23. Kesedihan yang Kembali Menyapa

878 141 24
                                    

Semuanya benar-benar terlihat kacau. Terlebih Awan-- pria itu bahkan menangis terisak-isak layaknya wanita yang sedang terserang nyeri saat haid menyapa. Tangannya tergenggam kuat pada jemari sang adik yang tengah terbaring di dalam ambulance. Sebagian wajah Hujan berembun, terbungkus sebuah masker oksigen yang semakin membuat anak itu terlihat mengenaskan. Matanya bahkan terkatup rapat di sana, terlihat tak berdaya.

Malam itu, adrenalin Awan benar-benar terpacu. Perasaan takut terus saja mengintimidasinya, memaksa dirinya untuk menyerah saja --berputus asa pada semua yang telah terjadi. Dia bahkan pergi dari sang adik selama beberapa tahun untuk lari dari kejadian yang menghampirinya seperti saat ini. Namun, mengapa dia malah kembali merasakan sesak yang tak kunjung mereda begini? Lebih-lebih di hadapannya, seseorang yang sangat penting bagi hidup Awan terkapar begitu damai di atas brankar kecil yang ada di mobil itu. Membuat Awan semakin jatuh dalam lara, tenggelam dalam nestapa getir tak berdasar yang menyiksa jiwa.

Di sepanjang perjalanan, Awan merasa kalau dadanya seolah-olah bisa saja meledak saat itu juga. Mobil ambulance mereka terus berpacu, melaju dengan kecepatan maksimum. Seenaknya menerobos kendaraan yang turut menambah kesesakan jalan malam itu. Suara klakson pun menyatu dengan bisingnya sirine yang mengudara. Lampu-lampu jalan berpendar, berusaha menyaingi terangnya lampu kendaraan yang tengah berjalan di atas aspal.

Lantas entah mengapa tiba-tiba saja Awan jadi teringat pasal film kegemarannya dulu. Fast and Furious. Apakah begini rasanya saat berkendara dengan pedal gas yang habis tertekan oleh kaki? Bedanya, dia bukan berkendara dengan mobil yang biasanya digunakan untuk balapan. Namun dia menggunakan ambulance di sana.

Hah, lucu sekali.

Luar biasa. Jantung Awan sepertinya butuh relaksasi setelah ini.

Bulir-bulir tangis tetap setia mengaliri pipi. Pun tubuh yang ada di dalam kendaraan itu terombang-ambing, bergerak tak menentu sebab mobil terus melaju. Awan semakin mengeratkan genggamannya pada sang adik, lantas berbisik dengan suara yang kelewat parau. "Kau harus kuat, Hujan. Percayalah pada kakak, kalau sakitnya akan segera hilang. Kakak mohon tunggu sebentar lagi, hmm? Jangan mau kalah dengan rasa sakitnya, Hujan. Tolong, pertahankan sadarmu untuk kakak. Ya? Hujan," Awan meraup wajahnya yang terus saja dialiri oleh cairan bening itu, "kakak tahu kalau kau mendengar apa yang kakak katakan. Kakak mohon sekali, tolong lakukan apa yang kakak minta, ya?"

Lalu Awan mengernyit kala suaranya tersendat sebab menahan beban berat yang menimpa dadanya, membuatnya semakin nyeri akan duka.

Seperti apa yang Awan katakan, Hujan itu mendengar apa yang dia ucapkan. Anak itu sesungguhnya masih tersadar, namun mata dan bibirnya tetap terkatup rapat, menolak untuk mekar barang sedetik saja. Peluh memenuhi dahi Hujan. Poninya yang sudah lelah Awan tata serapi mungkin hancur berantakan, lepek karena terguyur keringatnya sendiri yang terus berlomba keluar. Pelipis Hujan pun mengernyit, seolah memberi tahu Awan kalau dia tengah menahan mati-matian rasa sakit yang terus mengikis kesadaran.

Jika saja ada yang bertanya pada dirinya sesakit apakah rasanya, maka Hujan tidak akan bisa menjelaskannya dengan kata-kata. Rasanya terlalu sakit. Sakit sekali. Bahkan jika kau menghantam kepalamu berulang kali ke dinding, rasa sakitnya belum seberapa dibandingkan apa yang Hujan rasakan saat ini. Seluruh tulangnya seperti dicabut paksa begitu saja, lalu tubuhnya yang meluruh itu di remuk sampai tak berbentuk. Lemas, perih, merana.

Sirine ambulance terus berdenging mengudara, memekakkan telinga siapa saja yang mendengarnya. Kaitan tangan Awan tetap setia terselip di celah-celah jemari sang adik, berusaha menyalurkan kekuatan miliknya yang masih tersisa walau sedikit. Mencoba melenyapkan rasa sakit yang terus bersemayam di raga Hujan. Meskipun Awan tahu dia juga butuh kekuatan, tapi tak apa. Hujan lebih memerlukannya. Lantas Awan meyakinkan hati bahwa semua akan baik-baik saja setelah ini. Tidak bakal ada hal yang menyakitkan berkenaan menghampiri.

Awan hanya ingin meminta hal yang sederhana pada Tuhan. Tolong buat mereka berdua bahagia tanpa rasa sedih barang secuil saja. Dia ingin menebus egois yang telah dilakukannya pada Hujan. Pun semua rasa penyesalan yang masih tersisa. Tuhan, tolong jangan bawa pergi Hujan. Awan masih belum merasa bahagia. Kasih itu masih belum terpenuhi. Rindu itu masih belum sepenuhnya terobati. Jika saja Tuhan menghendaki, bisakah Awan saja yang menanggung semua rasa pedih yang terus menggerayangi tubuh sang pecinta tulip khas musim semi?

Namun, Awan sadar. Dia tidak bisa mengatur takdir. Tuhan telah mempersiapkan segala hal yang akan terjadi bahkan sebelum roda kehidupan di putar, sebelum roh ditiupkan ke dalam raga. Bahkan kini, yang bisa Awan lakukan hanyalah berlari sekuat tenaga --mengejar brankar adiknya yang lebih dulu melaju di dinginnya lantai rumah sakit malam itu.

Sebuah ambu bag terlihat tersampir di mulut dan hidung Hujan. Anak itu menutup matanya rapat, tubuhnya terombang-ambing mengikuti gerak ranjang pasien yang ia tiduri. Tampak beberapa perawat dan dokter mendorong tubuhnya cepat, membuat roda brankar itu terus berderit, bahkan suaranya menyatu dengan nada kegelisahan yang tercipta dari bibir Awan.

Awan kembali mengusap wajahnya. Air mata yang sudah mengalir deras di pipi tak kunjung juga berhenti. Kaki pria itu berlari kuat, terus berusaha mengejar brankar yang membawa tubuh sang adik yang berada jauh di depan.

"Hujan, kau harus bertahan."

"Hujan, kau dengar kakak, kan?!" Lelaki itu meraih tangan adiknya, menggenggamnya erat. "Kau anak yang kuat, Hujan!"

Hujan menangis. Jiwa dan raganya terasa sakit sekali. Dia masih sadar, walaupun matanya sangat berat untuk dibuka kembali. "Maafkan aku, Kak."

Hingga akhirnya, tubuh Hujan hilang dimakan pintu ruang gawat darurat, meninggalkan Awan terseok sendirian di depan pintu itu dengan tubuh yang berantakan, tangan yang penuh noda darah, dan airmata yang masih mengalir deras di pipi.

Lalu, tubuh Awan meluruh begitu saja, terpekik dengan suara tangis yang keras mengudara. []



Aku kena penyakit stuck udah 2 minggu ini. Aku bener-bener gatau mau ngetik apa walaupun ide udah menuhin kepala. Jadi, aku minta maaf kalau yang ini ga ngefeel, ya.

Oh iya, apa kamu ada rekomendasi cerita untuk aku? Yang gendrenya kayak gini juga hehe

Musim Semi : Awan dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang