15. Kebencian dan Kerinduan

1K 189 20
                                    

Netra Hujan terasa panas. Kepalanya juga sakit sekali sampai rasanya ingin meledak ketika Awan meninggalkan dirinya sendirian di sini beberapa menit yang lalu setelah semua hal yang terkekang di tenggorokan Awan berhasil kakaknya itu keluarkan.

Hujan bertanya - tanya, mengapa baru kini Awan datang kepadanya? Kemanakah kakaknya itu pergi selama dia berada di tengah rasa sakitnya?

Kini, Hujan hanya bisa terbaring memejamkan mata, menahan luapan emosi yang tak bisa lagi terbendung. Rembesan air matanya menembus dinding pertahanan yang sudah mati - matian dia kokohkan sedari sepuluh menit yang lalu --awal kedatangan Awan.

Sayup-sayup, Hujan mendengar ada keributan adu argumen di depan pintu ruang rawatnya. Dia tahu kalau di sana, Dirta dan Awan saling cekcok hebat, membuatnya semakin sesak akan lara.

"Cih," Dirta tertawa getir melihat presensi Awan yang tengah menutup pintu cokelat muda itu dengan pipi dibanjiri oleh air mata. Dia mendorong tubuh Awan hingga tersentak, menubruk dinding. "Kau menangis?" dia terkekeh lagi, "apa ini airmata kebahagiaanmu, Awan?"

Awan hanya bisa terdiam masih dengan mata yang mengeluarkan tangis. Meremas ujung baju Dirta, menatap lemas. Dia seakan kehilangan separuh jiwanya. "A-apa, apa yang terjadi padanya?" oktaf suaranya sangat rendah sampai tak terdengar oleh Dirta, "mungkinkah, dia --"

"BRENGSEK!"

BRUK!

Awan terpental. Dirta baru saja menelak rahangnya dengan keras, bukan main tenaganya. Pria itu meraih kerah Awan, memaksa sang korban untuk berdiri. "Hey, kau tau tidak," Awan tersedak. Menyeka ujung bibirnya yang terasa perih, menatap takut pada Dirta. "kalau adikmu itu pernah mencoba bunuh diri?"

Mata itu terbelalak, tak percaya pada perkataan seorang Dirta. Dengan bibir bergetar, Awan berusaha mengeluarkan suara lagi namun Dirta memotongnya.

"Awan," intonasi Dirta lantas berubah menjadi sendu, menatap ke bawah. "tidakkah kau tahu kalau Hujan pernah menenggelamkan dirinya ke air pantai yang terasa membeku?"

Sial.

Apa lagi ini? Sebuah gurauan, 'kan? Ya, pasti. Bukankah setengah jam yang lalu Dirta juga membodohi dirinya? Hah, Hujan sudah meninggal? Dan sekarang, Hujan pernah bunuh diri?

"Bohong." Kakak kandung Hujan itu menggeleng, menepis tangan Dirta yang tersemat di kerahnya. "Aku tidak suka gurauan, Dirta." matanya menajam, "ini bukan sebuah kompetisi lawak. Ini tentang adikku. Beraninya kau membuat candaan konyol seperti ini!"

"Haha," tawa Dirta meledak. Dia mengepalkan tangannya, giginya bergemeletuk. "yang kali ini serius, Awan. Kau tidak lihat ada bekas jarum di sini?" Pria itu menunjuk punggung tangannya, terdapat sebuah bekas luka.

"Dan," Dirta terkekeh lagi, "apakah kau juga tahu apa penyebab dia sampai berbuat begitu?" tangannya terkepal, telunjuknya menukik ke arah wajah Awan. "Karenamu, Teman."

Awan menggeleng lagi. Tidak. Ini tidak benar, 'kan?

"Kenapa? Apakah kau masih berpikir kalau aku bercanda? Awan, dengarkan aku." Dirta menepuk - tepuk dadanya berulang kali, merasa tersiksa akibat hubungan kakak adik -- Awan dan Hujan. Dia bukan siapa - siapa. Namun, kenapa dia juga harus terseret akan rumitnya urusan ini?

"Bahkan aku sempat terkena hipotermia karena kehilangan adikmu waktu itu. Aku berenang di pantai di saat puncaknya musim dingin! Kau tau, aku tidak bisa berpikir waras lagi ketika rekan dokterku menelpon kalau adikmu tengah sekarat karena pantai itu!"

Air mata Dirta jatuh bersamaan luapan emosinya yang semakin memuncak. "Dan sialnya, aku berhasil menyelamatkan dia dari henti jantung akibat tenggelam. Hell, seharusnya aku tidak menyelamatkannya, 'kan? Dengan begitu, kau akan bahagia melihat makam adikmu saat datang ke kota ini lagi. Ah, sayang sekali."

Pintu cokelat muda itu tiba - tiba terbuka secara kasar, menampilkan sosok Hujan yang tengah berdiri megah di sana. Mukanya pucat pasi, tetesan darah jatuh dari lengannya, nassal kanulanya sudah tidak ada lagi di hidung. Dia berkata, "Pergi. Jangan buat keributan di sini."

Kedua insan yang ada di sana tertegun.

Sontak, Dirta meraih anak itu. Menarik tangan Hujan, menatap rembesan darah yang berlomba keluar. "Kenapa kau lepas! Cuci darahnya belum selesai, Hujan!"

Hujan menoleh sebentar pada sang dokter. "Kak Dirta," dia beralih menatap nyalang pada wajah Awan, meneguk saliva dengan kasar. Dengan tangan bergetar, remaja itu menunjuk kakak kandungnya, "tolong bawa dia pergi. Dia berisik, mengganggu tidurku. Sepreiku jadi basah semua karena tangisnya. Dan oh," napas Hujan terasa tercekat ketika menampak mata kakaknya yang berkaca, "kenapa dia terus - terusan meminta maaf padaku?"

Sedangkan yang ditatap oleh Hujan termangu tak percaya. Satu tetes airmata sukses mengalir di pipi. Menambah sesak yang tak kunjung mereda. Apa yang tengah terjadi? Mengapa Hujan bersikap begini?

Dengan langkah tertatih, satu langkah tercipta di sana.

Awan maju, berusaha menggapai tubuh adiknya. Namun, satu langkah mundur yang dia dapati dari Hujan. Awan terisak kuat ketika mendapati respon Hujan yang sama sekali di luar dugaannya. Dia menerjang tubuh adiknya, lantas memeluk begitu erat dengan tangan yang mengelus mahkota hitam Hujan. Dia tak peduli jika adiknya itu berontak, meronta melepaskan diri dari dekapannya. Jangan dilepas, tolong. Jangan lepas pelukannya.

Aroma itu, vanilla. Aroma tubuh yang menguar dari tubuh adiknya adalah hal yang sangat dia rindukan. Parfum vanilla adalah wewangian kesukaan Hujan sedari dulu. Awan menghirup napas dalam masih dalam dekapannya, "Hujan, maafkan kakak. Maaf, maaf, maaf, Hujan."

Hujan terpahat. Matanya hanya menatap lurus ke depan dengan ekspresi datar namun hatinya terbakar oleh sensasi kebencian dan kerinduan, "Kenapa baru sekarang?!" Hujan terpekik kuat. Remaja itu meremas punggung baju kakaknya, memukul - pukul dengan keras tanpa ampun. Dia mencoba mendorong tubuh Awan menjauh darinya. Namun remaja itu tak lagi punya daya untuk melarikan diri dari dekapan ini. Kewarasannya terlalu berontak mengatakan bahwa dia butuh pelukan Awan. Dia merindukan semuanya. Tentang musim semi, bunga tulip, juga Awan. Inilah pertemuan yang mereka janjikan itu. Tetapi, mengapa pertemuan itu harus berada di situasi seperti ini?

"Kenapa? Kenapa, hiks."

"Lepaskan aku! Awan, pergilah! Aku tidak mau bertemu lagi denganmu. Kau pembohong, kau brengsek. Bukankah aku ini bukan siapa - siapa lagi bagimu? Bukankah itu alasanmu saat meninggalkanku sendirian di sini? Awan, aku membencimu. Menyingkirlah, aku akan menyusul Ayah dan Ibu!"

Awan tercenung, Hujan histeris meluapkan kebenciannya yang mendalam, serta Dirta yang hanya bisa memperhatikan dalam bisu.

Di lorong itu, pertemuan antara kebencian dan kerinduan Hujan bersatu padu. Menyatu tanpa tahu siapa yang harus mengalah lebih dulu. []






Hnggg ide aku lagi mampet. Chapter ini ga ada feelnya sama sekali T.T

Musim Semi : Awan dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang