapi gua nggak berani. Gua pengecut. Apalagi setiap ngeliat lu. Rasanya gua pengen putar waktu dan gak akan bawa mobil lagi. Tapi, kepala sekolah tau kalau gua pelakunya. Dan keluarga Kyla juga udah tau. Lu sebagai saksi pertama harus tahu dan lu jadi korban juga dalam masalah ini,"
"Gua minta maaf Mir,"
Amira diam. Di dalam dirinya dia sudah memutuskan takkan memaafkan Tanu dan akan membencinya. Tapi apa haknya? Dan sebenarnya Tanu tak ada salah padanya, tapi Tanu membuatnya jadi menjadi benci terhadap cowok itu.
"Tan gua nggak nyangka. Lu tau ini terlalu mendadak. Lu pergi, terus balik lagi. Apa yang lu ceritain tadi, belum bisa gua cerna. Bener – bener mendadak. Dan yang lebih gua bingung, kenapa—kenapa lu harus kasih tau gua? Ini nggak ada sangkut pautnya sama gua kan? Mungkin lain kali, kalau gua udah siap, kita bisa ketemu lagi. Tapi nggak dalam waktu dekat." Ucap Amira tanpa menatap wajah Tanu.
"Sorry, gua duluan—Samantha kayaknya udah tunggu. Bye!"
Amira berbalik melewati pintu masuk mall sambil merogoh ponselnya lalu segera menghubungi Samantha.
"Dimana lu?"
"Pizza Hut."
Amira langsung menutup panggilan dan berlari ke tempat Samantha berada. Di otaknya sudah terdapat ribuan kata yang siap meledak. Dan sasarannya adalah Samantha.
------
Part 2 update.
Jadi udah ketahuan siapa pelaku Kyla dan pria berjubah hitam.
Tapi penasaran gak sih kenapa Tanu Kasih tau ini ke Amira?
Vote dan comment jangan lupa^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Next Door [Complete]
Roman pour Adolescents[Complete] Amira mempunyai dua pintu yang harus ia pilih. Pintu masa lalunya, atau pintu yang dihapannya. Ia akan membuka pintu dihadapannya yang sudah terbuka lebar, namun pintu masa depannya memaksa ingin terbuka kembali. Amira bimbang, yang man...