"Hujan,"
Pintu kayu yang tersemat di kamar Hujan berderit pelan, menampilkan sosok Dirta di sana. Pria itu menggepit sebuah nampan di tangannya. Di atas sana ada sebuah piring, gelas serta sebuah botol permen yang kecil berwarna bening -- sesuatu yang dibenci oleh Hujan.
"Hei," dia menghampiri ranjang Hujan, menggelitiki perut adiknya yang masih lena terebah di atas ranjang. "Bangun, Jan."
Hujan tak kunjung berkutik sedikitpun. Bahkan suara dengkuran halus itu semakin menyapa pendengaran Dirta, membuatnya gemas sekaligus geram. "Hujan?!"
Sontak, Hujan tergemap. Bahkan dia membelalakkan kedua matanya -- terlihat besar sekali. Anak itu meremat sprei putihnya dengan erat. Dia mengawasi sekelilingnya dan mendapati presensi kakaknya yang sedang merunduk, juga menelisik dirinya.
Dia bangkit duduk. Menyiapkan ekspresi bengis pada Dirta, siap mendongkol. Seenaknya saja membuatnya terlonjak hebat dipagi hari.
"Kak, kau membuat jantungku hampir berhenti berdetak! Kalau aku terkena serangan jantung bagaimana?!"
"Dan itu hanyalah sebuah pengandaianmu yang konyol." Dirta bangkit dari posisinya --yang tadinya merunduk menjadi berdiri tegap sempurna, menampakkan dada bidangnya yang sangat lebar. Pria itu mengambil nampan yang tadinya ia taruh di atas nakas, kembali menghampiri adiknya yang tengah duduk di atas ranjang. "Ini."
Sang adik beranjak dari kasur, meraih sebuah nampan yang di sodorkan oleh kakaknya. "Kenapa Kak Dirta yang membawa makananku? Di mana Kak Niswa?"
"Niswa tidak kemari hari ini. Dia sedang cuti."
"Ah," dia melintas melewati tubuh Dirta, meraih meja makannya yang kecil di sudut kamar, kemudian menaruh nampan itu di atasnya. "Aku pasti akan merindukannya."
"Apa? Hei, dia milikku!"
"Aku tahu." Anak itu tidak terlihat peduli. Dia menggapai sendoknya, menyuapkan sesuap nasi ke mulut lalu menenggak air minum. "Andai saja kalau Kak Awan yang membawa makananku." Binar matanya meredup, tersenyum getir di sana. "Tetapi nyatanya, dia tidak pernah menemuiku sekalipun selama 3 tahun. Aku kecewa."
Sudah pasti Hujan merasa begitu. Adik mana yang tidak terluka di saat dia menyadari kalau dia ditinggal sendirian bersama sahabat kakaknya sendiri? Lebih - lebih sang kakak tidak pernah berkunjung ke mari untuk sekedar menanyakan bagaimana kabar dirinya. Apakah dia baik - baik saja? Apakah dia makan dengan lahap? Tidur dengan pulas? Jangankan berkunjung. Menelpon saja tidak pernah. Hujan bahkan sering menguji dirinya sendiri untuk tidak merindukan Awan, tidak meminjam ponsel Dirta untuk menelpon kakaknya --walaupun yang dia dapati ketika memanggil Awan hanyalah suara operator, ataupun menanyakan di mana keberadaan saudaranya pada sahabat kakaknya itu. Semuanya gagal, batinnya terlalu sering berontak untuk tidak berkata kalau dia merindukan sosok Awan untuk memeluknya di sini.
"Jika Awan tidak mau menjemputmu," Dirta mengepalkan kedua tangannya kuat sampai buku - buku jarinya terpampang nyata, "Biarkan aku yang menjemputmu, Jan."
« Musim Semi»
Hujan memamah permennya. Kali ini dia tidak terlihat baik. eum, bukan. Dia memang tidak terlihat baik. Matanya bengkak karena dia menangis hebat tadi pagi --setelah Dirta berkata kalau pria muda itu yang akan menjemput dirinya, bukan Awan. Hujan tidak tau apakah ini keputusan konyol yang Dirta beberkan padanya hanya untuk mengembalikan emosinya yang menyedihkan agar tak lagi membahas sosok Awan atau memang keputusan bulat yang benar - benar akan Dirta lakukan.
Dia menangis, berteriak dan keukeuh berkata kalau Awan pasti akan menjemputnya dimusim semi. Tetapi Dirta membalas perkataan Hujan dengan menjawab kalau itu hanyalah bualan semata. Dirta berkata kalau Awan tidak akan pernah menjemputnya. Kapan pun itu. Apakah di musim semi, gugur, panas, dingin sekalipun, Awan tidak akan menjemputnya. Tidak akan.
"Hujan," sosok Dirta menghampiri remaja laki - laki yang sedang melamun itu, "Ayo kita pulang."
Iris mereka bertubrukan. Memandang wajah Dirta lekat, Hujan beralih menatap lengan pria itu yang sedang menggotong sebuah tas besar, "Pulang?"
"Ke rumahku."
"Tidak. Aku akan tetap menunggu Kak Awan."
"Berhentilah berharap pada kakakmu yang brengsek itu!"
Emosi Dirta kembali tersulut. Dia melanjutkan, "Dia meninggalkanmu di rumah sakit ini karena dia tidak bisa merawat tubuhmu yang penyakitan itu, Jan!"
Dirta membanting tasnya, "Aku ini dokter! Aku doktermu! Dia meninggalkanmu padaku karena dia ingin aku menyembuhkanmu! Kakakmu itu sudah pergi dari kota ini. Dia membuangmu, Hujan! Kau mengerti apa yang aku katakan?!"
Hujan tak merespon perkataan dokter itu, Kak Dirta. Yang terlihat hanyalah bahunya yang terguncang hebat, isakan pilu terlontar dari bibirnya yang bergetar. "Kak Dirta..."
"... k-kau, kejam."
Remaja itu merapatkan kardigan berwarna hitam yang melapisi baju biru bermotifnya, mendengarkan dengung mesin penghangat ruangan yang seakan-akan menjadi alunan melodi indah yang menyapa indra pendengarannya. Dia kembali merintikkan air matanya diam - diam, menatap kearah jendela. Di luar sana, butiran salju memenuhi seluruh kota dipertengahan desember ini. Hujan kembali berpikir, apakah yang dikatakan oleh Dirta itu adalah sebuah fakta yang tidak dia ketahui?
Hujan menghidu cairan ingus yang hendak turun. Dia tiba - tiba menutup wajah menggunakan kedua telapak tangannya, menangis keras meratapi nasib hidupnya yang sangat mengenaskan. Mungkin Dirta benar. Awan memang benar - benar sudah tidak menyayanginya lagi.
"Hujan," Dirta kalap ketika dia mendapati presensi Hujan yang tengah sesak sembari memukul-pukul dadanya keras, masih setia meluruhkan air dari matanya. Dia mendekat, "Tenangkan dirimu, Hujan!"
"Kak Dirta...,"
"... pergi."
Dirta hanya bergeming, tak mengindahkan perkataan adiknya. Pria itu hanya bisa membatu di tengah kamar Hujan dengan bibir yang bergetar.
"sshh."
Hujan semakin mengeraskan isak tangisnya, menatap sebentar ke arah Dirta lalu akhirnya berdesah pilu menahan sakit yang sedang menohok dada. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Musim Semi : Awan dan Hujan
FanfictionHujan percaya kalau Awan tidak akan mungkin mengingkari janji yang telah mereka buat bersama. Dia pasti akan menunggu kakaknya kembali, menjemputnya di suatu hari saat musim semi tiba. Ya, kakak pasti akan menjemputnya. Pasti. 2018 © dyowaseul