16. Getir

975 169 15
                                    

"Geez, lihatlah apa yang sekarang terjadi pada dirimu!" Desis Dirta. Matanya melotot garang pada Hujan, mengambil kapas dan alkohol yang ada di wadah stainlessnya. "Hidupmu akan benar - benar berakhir jika kau terus seperti ini, Hujan!"

Hujan hanya menatap lesu lengannya yang diobati oleh Dirta. Menghela napas perlahan, pandangannya kosong seketika. "Hidupku memang akan segera berakhir, Kak. Aku hanya tinggal menunggu sebentar lagi."

Keparat memang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keparat memang. Dirta terpengun ketika kalimat itu menyapa pendengarannya. Setengah mati mencoba menahan sekelebat pikiran tolol Hujan yang merasuki kepala. Eum, bukan apa - apa. Hujan hanya bergurau. Dirta, dia sedang melantur karena kakaknya ada di sini.

Kendati begitu, Dirta pikir kalimat Hujan tidak ada yang salah. Memang benar. Hidup remaja itu sedang berada di fase yang mengkhawatirkan. Dirta hanya bisa menahan desakan suara yang tertahan di tenggorokan, berdehem sebentar. Mencoba memperhatikan seseorang di hadapannya kali ini dengan seksama. Meneliti matanya yang sayu, seperti tidak memiliki jiwa. "Kenapa kau bersikap begitu pada Awan?"

Senyap.

Lagi, Dirta mencoba buka suara. "Apa kau benar-benar tak ingin kembali hidup bersamanya?"

"Ya. Aku tak akan kembali." Perut Hujan terasa tergelitik oleh sesuatu, dia mengernyit sesaat. "Bukankah di sini lebih baik? Aku memilikimu, Kak. Setidaknya, aku tidak terlalu merepotkanmu karena masih ada Kak Niswa dan Dokter Hardio yang mau membantuku."

Ya Tuhan.

"Tapi, kenapa harus aku? Aku 'kan bukan siapa-siapa, Hujan. Awan lebih berhak atasmu."

Gejolak getir di dada menyeruak. Hujan berusaha sekuat mungkin untuk bertahan, meremas perutnya yang mulai bertingkah lagi. Matanya mengerling pada rangkaian bunga tulip yang Awan bawa ada di atas meja dekat sofa, "Dia membuangku, Kak."

Awan membuangnya. Benar. Itulah pemikiran sang adik terhadap sang kakak yang telah meninggalkannya sendirian tanpa satukalipun komunikasi selama perpisahan mereka. Dan Dirta pikir itu adalah hal yang wajar jika Hujan bersikap benci seperti sekarang. Namun, jika Dirta memikirkan posisi Awan di lain waktu, pria itu merasa kalau Hujan juga salah. Lebih tepatnya, Awan dan Hujan sama - sama bersalah. Ego yang tertanam itu mengakar kuat dalam hati masing masing. Itulah penyebabnya.

Kini, dengan menempelkan plester di lengan Hujan sebagai sentuhan akhir akan luka tarikan paksa selang , Dirta hanya bisa menerima bulat - bulat kalimat Hujan. Tak sedikitpun berniat berkata lagi untuk menyelami lebih dalam hati anak itu, Dirta hanya pasrah. Dia tahu kalau bertanya lagi akan lebih mengoyak hati Hujan karena posisi anak itu juga berat. "Aku sudah menaruh pilmu di sana." Dokter itu menunjuk meja kecil di samping ranjang Hujan, membuat anak itu terkekeh getir setelahnya. Wow, puluhan pil ada di dalam tabung kecil lucu yang berdampingan dengan segelas air putih. Hebat.

Dirta merapihkan wadah stainlessnya, "Kupikir kau benar-benar membutuhkannya kali ini. Perutmu sakit, 'kan? Sedari tadi aku melihatmu tidak nyaman dengan bagian itu."

