20. Kebahagiaan yang Tak Akan Lenyap

717 132 28
                                    

Bak bocah yang tergirang sepanjang hari karena diperbolehkan pergi bermain bersama teman-teman, Awan dan Hujan seakan lupa diri. Mereka berlari-larian --saling mengejar dengan bongkahan bunga sakura yang erat tergenggam di tangan. Berteriak, terbahak, saling melempar bunga pink kecil itu. Mencoba tak peduli seberapa banyak insan yang menatap tak percaya pada mereka berdua. Sepertinya umur mereka terpangkas beberapa tahun ke bawah. Dasar bocah!

Padahal, mereka berdua bukanlah lagi seorang anak kecil ingusan yang akan menangis jika tidak diperbolehkan memakan cokelat oleh Ibu. Hey, mereka sudah dewasa!

"Kakak curang!" Hujan mendengkus masam. Kakinya tetap bertolak pada tanah, saling bergesekan karena lontaran tubuh yang kuat. Dia berupaya mengejar langkah Awan yang sudah terlampau jauh di depan. "Pasokan peluruku sudah habis, tahu! Ah, tidak seru!"

Dengan ekspesi masam yang menjadi topeng wajahnya, Hujan berhenti berlari. Kakinya terhentak berulang layaknya wanita yang sedang merajuk, mengepalkan tangan sampai buku-buku jarinya terlihat memutih di sana. Amunisinya telah habis dan dia tak sempat untuk kembali mengisi. Awan terlalu hebat untuk dikalahkan oleh seorang pengecut sepertinya. Kalah saing, sih!

Masih terbahak, Awan berbalik menatap Hujan. Dia menghentikan langkahnya barang sebentar. "Nasib baik punya Kakak masih banyak." Limpahan bunga sakura yang tersimpan apik di saku jaket Awan keluarkan. Genggaman tangannya yang berisi puluhan kelopak bunga itu dia kepal, lantas melemparkannya pada Hujan. Berterbangan mengenai perut adiknya. "Rasakan itu, haha! Yang kalah harus traktir es krim, oke?!"

"Kak Awan!"

Baik. Hujan tak bisa menahan lagi. Rasa geram sudah terlanjur mendominasi kuat di rongga dada,  lantas tubuhnya berlari lagi. Berjongkok di bawah pohon, mengumpulkan kelopak sakuranya sebanyak mungkin. Kalau bisa sih, Hujan ingin sekali mengumpulkannya memakai ember besar agar bisa menampung banyak. Mukanya memerah, terlihat kesal sekali menahan amarah yang ingin membuncah keluar. Dia tersenyum miring, matanya menyipit. "Aku harus membalas Kak Awan. Harus!"

Ekor mata memicing dongkol pada sosok sang kakak yang tampak kelelahan di depan. Pria itu sudah berhenti berlari, dia menumpu kedua tangan di lutut. Lalu mengibas-kibaskan pakaiannya karena merasa kepanasan. Oke. Waktu terbaik untuk menyerang. Jangan pernah sia-siakan kesempatan emas seperti ini, Hujan! Jangan pernah!

Perlahan, Hujan menapak kaki. Pelan tapi pasti. Tubuhnya mengikis jarak dengan Awan, semakin dekat. Siaga jika mendapat perlawanan. Namun hanya untuk beberapa langkah lagi, Awan tak kunjung juga menyadari kehadirannya tiga langkah di belakang. Pria itu masih sibuk mengatur pernapasan yang kacau. Maka dengan penuh kehati-hatian, Hujan mengapit leher kakaknya dengan satu tangan, menahan pergerakan Awan. Tangannya terkepal di udara, siap melayangkan amunisinya.

Dan, whus! Head shot!

Bunga itu betebaran di kepala Awan bersamaan dengan pekikannya yang mengudara. Ew, itu melengking sekali. Membuat telinga Hujan menjadi berdenging sakit.

"Kakak kalah!" Hujan berseru keras, masih dalam posisi pitingannya. Lantas dia memukul kepala kakaknya berkali-kali, mengejek sampai membuat Awan mengaduh. "Hah, rasakan! Dasar pendek!"

Dan Awan hanya bisa menjerit kesakitan karena Hujan tak kunjung melepas jepitan tangan di kepalanya. Terbatuk-batuk karena merasa tidak bisa bernapas, "L-lepaskan tanganmu!"

"Tidak mau."

Bukannya membuka kuncian tangannya pada leher Awan, pitingan anak itu semakin erat mencekik. Membuat umpatan Awan kembali terngiang ke kepala. "Tidak sebelum ditraktir es krim oleh Kak Awan. Begitu peraturannya. Kakak sendiri yang bilang, 'kan?"

Bedebah. Harusnya Awan yang ditraktir. Tapi, mengapa kini malah dia yang menjajani adiknya?

Itu kutukan untuk Awan. Dengan seenaknya saja menyepelekan orang. Jadi kena batunya, 'kan?

Napasnya tersedat. "Iya, iya." Dengan suara tercekat, Awan hanya bisa mengangguk berulang kali saat menanggapi kalimat adiknya. "Dua bungkus eskrim untukmu."

"Yash!"

Lega. Akhirnya berhasil. Tangan Hujan pelan membuka kunciannya di leher sang kakak. Lalu Awan tersenyum miring, memasukkan sebelah tangan ke dalam saku jaketnya. Mengambil sesuatu di sana. "Sebentar. Kakak ambil uang untuk membeli es krimnya terlebih dulu."

Dengan wajah polos bagai bayi kecil yang baru saja seminggu sang ibu keluarkan dari rahim, Hujan hanya bisa tertawa-tawa karena merasa sangat senang. Es krimnya akan segera datang. Dia pikir, pasti sangat nikmat jika memakan es krim dengan perisa stoberi di sore hari seperti ini. Maka dengan sepenuh hati menanti Awan mengeluarkan lembar nominalnya.

"Nah, uangnya...,"

Whuss!

Kelopak bunga melayang mengenai wajah Hujan. Lantas Awan dengan sekuat tenaga berlari lagi, menerjang jalan setapak yang ada di taman itu. Meninggalkan Hujan yang berdiri mematung sendirian dengan sensasi kedongkolan yang masih tersimpan di rongga dada. Tak peduli apapun lagi, Awan tetap berlari menjauh. Tidak, dia tidak bisa kalah. Pokoknya harus menang. Ya harus.

"Arghh! Curangg!!!"

Di bawah hujaman bunga pink itu, Awan dan Hujan berlari bersama. Mencoba meraih satu sama lain, tak peduli rintangan yang ada. Mereka tertawa, saling melupakan kesedihan yang masih tersisa.

Hari itu, mereka mencoba membuat kebahagiaan yang tak lenyap untuk selamanya, tiada pernah lekang oleh waktu meski maut memisahkan mereka. []

 
  
  
  
 
Aku ganti covernya tadi pagi. Menurut kamu, lebih baik yang ini atau yang kemarin? Atau mungkin, enggak dua-duanya? Xd

Musim Semi : Awan dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang