Liur Hujan bercampur dengan darah di dalam mulut. Kendati begitu, dia terus menahan, tetap mengekang cairan itu lebih lama lagi di rongga mulutnya. Tenggorokan anak itu sakit bukan main, terasa terbakar habis-habisan dilahap oleh api. Bibirnya bergetar hebat, berupanya untuk tetap baik-baik saja supaya Awan tidak mengetahui sedikitpun kalau dia baru saja batuk darah.
Tidak, Awan tidak boleh tahu.
Hujan gemetaran. Pun merasa kalau dia tidak bisa menyimpan cairan anyir itu lebih lama. Maka dengan terpaksa, Hujan menenggak liur bercampur darahnya ke kerongkongan, dan itu rasanya aneh sekali, seperti berkarat. Sampai-sampai membuat dia mual. Perutnya bagai dikocok, diremas mencapai tak berbentuk, pedih sekali. Dengan suara bergetar, dia memanggil kakaknya, "Kak Awan,"
Yang dipanggil lekas menoleh. Hanya bisa menyahut naif, tak tahu-menahu kalau sang adik tengah menahan mati-matian rasa sakit yang sudah terlanjur menjalar ke seluruh tubuh. Mesam-mesem bertemu muka dengan Hujan. "Hm?"
Cahaya kendaraan masih terus berpendar, melawan sorot bulan yang menggantung di langit. Hujan menengadahkan kepalanya menatap awang, menolak rembesan air mata yang hendak meluncur ke pipi. Masih dengan pedih yang terus menyiksa, dia berkata lagi. "Mau dengar aku bernyanyi, tidak?"
"Bernyanyi?" Kening Awan mengernyit sebentar, kedua alisnya ikut menyatu. Lalu dia mengangguk berulang kali dengan antusias. Mencubit pipi adiknya lagi, "Tentu. Aku bahkan tidak pernah mendengarmu bernyanyi sejak dulu."
Hujan hendak menangis, meratapi semua takdir milik Tuhan yang telah digariskan padanya. Dia hendak marah, tapi tidak bisa. Dia ingin berteriak, tapi dia tak mampu. Pun dia kepingin merintih pada Sang Pemilik Segala, tapi untuk apa? Meratap tidak akan bisa mengubah segala yang telah diberikan padanya.
Yang harus dia lakukan adalah menerima, ikhlas, lalu menjalaninya sekuat tenaga. Itu yang sepatutnya.
Walaupun begitu, bukankah semua rasa sakit dan kesedihan ini adalah takdir? Nikmati saja, tak apa. Semuanya akan segera berakhir. Jangab pikirkan rasa sakitnya atau kau akan lebih menderita.
Tetapi, bukankah ini tampak sangat kejam? Hujan baru saja menemukan Sang Awan. Setelah lama berpisah, akhirnya bertemu jua. Masih sangat terburu-buru untuk kembali berpecah. Apakah ini bakal menjadi kenangan indah terakhir milik mereka yang bisa dikenang? Entahlah, Hujan ragu. Yang dia lakukan hanyalah kembali mendongak menatap cakrawala dengan hiasan titik-titik kecil bergerombol yang bersinar indah, membayangkan kalau ini adalah ingatan terakhirnya di dunia. Hujan pasti akan merindukan segalanya.
Meskipun perih masih setia menemani, kendati rasa sakit semakin mengikis kesadarannya, menelak tubuhnya dengan keras, memaksa dirinya jatuh ke jurang hitam pekat tak berwarna, Hujan terus-menerus berjuang untuk tetap terjaga. Berdehem, anak itu memperbaiki suaranya yang sudah kacau parau.
"O-oke, aku akan menyanyikan sebuah lagu untukmu. Tetapi sebelum itu, kau harus menutup matamu, Kak. Aku malu kalau kau melihatnya."
"Kenapa bisa begitu? Kakak kan ingin melihatmu bernyanyi. Bukan cuma mendengar suaramu saja."
Awan, jangan banyak bicara. Turuti saja adikmu. Dia sudah mati-matian menahan sadarnya, sialan! Demi kau!
"Tutup matamu, lalu dengarkan aku bernyanyi. Kau sendiri 'kan yang bilang kalau--" Hujan kembali terbatuk, lalu dia menunduk. "kalau kau ingin mendengarkan aku bernyayi?"
Awan menarik napasnya dengan dalam. Menghirup udara malam sebanyak-banyaknya, "Baik. Nyanyikan dengan bagus, ya?"
Mata Awan mengatup, antusias menunggu sang adik membuka suara.
"Hanya cukup tutup matamu dan dengarkan aku, oke?" Hujan mengusap mulut dengan lengan sweaternya --membersihkan darah yang keluar, lalu mulai bernyayi. Nada rendah khas miliknya menyapa telinga Awan, memerangi bunyi huru-hara kendaraan dari atas jembatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Musim Semi : Awan dan Hujan
FanfictionHujan percaya kalau Awan tidak akan mungkin mengingkari janji yang telah mereka buat bersama. Dia pasti akan menunggu kakaknya kembali, menjemputnya di suatu hari saat musim semi tiba. Ya, kakak pasti akan menjemputnya. Pasti. 2018 © dyowaseul