Tentu saja Hujan merasa tidak nyaman. Perutnya terasa melilit seperti kain basah yang sedang diperas, sakit sekali. Dia meraih botol obatnya, "Aku harus minum berapa butir?" meraih air putihnya juga. "Aku lupa kapan terakhir kali aku meminum pil ini."

Kekehan meluncur bebas dari bibir itu. Ringan sekali.

"Dan ah," Hujan meringis karena kekehannya terlalu keras, "aku baru saja ingat, Kak."

Tangan itu membuka tutup botol obatnya. Menaruh dua butir ke telapak tangan dengan tergesa, sedangkan Dirta menanti kalimat Hujan yang tak kunjung selesai. "Apa pria itu sudah memukul kepalamu?"

Dirta terkesiap. Apa? Pria itu? Siapa? Awan?

"Eungh," Hujan menelan pilnya dua sekaligus. Tegukan itu terlihat sangat menyiksa, sedikit membuat Dirta digerayangi oleh perasaan bersalah. "Ew, rasanya kenapa selalu saja begini?" Hujan merasa kalau kerongkongannya seketika terasa sejuk ketika air melintas begitu saja bersamaan dengan rasa pahit yang mengecap di lidah. "Kupikir Kakak sudah ditonjok olehnya."

Dirta terlihat tak mengerti ke mana arah pembicaraan Hujan. Bertanya, "Maksudmu? Kenapa juga kepalaku harus dipukul olehnya? Pasti Awan, 'kan?"

"Ah, dia berbohong lagi rupanya. Sudah kuduga." Hujan terkekeh lagi entah untuk kesekian berapa. Namun terkesan dipaksakan, "Dia bilang, kalau kau memberiku pil lagi, kepalamu akan dipukul olehnya. Tapi jangan khawatir, Kak." Tangan Hujan menyusup ke balik selimut, kembali meremas perutnya yang selalu saja mengganggu ketenangan anak itu. "Kerena dia adalah pendusta, tidak bisa dipercaya. Semua katanya hanyalah omong kosong belaka."

 
  
 
 
 
{ Musim Semi }

 

Oke. Dirta pikir ini adalah waktu yang tepat untuk menciptakan konversasi dengan Awan. Mereka harus meluruskan semuanya saat ini juga. Dan oh, tentang Hujan, dia sudah jatuh tertidur setelah menengguk pilnya dan anak itu tak kuasa menahan rasa kantuk yang menyerang.

"Kenapa kita harus bicara di sini?" Awan mengoceh tak terima ketika Dirta menyeretnya kembali masuk ke ruang rawat Hujan. Dia menatap sosok adiknya yang terkapar di atas ranjang, "Aku tidak ingin lagi melihat dia histeris saat melihatku. Dirta, ayo pergi. Kita bicara di luar."

"Tidak. Kita harus bicara di sini. Supaya kau tahu betapa tersiksanya adikmu itu."

Dengan gerakan lambat, Dirta berjalan dan mendaratkan bokongnya di sofa. Di mana posisi benda empuk itu langsung berhadapan dengan presensi ranjang yang ditiduri oleh Hujan. "Apa kau tidak ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada adikmu selama kau pergi?"

Sial, sial, sial. Awan jadi terdiam dan pria itu tidak punya pilihan lain. Dia harus mengetahui keadaan adiknya. Dengan terpaksa ikut menumpu tubuhnya di atas sofa sama seperti Dirta. "Baik, aku akan mendengarkan semuanya."

Memulai ceritanya dengan berdeham, dokter muda itu bergerak gusar. "Tapi aku harap setelah aku menceritakan semuanya, kau tidak akan pernah lagi meninggalkan dia. Kau harus tahu, kalau aku benar - benar sudah tak mampu lagi merawat adikmu. Awan, ketahuilah bahwa Hujan, adikmu, dia benar - benar sekarat saat ini. []

 
  
    
  
  Aku minta maaf kalo yang ini ngebosenin. Mianhaee :))

Musim Semi : Awan dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang