Baik. Seharusnya setelah ini kartu lisensi mengemudi milik Dirta harus di cabut. Lelaki itu kini sedang mengemudikan kendaraan roda empatnya dengan urakan tanpa memperdulikan keselamatan dirinya juga orang lain. Dia menerobos dengan seenaknya, mengundang ocehan pengemudi lain yang ikut meramaikan jalanan hari ini. Dirta tak ingin tahu dan juga tak ingin peduli lebih banyak sebab ada seseorang yang sekarat dan itu lebih penting dibandingkan orang lain.
Dirta menekan pedal gasnya lebih dalam dengan raut muka memerah --menahan tangis yang hendak membuncah keluar. Giginya saling beradu hingga suara gesekannya terdengar bersahutan. Pemuda itu seakan kehilangan kewarasannya setelah mendengar kalimat Hardio beberapa menit yang lalu.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kenapa Hujan mengalami kolaps? Bagaimana bisa?
Pertanyaan demi pernyataan terus berputar mengelilingi kepalanya. Tak lama lagi --mungkin sekitar 2 menit kemudian Dirta akan sampai di rumah sakit.
Dirta memarkirkan kendaraannya dengan sembrono di halaman rumah sakit. Dia membanting pintu mobilnya dengan kasar dan pria itu menerjang UGD. Matanya menyusur setiap wajah - wajah yang ada di sini dengan tatapan yang memburam sebab ada genangan air di sudut matanya.
Dirta beralih memandang sekelompok orang yang sibuk dengan dunia masing masing dan... tunggu. Dirta kenal wajah itu.
Benar, itu Hardio dan Niswa!
Dirta menatap wajah seseorang di atas ranjang itu. Tubuhnya terasa menciut seketika. Bahkan untuk melangkah mendekat saja, pria itu merasa bahwa tulangnya benar - benar sudah tercerai - berai, apalagi membantu Hardio bersama rekannya yang lain. Dirta tak sanggup.
Ranjang itu berderit bersamaan dengan gerakan tangan Hardio yang memompa dada Hujan. Tubuh remaja itu basah kuyup beserta dengan baju motifnya, juga wajah dan bibir yang membiru, serta tangan yang memucat. Anak itu terombang ambing karena gerakan Hardio yang mencoba menyelamatkan nyawanya.
Mesin elektrokardiograf terus menampak garis lurus di sana. Alat itu mengeluarkan bunyi melengking yang menyakiti hati dan telinga siapapun yang mendengarnya. Ini sangat buruk, mereka bisa kehilangan Hujan.
Dirta hampir ambruk di sisi kanan --berdekatan dengan posisi Niswa yang terus memegang ambu bag yang menutupi mulut dan Hidung Hujan. Wanita itu tersentak sebentar ketika menemukan tubuh Dirta yang akan oleng. Niswa terlonjak sebab pria yang biasanya memancarkan aura konyol dan sok tampan itu menangis dengan kerasnya tepat di sisinya, lengkap dengan tubuh basah kuyup sama halnya dengan Hujan. Bahkan tetesan air dari rambut Dirta mengalir membasahi wajah pria itu.
Hardio menggeleng kuat. Dia turun dari bantalan keras yang menopang tubuhnya agar lebih tinggi supaya memudahkannya melakukan prosedur CPR. Menginstruksi salah satu perawat lainnya, "Beritahu aku saat gelombangnya mencapai 200."
"Daya kejutnya sudah maksimal, Dokter."
Hardio menggesek kedua alat itu, berteriak lantang menyuruh semua orang mundur. "Minggir!"
"Tiga, dua, satu. Shot!"
Tubuh Hujan menegang dan tersentak ke atas, lalu akhirnya kembali terhempas ke atas ranjang.
Nihil. Garis itu masih lurus. Tak ada tanda kehidupan Hujan yang tersisa.
Ini tidak bisa dibiarkan. Akhirnya Dirta bangkit, menaiki bantalan keras yang sebelumnya dipakai Hardio agar lebih tinggi dan lelaki itu kini menyatukan kedua belah tangannya ke atas dada Hujan, memompanya keras dengan bulir air mata yang jatuh. Dia tak akan berhenti sebelum garis lurus itu berubah menjadi garis yang tak beraturan.
"Apa air di dalam parunya sudah berhasil dikeluarkan?!" Dirta berseru keras masih dengan posisinya, menyeka air mata dan keringat yang bersatu. Ranjang itu semakin kuat berderit.
"Hardio, jawab aku!"
Hardio menelisik Dirta. Dia menggeleng, "Dia banyak menelan airnya. Dan aku belum bisa mengeluarkannya."
"Oh sial!"
Pria itu terus memompa dada adiknya dengan keras. Bahkan setelah menit - menit berlalu, pria itu tak gentar, tak akan mau berhenti.
"Hujan, kau tidak bisa mati sekarang, Kunyuk!" Masih sempat memaki, Dirta menampar pipi Hujan berkali - kali. Benar, pria ini sudah gila sekarang. "Awan masih belum menemuimu. Ingat janji kalian berdua! Hei, buka matamu, sialan!"
Semua orang yang mengelilingi ranjang Hujan termenung melihat perlakuan Dirta. Dua diantara mereka berbisik, "Dokter Dirta bisa pingsan jika terus melakukan CPR seperti itu. Lihatlah dia! Wajahnya sudah pucat sekali."
"Niswa, pegang yang benar!" Dirta kembali berteriak, memarahi Niswa yang sedang memegang ambu bag itu. Posisi benda itu benar dan Niswa tidak tahu apa yang salah.
"Dirta, hentikan. Dia sudah meninggal."
Mata Dirta menatap nyalang pada Hardio. Sedangkan yang ditatap hanya menampilkan raut muka datar --bahkan kelewat datar. "Kau," Dirta menghentikan gerakan tangannya yang memompa dada Hujan, "Diam kau, Hardio!"
Sungguh, atmosfir di sini sangatlah menegangkan sekaligus mengharukan. Dirta tak mengindahkan perkataan Hardio untuk berhenti, namun kini makin berusaha berjuang menyelamatkan adiknya.
"DIRTA, AKU BILANG BERHENTI!" Semua orang menatap Hardio yang kini mulai melunak, bahunya turun dan pria itu merasa kalau matanya panas, "Kau bisa pingsan! Turun! Aku akan menggantikanmu."
Dirta tak bergeming.
"Minggir!" Meloncat turun, Dirta menyingkirkan ambu bag itu dari mulut Hujan. Menjepit hidung anak itu dengan jarinya, dia membuka lebar mulut adiknya dan siap memberi napas buatan.
Percobaan pertama, nihil. Alat itu terus berdenging.
Percobaan kedua,
Percobaan keempat,
Berhasil. Hujan memuncratkan air dari mulutnya bersamaan dengan alat pendeteksi jantung yang tak lagi berdenging dan berganti menjadi suara yang lebih teratur. Tertera garis yang tak beraturan di sana.
"Dokter! Pasien kembali!"
Semua orang di sana menghela napas kuat, begitupun dengan Dirta. Dia mengusap wajahnya kasar bersamaan dengan pandangannya yang semakin memburam. Bahkan tubuh itu tiba - tiba saja meluruh sedetik kemudian, menimbulkan gaduh yang kembali terdengar.
Dirta, pria yang baru saja menyelamatkan nyawa Hujan itu ambruk.
Dan juga seharusnya kini Awan tahu, kalau sang adik tengah sekarat sebab janji yang diikrarkan itu tak kunjung dipenuhi. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Musim Semi : Awan dan Hujan
FanfictionHujan percaya kalau Awan tidak akan mungkin mengingkari janji yang telah mereka buat bersama. Dia pasti akan menunggu kakaknya kembali, menjemputnya di suatu hari saat musim semi tiba. Ya, kakak pasti akan menjemputnya. Pasti. 2018 © dyowaseul