17. Pelukan Erat

971 180 13
                                    

Dulu.

Saat Awan terbahak mendengar perkataan Ibu, saat Awan melihat butiran bening itu jatuh dari kelopak mata Ibu, dan saat Ibu terisak kuat, seharusnya Awan tidak menganggap semua itu sebagai lelucon atas kelulusan sekolah seniornya. Bahkan tepat Ibu menceritakan segalanya, tubuh Awan hampir rubuh. Dia tak kuasa mengetahui semua fakta yang ada. Dia benci takdir. Sungguh, takdir itu memuakkan, menjengkelkan, serta membuat perut Awan mual. Dia merasa kalau dirinya membenci Tuhan. Apa Tuhan itu benar - benar baik? Kalaupun iya, kenapa semua ini harus terjadi pada keluarga mereka?

Hey gila! Tidak, tidak. Kau tidak bisa membenci Tuhan. Hidupmu akan berakhir tragis jikalau Tuhan juga benci padamu. Bukan hanya di dunia, tetapi di akhiratpun sama.

Stadium dua. Kanker ginjal. Itu yang dokter katakan pada Ayah dan Ibu sebelumnya.

Dokter bilang, sel kankernya harus dimusnahkan. Caranya banyak. Tinggal pilih saja. Kemoterapi, radio terapi, atau operasi. Tetapi, enteng sekali dia bicara begitu. Memangnya adik Awan itu apa? Manekin?

"Operasi. Adikmu akan segera dioperasi."

Ibu berkata begitu pada Awan. Lantas Awan hanya bisa menelan bulat - bulat keputusan Ibu dan Ayah. Dia tak bisa melakukan apa-apa. Menangis dalam diam, merenung di keheningan malam yang dingin di koridor rumah sakit. Mengaitkan kedua tangan dengan kegelisahan yang menjalar di sekujur tubuh.

Faktanya, segala kebahagiaan miliknya atas kelulusan kemarin entah lenyap ke mana. Padahal saat itu, Awan merasa dia sudah benar - benar terbebas dari segala huru-hara di koridor kelas saat waktu istirahat tiba, tidak akan ada lagi guru killer yang mengajar, serta tiada lagi tugas yang membuat otak berbelit. Tapi apa? Rasanya dia lebih baik berhadapan dengan semua hal itu daripada disuguhkan kenyataan menyakitkan seperti sekarang.

Rasanya... menyesakkan.

Dan kini, sepertinya Awan akan kembali mengulang semua kejadian yang telah berlalu. Berhadapan dengan Dirta, berusaha memantapkan hati ketika mendengar penuturan Dirta terhadap keadaan adiknya.

"Kau pernah bilang padaku kalau dulu adikmu pernah menderita kanker ginjal stadium dua. Lalu, dia dioperasi agar semuanya membaik."

Awan mengangguk. Parau balas membenarkan kalimat sahabatnya. "Ya. Saat itu aku bahkan tidak tahu harus bersyukur bagaimana lagi ketika tahu bahwa adikku sembuh. Sel kankernya diangkat seluruhnya. Dia benar-benar pulih sebulan kemudian."

"Lalu, tiga setengah tahun yang lalu kau kemari, menemuiku, memohon padaku untuk mengobati adikmu. Ingat?" Dirta gelisah. Badannya bergerak tak nyaman di atas sofa, menatap lurus ke arah ranjang yang ditiduri oleh Hujan. "Kau bilang, sel kankernya kembali."

Dirta masih ingat. Terekam jelas di dalam memori jangka panjangnya ketika dia dipertemukan dengan sosok Hujan untuk yang pertama kalinya. Remaja menggemaskan dengan senyum kotak, bermata sipit tajam seperti elang, bibir yang terkait bergerak lucu, poni yang terjuntai menutupi kening itu melambaikan tangan padanya. Dia tampak bahagia sekali. Seakan tidak punya beban sedikitpun atas dirinya.

Ingatan itu malah membuat Dirta sesak. Dia menghela napas berat, memandangi muka Awan yang terlihat mengenaskan. "Kau memintaku untuk menjaganya. Sementara itu kau pergi entah ke mana."

Brengsek.

Suara dengkuran halus milik Hujan menyapa telinga. Hati Awan mendadak teriris pilu kala adiknya meracau ditengah tidurnya, bergerak resah. "Aku tidak bisa melihat dia merintih sakit. Aku tidak sanggup, Dirta. Itulah alasan kenapa aku meninggalkannya bersamamu. Bah-kan, a-aku pergi dari kota ini agar aku bisa melupakan dia untuk sejenak."

"Kalau begitu, sekarang, kenapa kau malah kembali? Dia tidak membutuhkanmu lagi, asal kau tahu." Dokter itu tersenyum miring, terlihat angkuh sekali. "Kau malah membuat dia semakin menderita, Awan."

Oke. Cukup berbasa-basi. Air muka Dirta lantas berubah menjadi serius. Dia akan memulai percakapan yang sesungguhnya sekarang. "Seharusnya, akhir desember lalu dia menjalani operasi pengangkatan ginjal kirinya."

Mata Awan mendadak membulat, terkesiap mendengar tutur Dirta. "Ginjal kirinya sudah benar-benar tidak bisa di selamatkan lagi. Sel kankernya tersebar menyeluruh di sana. Tapi," hati Dirta perih, "dia tidak ingin melakukannya. Dia ingin menunggumu kembali, Awan. Hujan bilang, dia ingin melihatmu, memelukmu, melimpahkan kerinduan sebelum memulai operasinya. Anak itu berkata padaku kalau--"

Dirta terisak.

"Kalau dia takut tak bisa bangun lagi ketika operasinya selesai. Maka itu, dia memintaku untuk menundanya sampai kau kembali."

Tidak, tidak. Tolong jangan menangis di sini.

"Sebegitu besarnya kerinduan anak itu padamu, kau tahu? Awan," Kakak kandung Hujan meluruhkan air matanya, merasakan gejolak getir yang sama dengan Dirta, bahkan lebih parah. "ketahuilah bahwa adikmu benar-benar sekarat saat ini."

"Berapa? S-stadium berapa?"

"Empat."

Dan Awan tak lagi bisa menahan isakan yang tertahan di tenggorokan lebih lama lagi. Dia terpekik kuat di tegah dengkuran halus Hujan yang menyapa telinga.

{ Musim Semi }

Samar, secercah cahaya memasuki netra Hujan. Anak itu mengernyit sebentar, meneliti sekitarnya. Di sini redup, hanya ada cahaya lampu kecil yang ada di atas meja di samping ranjangnya.

Dia lantas mengaduh sakit sebentar, kembali memegangi perutnya. Terduduk dengan pening yang setia merasuki kepala. Tunggu, pukul berapakah ini? Kenapa sepi sekali?

Hujan mencoba bangkit dari ranjang, berjalan lunglai menuju kamar mandi di sudut ruangan. Perutnya mulas sekali. Namun, langkahnya terhenti ketika dia menampak ada seseorang yang berbaring di atas sofa dengan mata yang tertutup rapat, wajah yang menyiratkan kepenatan, meringkuk menahan udara dingin yang hendak menyusup. Itu... siapa?

Maju, melangkah mendekat. Matanya fokus memperhatikan wajah orang itu, meneliti dengan cahaya yang seadanya. Sontak terperanjat ketika mengetahui bahwa sosok itu adalah Awan, kakak kandungnya.

Dia berjongkok. Wajah itu, adalah rupa yang sangat dia rindukan. Mata yang akan melengkung seperti sabit ketika menarik senyum, bibir yang akan mengoceh sepanjang hari jikalau dia lupa memakan sarapannya, serta dekapan hangat yang selalu menaut tubuhnya kala dia bersedih. Hujan merindukan segalanya.

Sedikit gemetar, tangannya meraih sedikit poni Awan yang menutupi mata. Bergumam lirih sampai tak terdengar, "Kak, aku sangat merindukanmu."

Tersedu pelan, menepuk dada yang kembali sesak. "Kupikir kau sudah tak ingat aku lagi." Jujur saja. Hujan ingin sekali memeluk tubuh kakaknya sekarang. Namun, ego masih berkuasa atas dirinya. "Terima kasih karena sudah kembali."

"Shhh," bibir Awan mengaduh pelan. Meringis sambil mengusap tangannya yang terasa kedinginan. Lantas Hujan berdiri, melangkah ke arah ranjangnya dan mengambil selimut di sana. Menebarkannya ke atas tubuh Awan. Menutup tubuh kakaknya dengan selimut biru langit, dia menggenggam tangan kakaknya. "Maaf karena sudah memukulmu. Aku hanya kecewa, Kak."

Genggaman mereka mengerat. Hujan merasa aneh kala tiba-tiba saja seperti tangannya diremas. Tunggu, apa itu?

"Maafkan Kakak karena sudah membuatmu kecewa." Suara serak Awan menyapa telinga. Matanya mekar perlahan, dia mengernyit menahan kantuk yang masih tersisa. Lantas Hujan sontak berdiri, berbalik,  melepaskan paksa kaitan tangan mereka. Dia mencoba kembali ke ranjangnya namun Awan menahan tangannya, "Hujan, kakak juga sangat merindukanmu."

Bangkit, dengan sempoyongan Awan meraih tubuh adiknya yang membatu di hadapan. Memeluk begitu erat. Tangis mereka berdua tumpah, saling bersahutan menyalurkan semua kerinduan yang terkekang.

Hujan terisak kuat. Menaut tubuh kakaknya lebih erat, tak rela jika Awan melepaskan pelukan begitu saja. "Kak Awan, jangan pernah pergi lagi. Aku takut, Kak. Dia jahat." []

Musim Semi : Awan dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang