19. Permen Kapas

728 143 15
                                    

"Kak, lihat di sebelah sana!" Hujan terpekik girang, menunjuk sesuatu jauh di hadapan. "Ada permen kapas!"

"Hah?" Satu sahutan menyapa telinga, dan Awan hanya bisa menyahut tak mengerti. Ekor matanya bergerak mengikuti arah telunjuk adiknya, mengangkap sosok pria dan gadis yang tengah melahap permen kapas berwarna merah muda. Satu sama lain saling menyuap. Mereka tertawa di sana.  Sedang bercanda, mungkin?

Mata Awan mengerut, bulan sabit muncul di sana. Dia mengerti, kok. Itu kode dari Hujan. Dengan artian, adiknya ingin permen kapas juga. Maka dari itu, dengan cepat lelaki muda tersebut berdiri dari bangkunya, bergumam pada Hujan. "Tunggu di sini, oke? Kakak akan membelikannya untukmu."

Belum sempat lagi melangkah menjauh, tangannya ditarik oleh sang adik lebih dulu. "Aku ikut."

Hey, ada apa dengan mata adik Awan? Kenapa bisa membulat begitu? Tunggu, pipinya juga tiba-tiba saja menggembung.

Sesaat, Awan terpegun melihat ekspresi adiknya yang begitu lucu. Lantas dia menolak permintaan adiknya untuk ikut bersama dengan mengelus puncak kepala Hujan. "Tunggu di sini saja, ya? Lagipula kakak tidak tahu penjualnya ada di mana. Kakak harus mencarinya lebih dulu. Kalau kau ikut, nanti lelah."

Rengekan kecil terlontar dari bibir mungil Hujan. Dia semakin menarik tangan kakaknya ke sisi tubuh, menggenggam lebih erat. Berjuang mengeluarkan jurus keimutan yang paling tinggi. "Aku tidak akan lelah, Kak."

Mendesah frustasi. Adiknya memang keras kepala. "Mau kakak gendong lagi? Nanti malu."

"Takut. Nanti digoda oleh gadis di sebelah sana."

Telunjuk anak itu menuding pada segerombolan gadis yang tengah asik berfoto. Mereka sibuk mengeluarkan pose terbaik, dan Awan pikir itu sangat aneh --berlebihan. Mengoceh pada temannya yang memfotokan karena hasil fotonya kurang bagus, mungkin? Dari kejauhan saja Awan sudah tahu kalau gadis itu sangat penggoda. Riasan wajahnya... eum, luar biasa!

Hey, hey. Apa itu barusan?

Seketika, tawa Awan meledak. Terbahak-bahak sampai dia merasa sakit perut karena tak bisa lagi untuk menahan diri untuk tergelak. Masih dengan sisa kekehan yang terlontar, Awan menutup mulutnya dengan kepalan tangan. "Hey, aku tahu kalau kau sangat langsing dan juga tampan." Meraih pipi adiknya yang menggembung, menarik keras, mencubit lagi. "Tapi kau sangat percaya diri."

Ah, sialan. Hujan hanya bisa menunduk kepalanya dalam-dalam, menahan malu yang mendesak keluar. Bibirnya mengerut, cemberut tak terhingga sampai membuat Awan terbahak lagi. "Wah, tunggu, ya. Akan ku panggil gadis-gadis yang ada di sana. Kau imut sekali dengan ekspresi begitu. Kalau begini pemandangannya, kelangsingan, ketampanan, dan keimutanmu bersatu. Kau pasti akan banyak di sukai oleh mereka."

"Kak Awan!" Hujan membentak. Masih menahan malu, "Jangan bercanda. Aku betul-betul malu sekarang."

"Oke, oke." Kekehan Awan berangsur berkurang, namun masih sedikit menusuk telinga adiknya --semakin membuat Hujan kesal. "Kita jalannya pelan - pelan saja, ya?"

  
 
 
{ Musim Semi }


 
 
Dua tangkai permen kapas sudah berada di genggaman. Lantas Awan dan Hujan menyungkah dengan cepat, menyungging senyum ketika sensasi manis mengecap di lidah. Awal kencan yang legit.

"Tadi ramai sekali antriannya. Bahkan Kakak hampir tidak jadi untuk membelinya ketika tahu antriannya sepanjang itu." Ocehan mengambang di udara, masih dengan kembang gula yang menyatu dengan liur di mulut. "Tapi untung saja ada kau."

Tadi, sewaktu akan membeli permen kapasnya, Awan rasa-rasanya tak kuat untuk mengantre dengan barisan sepanjang itu. Dia bahkan ingin kembali saja ke bangku panjang yang ada di taman tadi daripada berderet di barisan terakhir. Namun, saat Awan menyuruh Hujan menyingkir dari barisan dan menunggu di tepi saja, anak itu malah dipanggil oleh sang penjual. Bibi itu sepertinya gemas pada Hujan. Iyalah, penampilannya saja seperti bocah berumur lima tahun.

Hujan menoleh polos. Menghentikan aktivitasnya melahap permen kapas di genggaman, mengenyit tak mengerti akan kalimat kakaknya. "Aku? Memangnya aku kenapa?"

"Bibi penjualnya terpana denganmu. Makanya tadi kita di suruh maju duluan sampai yang berbaris di depan kita marah - marah." Awan masih fokus menyantap permen kapasnya, lalu intonasinya seketika berubah. "Hujan,"

"Hm?"

Mata Awan menukik ke wajah adiknya, memasang ekspresi aneh. "Sepertinya bibi itu menyukaimu, deh."

Kali ini Hujan hanya bisa menelan candaan eksentrik yang keluar dari bibir kakaknya. Dia ikut terbahak, sejenak melupakan gumpalan pink di genggaman yang sangat menggoda. Hujan jadi ingin mengingat kembali. Sudah berapa lama, ya. Hujan bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dia bercanda bersama kakak, membeli sesuatu bersama kakak, dan makan bersama kakak. Awan terlalu sibuk dengan dunianya sedari dulu.

Hujan juga jadi ingin menggali kenangan indah yang telah berlalu.

"Setidaknya masih ada yang wanita yang menyukaiku. Tak apa." Hujan menggeserkan bokong, mendekatkan diri ke tubuh Awan. "Itu hebat. Disukai oleh seorang bibi penjual permen kapas. Jadi, aku bisa memakannya setiap hari tanpa mengeluarkan uang. Bukankah itu luar biasa?"

"Kupikir yang di sana lebih luar biasa."

Menoleh pada Hujan, perlahan berjalan, Awan meraih gundukan bunga sakura yang telah jatuh di sekitar pepohonan. Menghampiri adiknya dengan banyak kelopak sakura di telapak tangan, "Mau bermain lempar-lemparan bunga sakura dengan Kakak? Sepertinya akan menyenangkan." []

 
  
 
 
  
 
  Awan sama Hujan senang-senang dulu yaa :) jangan cembokor. Nanti aku kasih kejutan :)

Musim Semi : Awan dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang