Ujian Nasional telah usai. Hari ini orangtua Yuta, Samantha, dan Amira berkumpul di kediaman Samantha. Rencananya, malam ini akan ada syukuran bersama tetangga satu komplek mereka dan anak yatim.
"Silahkan, dimakan kuenya." Tawar Ibu Samantha yang baru bergabung di ruang tamu tempat mereka berkumpul.
Orangtua Amira dan Yuta tersenyum sungkan.
"Ini kedua kalinya kita kumpul lengkap kayak gini. Waktu itu, Ayah Yuta kerja ya?" Tanya Ibu Samantha.
"Iya, saya baru ambil cuti, Bu. Lagipula, sudah lama saya tidak berkumpul sama keluarga di rumah."
"Sama kayak Ayah Samantha. Walaupun setiap hari pulang, nggak pernah hari libur dia keluar untuk silahturahmi sama tetangga. Kalau nggak tidur ya kelilingin rumah."
Semua tertawa.
"Yah Syukur itu mah, saya di rumah buat kue atau ngurusin cucian." Sahut Ibu Amira. Membuat yang lain terkekeh.
"Tapi itu lebih menyenangkan. Bisa melihat anak setiap hari."
"Iya. Benar."
"Yang saya lihat di kantor hanya uang, buku rekening, angka – angka, laporan. Pusing saya." Sahut Ibu Yuta sambil memegangi kepalanya.
"Ngomong – ngomong, anak – anak dimana?" Tanya Ibu Samantha heran.
"Di kamar Yuta."
Di rumah lain, tiga remaja sedang duduk bersama dia atas ranjang berwarna abu – abu. Si pemilik rumah menyenderkan punggungnya pada leher kasur sembari bermain game di ponselnya. Sedangkan dua gadis seumuran dengannya sedang beradu mulut.
"Tadi malem bosen banget gua di rumah. Samantha nggak bales Line gua lagi. Ditelepon sibuk terus nomornya. Nonton drama deh gua sampe tengah malem." Keluh Amira memandang Samantha kesal.
"Yah maaf. Semalem gua curhat sama Leo, dia baru dapet hapenya lagi. Kangen udah lama nggak telponan." Jawab Samantha sambil senyum – senyum tidak jelas.
"Kenapa nggak telepon gua?" Yuta ikut nimbrung melontarkan pertanyaan untuk Amira. Dia alihkan sementara pandangannya pada dua gadis di depannya.
"Buat apa?" Amira membuang wajah cuek.
"Yah siapa tau lu butuh gua, selain sama Samantha."
Amira mendengus, "Alah! Butuh? Masih aja slogan murahan lu. Manusia butuh sesama. Nggak usah ngalus dah lu sama gua."
"Lu bakal jadi orang terakhir yang bakal gua hubungin. Dan itu pun setelah gua pikir berulang kali." Lanjutnya sambil membuang muka.
"Jangan marah ya, kalau lu telepon gua, bakal gua tolak." Balas Yuta tak terima. Lalu dia melanjutnya dengan nada bercanda, "Karena gua nggak suka jadi orang terakhir."
Samantha berteriak kencang. Jijik mendengar perkataan Yuta barusan.
Cowok jaman now. Korban quote picisan. Batin Samantha.
"Kalau sama eneng mah, abang jadi nomor satu!" Goda Samantha dengan suara menjijikan.
"Lu rekam nggak Mir?" Sahut Yuta yang membuat kedua gadis itu mengernyitkan dahi bingung.
Kemudian, dia melanjutkan sembari mengacungkan ponselnya "Ahh! Coba gua pegang hape tadi. Gua kirim dah ke Leo. Kira – kira gimana ya?"
Amira mengerti. "Bener! Gua juga lupa ngerekam!" Dia menepuk dahinya, "Tapi bisa kok gua sampein ke Leo. Dia percaya sama omongan gua." Lanjutnya dengan senyum miring.
Samantha mendelik ke arah mereka. Sialan, tadikan niatnya bercanda. Kenapa malah jadi serangan balik untuk dirinya?
"Sialan lu! Kan cuma bercanda! Apaan sih! Ogah banget gua pilih Yuta." Samantha mencebikkan bibirnya.
"Mending gua. Lu minta dinikahin sekarang, ayo aja gua mah. Daripada sama Leo, digantungin mulu!"
Samantha menimpuk Yuta dengan guling.
"Pasti sakit banget, setelah lulus nanti Leo malah jadian sama cewek lain. Siapa cewek yang sering diceritain Leo ke lu?" Timpal Amira memanas – manasi keadaan.
"Ibunya bego!"
Amira dan Yuta tergelak.
"Oh ibunya? Hahaha!"
Samantha merengut. Dia menendang Amira dan Yuta bergantian.
"Urusin aja lu berdua yang saling suka tapi nggak ngaku – ngaku juga!" Kata Samantha dengan ekspresi menantang.
Amira dan Yuta terdiam. Mereka terdiam dan tidak kunjung menyangkal. Hingga Yuta turun dari ranjang dan berjalan keluar kamar.
Kamar itu hening sesaat.
"Gua nggak salah ya. Lu berdua yang mulai." Samantha membela diri.
Amira menghela napas berat. "Prediksi lu kali ini salah Sam," Kata Amira sebelum menggelung diri dengan selimut.
"Maksudnya?"
"Tentang ucapan lu barusan." Jawab Amira dengan suara teredam.
Samantha mengerutkan kening tetap tak mengerti.
------
KAMU SEDANG MEMBACA
Next Door [Complete]
Fiksi Remaja[Complete] Amira mempunyai dua pintu yang harus ia pilih. Pintu masa lalunya, atau pintu yang dihapannya. Ia akan membuka pintu dihadapannya yang sudah terbuka lebar, namun pintu masa depannya memaksa ingin terbuka kembali. Amira bimbang, yang man...