"Maafkan aku, Kak."
"Maaf?" Alis Awan menyatu.
"Kakak menjadi sakit begini karena aku."
Hujan menunduk. Meremas jemarinya dengan perasaan gelisah. Di hadapannya, figur Awan yang tengah duduk di atas ranjang rumah sakit itu sukses membuat Hujan diliputi oleh sensasi penyesalan yang mendalam. Dia takut akan terjadi sesuatu yang buruk pada kakaknya. Gamang sekali. Cukup dirinya saja yang merasakan bagaimana menderitanya ketika pening dan perih itu menyapa. Awan tidak boleh mengalaminya. Secuilpun.
Lantas Awan hanya bisa terkekeh pelan. Menjawab kalau itu sama sekali bukan karena Hujan. Wajah adiknya terlihat begitu lucu jika menunjukan ekspresi rasa bersalah seperti itu. Matanya sayu serta dia terus menunduk. Awan mengernyih. Mengapa keadaannya menjadi terbalik 180 derajat seperti ini dibandingkan dengan semalam? Bahkan Awan tak percaya bahwa kini dia yang malah terkapar begitu elitnya di atas ranjang itu dengan infus yang terekat di punggung tangan, baju biru muda bermotif yang serupa dengan Hujan, serta wajah putihnya yang terlihat semakin pucat pasi --memudarkan kadar ketampanan. Hah, menyedihkan.
Eum, bicara tentang Awan, penyebab pria itu pingsan bukanlah hal yang serius. Anemianya kambuh. Bukan apa-apa, jadi tidak terlalu buruk Awan pikir. Dia memang mengidap penyakit itu sedari dulu. Walaupun tidak pernah menjadi separah yang sekarang ini. Yaah, Awan sungguh tidak bisa menyangkal kenyataan bahwa tadi malam kepalanya terasa begitu sakit. Lalu pandangannya berputar-putar, hingga akhirnya pria itu tumbang di lorong ruang rawat Hujan. Bahkan dia tidak bisa merasakan apa-apa lagi saat itu. Jiwa dan raganya terasa begitu ringan. Melupakan dinginnya ubin nan beradu dengan udara malam, menyapa tubuhnya yang telah limbung.
Buruk sekali. Dia malahan baru sadar ketika matahari sudah tepat berada di atas kepala, saat sang surya sedang terik-teriknya membakar kulit kalau saja sekarang sedang musim panas.
Kemudian Awan menjawil pipi tirus sang adik yang tak kalah pucat dengan miliknya. Membuat Hujan terpekik kesakitan, lantas pria itu berkata, "Tidak perlu khawatirkan kakak. Kakak baik-baik saja, kok. Kenapa malah di sini? Kembalilah ke kamarmu. Kakak akan meminta Dirta untuk melepas infusnya lalu kakak akan segera pergi menyusul ke kamarmu." Senyum Awan merekah begitu lebar, lalu menunjukkan tangan bengkaknya akibat infus. "Kau harus kembali. Lihatlah dirimu, kenapa buruk sekali?"
Hujan kebingungan. Matanya berkedip lucu, kepalanya ikut dia miringkan. Sama sekali tidak mengerti akan kalimat terakhir yang kakaknya itu luncurkan. Lalu dia meraba dirinya sendiri, "Aku? Memangnya aku kenapa? Apa wajahku begitu buruk?" Lantas berakhir memengangi mukanya sendiri, "Tidak, ah. Aku kan tampan."
Tawa Awan meledak. Menunjuk ke arah adiknya, "Mukamu. Itu pucat sekali. Ayo, cepat kembali ke kamarmu sebelum kakak benar-benar mengusirmu dari sini."
"Tidak mau."
"Kenapa?"
"Aku ingin bersama kakak lebih lama untuk hari ini." Matanya menatap lurus pada sang kakak, lalu menyunggingkan senyum miring. "Lagipula tidak lihat muka sendiri. Pucat begitu."
Awan terbahak lagi, bahkan kali ini terdengar lebih keras dari sebelumnya. "Ey,"
Tetapi setelah itu, pria tersebut memegangi kepalanya. Masih tersisa pening sedikit lagi. Lantas mendongkol dalam hati. Merusak suasana saja.
"Kak Awan?! Kakak oke?"
Panik menyerbu Hujan ketika Awan tengah meringis sembari meraba kepalanya sendiri. Lantas dia meraih wajah kesakitan kakaknya yang sedang terdiam sembari memejamkan mata, "Ayo makan buburnya. Biar aku suapkan." Remaja itu membantu kakaknya agar duduk lebih nyaman dengan merapihkan tumpukan bantal yang Awan jadikan tumpuan punggungnya, "Kakak sedang sakit tetapi tidak menyentuh obatnya sama sekali sedari tadi. Mau aku adukan pada Kak Dirta? Yaah, setelah itu kakak disuntik olehnya. Pasti keren. Dan pastinya akan membuat badan kakak perih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Musim Semi : Awan dan Hujan
FanfictionHujan percaya kalau Awan tidak akan mungkin mengingkari janji yang telah mereka buat bersama. Dia pasti akan menunggu kakaknya kembali, menjemputnya di suatu hari saat musim semi tiba. Ya, kakak pasti akan menjemputnya. Pasti. 2018 © dyowaseul