Delapan tahun yang lalu.
Jadi, amarahku meluap hingga akhirnya aku menangis hanya karena sekotak pensil?
Hah, lelucon kampungan seperti apa ini?
Hell, kau tau, bahkan aku hanya sempat memakainya satu batang saja. Tetapi dengan seenaknya adikku meraut sisanya dalam satu hari.
Hey, apakah ini wajar? Meraut tujuh batang pensil hingga sedikit yang tersisa dalam semalam?
Gila. Pensilnya mahal. Aku beli satu kotak --berisikan 12 batang dan malam ini aku menemukan hanya tersisa 5 batang saja.
Aku membelinya memakai uangku sendiri, untuk diriku sendiri, bukan untuk dirinya. Lagipula, dia itu tidak perlu dibelikan sesuatu. Toh Ibu bakal membeli apapun untuknya. Tapi aku? Hah, sampai memohon sekalipun tak akan diberi. Sial.
Tentu saja aku akan marah. Bagaimana bisa dia membuang - buang pensilku dengan seenaknya? Keparat. Dia pikir menabung itu gampang? Pensil itu aku beli agar aku bisa selalu menggambar tanpa khawatir tidak punya pensil. Menggambar adalah duniaku, tetapi Hujan menghancurkan semuanya.
Aku bukan dia yang hanya tinggal menengadahkan telapak tangan saja.
"Mengalahlah pada Adikmu, Awan. Bukankah pensil itu tidak berguna untukmu?"
Hah, apa yang barusan Ibu bilang? Mengalah? Tidak berguna?
Buruk. Aku pikir menjadi anak sulung memanglah sebuah kutukan. Aku benci kompetisi antar anak di keluarga. Payah, tidak berguna. Yang kulakukan hanyalah diam, menyimak, dan akhirnya aku sakit sendiri ketika melihat Ibu dan Ayah membagi kasih sayang mereka secara tak merata.
Ibu sangat menyayangi Khaiza -- sepupuku yang dititip bersama keluarga kami dan Hujan --adikku. Lain dengan Ayah. Dia sayang Hujan saja, tidak pada Khaiza.
Jadi, siapakah yang menyayangiku?
Tidak ada.
Yaah, aku tau ini konyol. Umurku bahkan sudah lebih dari tujuh belas tapi tetap saja aku merasa cemburu pada adikku sendiri hanya karena masalah kasih sayang. Hah, kolot.
Awalnya, aku mencoba berpikir positif saja pada Ayah dan Ibu karena Hujan adalah anak bungsu. Hujan sangat spesial di mata Ayah dan Ibu.
"Dia itu lemah. Sering sakit. Ayah dan Ibu bukannya membedakan kamu, Awan. Ayah dan Ibu menyayangi kalian. Rata. Sama. Adil."
Itu yang Ayah bilang. Dan aku hanya mengiyakan dengan kepala asal mengangguk tanpa peduli apa yang Ayah katakan. Semuanya bohong, omong kosong. Aku benci Ayah dan Ibu. Mereka tidak memperdulikanku sama sekali. Di dalam pikiran mereka hanyalah Hujan, Hujan, dan lagi - lagi Hujan.
Memang iya sih. Hujan itu anak yang lemah. Ew, aku benci seorang pria yang lemah. Bahkan wanita sekelasnya lebih hebat daripada dia. Waktu itu, saat ada latihan lomba lari di sekolah, dia sesak napas lalu pingsan. Ayah dan Ibu yang sedang bekerja jadi kerepotan.
Juga, aku pernah melihatnya mimisan hebat di kamar. Yaah, kami sekamar walaupun beda ranjang sih. Tapi aku bergidik ngeri ketika melihat tetesan darahnya jatuh ke seprei. Kadang, aku juga bertanya-tanya. Sebenarnya dia kenapa sih?
Namun lama - kelamaan aku merasa muak. Bahkan ketika acara kelulusan sekolah seniorku, Ayah dan Ibu tidak datang. Mereka mangkir. Sekali lagi, alasannya karena Hujan. Padahal kemarin mereka sudah berjanji untuk datang. Aku geram. Kenapa Hujan selalu saja menghancurkan segala hal yang aku inginkan? Dia itu apa sih? Kenapa doyan sekali membuatku merasa kacau?
Dan seharusnya saat itu aku mengerti akan keadaan, ketika Ayah menelpon dan meminta maaf karena tidak bisa datang bersama Ibu ke acaranya. Ayah memintaku untuk segera pulang saja, jangan menunggu Ayah dan Ibu jika aku sudah kembali ke rumah nanti. Bahkan ketika malam sudah memuncak di hari itu, Ayah dan Ibu tak kunjung pulang. Di rumah sepi, tak ada seorangpun di sana. Hujan juga tidak ada.
Pada keesokan harinya, ketika sinar matahari menyembul di celah gorden dan cahayanya menyakiti pengelihatanku, saat itu juga aku tahu. Bahwa Ibu menangis di tepian ranjang yang aku tiduri, menggenggam tanganku, terpekik mengeluarkan tangis. Sebenarnya ada apa? Apakah Ibu baru saja sampai di rumah?
Ibu berkata, sesegukan menatapku yang terlihat tak mengerti sama sekali dengan kekacauan yang ada di wajah ibu. "Awan, adikmu di opname. Kanker. Kanker ginjal. Stadium dua."
Sialan, kenapa tiba - tiba kepalaku berdenyut saat Ibu menggumamkan kata itu? Aku tak tahu. Apa ibu bercanda?
Aku menggeleng, tertawa. Apa ini? Hadiah atas kelulusanku? Lawakan garing tentang sebuah penyakit? Kanker?
Apa Hujan sedang tidak punya uang? Kenapa dia mengidap kanker?
Shit, seharusnya itu bukan candaan dan harusnya aku mempercayai perkataan Ibu. Karena pada siang harinya ketika aku berangkat ke rumah sakit bersama Ibu, terlihat seorang bocah yang sangat kukenali sedang berbaring di atas ranjang, bersama genggaman tangan Ayah yang terkait pada tangannya juga. Ayah mengelus mahkota bocah itu dengan tatapan yang menyedihkan.
Adikku, dia sekarat. Benar, Hujan sekarat.
Dan kini, aku kembali menyaksikan adegan itu. Membuat napasku tercekat hingga dadaku terasa terbakar. Aku berada di situasi yang sama, tempat yang sama, kesedihan yang sama. Bedanya, kini dia bukanlah lagi bocah berumur sembilan tahun serta tiada lagi tangan Ayah yang menggenggam tangannya. []
Halo :')))
KAMU SEDANG MEMBACA
Musim Semi : Awan dan Hujan
FanfictionHujan percaya kalau Awan tidak akan mungkin mengingkari janji yang telah mereka buat bersama. Dia pasti akan menunggu kakaknya kembali, menjemputnya di suatu hari saat musim semi tiba. Ya, kakak pasti akan menjemputnya. Pasti. 2018 © dyowaseul