25. Afeksi yang Awan Berikan

780 114 38
                                    


Awan bahkan tidak tahu harus berbuat bagaimana lagi. Semestanya hancur, runtuh, lalu serpihannya terbang hilang begitu saja ditiup angin. Jiwa Awan bahkan sekarat selepas adiknya itu ambruk, semaput di pangkuannya malam ini. Ketika cahaya matahari berubah menjadi kelam, lalu langit malam berganti menjadi sinar kuning bulan yang tampak samar. Awan melihat segalanya. Di bawah sorot rembulan itu, Awan menyaksikan semuanya. Tentang bagaimana adiknya yang terbatuk hebat dengan darah yang tersembur keluar setelah tersimpan begitu apik di tenggorokan. Akan Hujan yang menangis begitu kencang menahan sakit yang menyibak keluar, serta mata sayu adiknya yang memohon pertolongan. Dia ada di sana. Awan ada di sana, menyaksikan rentetan adegan yang menohok pernapasan saat itu juga.

Entah mengapa, bersamaan dengan larva kesedihan yang terus-terusan tersembur keluar, kepala Awan serasa akan pecah saat itu Juga. Kepalanya sakit sekali. Seperti ada ratusan kupu-kupu yang mengitarinya. Kenapa Awan mendadak menjadi begini?

Awan merasa takut. Sungguh, pria itu luar biasa ketakutan. Dia tidak ingin berakhir menjadi seseorang yang akan hidup sendirian di tengah kejamnya kehidupan di dunia. Melakukan aktivitasnya sendirian, memakan makanannya sendirian, merayakan hari spesial sendirian, serta menangis sendirian bukanlah sama sekali hal yang dia inginkan. Tak pernah terbayang di otak Awan sebelumnya. Kendati selama 3 tahun terakhir dia melakukan aktivitasnya tanpa se-sekon pun kehadiran Hujan. Tetapi begitu, Awan tetaplah Awan. Dia butuh sosok peneman dalam hidupnya. Dalam artian, dia memerlukan orang lain. Dia butuh Hujan.

Tidak, Awan tidak bisa hidup berseorangan. Hujan harus tetap bersamanya. Harus. Tak peduli apa pun.

Akan tetapi, tanpa secuil pun hal yang akan Awan sadari, kening Hujan mengenyit saat dia menumpahkan tangisnya dengan mendaratkan kepala ke atas sisi ranjang. Ketika dia sibuk menyalurkan segala perasaannya dalam tangisan, mata Hujan terbuka perlahan. Menampakkan iris cokelat teduh yang binarnya hampir padam. Semuanya tampak buram dipengelihatan anak itu. Lalu dia mengerjap, berusaha memantapkan pandangan langit-langit ruangan yang tadinya begitu abstrak agar menjadi sedikit lebih jelas.

Hujan menghela napas begitu kuat sampai-sampai embun di masker oksigen miliknya terlihat semakin banyak. Lalu dia mengernyit lagi kala merasa dadanya benar-benar terasa sesak.

Rasanya... dia ingin menangis saja karena semuanya begitu membuat dirinya merasa lelah. Menyakitinya dengan membabi-buta. Tanpa memikirkan rasa sakit seperti apa pun yang akan dia rasakan.

Tangan Hujan sukar bergerak saat itu. Tertahan sesuatu. Lantas dia menoleh ke sisi samping dan benar saja, Hujan menemukan kakaknya terisak begitu kuat dengan tangan yang menggenggam jemari miliknya. Kepala pria itu tenggelam di atas ranjang, tangisnya tumpah hingga seprei yang ada di sekitar kakaknya itu banjir. Hujan kemudian panik sendiri. Dengan cepat melepas masker oksigennya lalu melemparkannya ke sembarang arah, lantas balas meremat kuat tangan Awan. Serta-merta berkata pelan dengan suara sumbang yang terbata-bata, terdengar begitu lemah. "Kak Awan, j-jangan menangis lagi. Aku, a-aku di sini, Kak. Bersamamu."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Musim Semi : Awan dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang