10. Romantika Dirta dan Niswa

1K 187 13
                                    

Hipotermia.

Itu adalah sebuah kata yang mewakilkan penyebab mengapa Dirta pingsan. Buruk sekali, sungguh. Bahkan dokter itu harus rela sebagian wajah tampannya --yang terlihat sangat pucat harus ditimpal dengan sebuah masker oksigen. Uh, tak apa. Ketampanan milik Dirta hanya hilang untuk sementara waktu saja, kok. Lagipula di sini ada pujaan hati yang menemani.

Siapa lagi kalau bukan Niswa?

Mungkin Dirta lelah sekali. Sudah hampir 3 jam tertidur di ranjang pesakitan dengan cairan infus yang terus menetes, mengaliri peredaran darahnya melalui selang bening. Wajahnya saja sudah berembun --eh bukan wajahnya, tapi masker di wajah miliknya.

Kini Dirta sama persis seperti Hujan. Berbaring tanpa jiwa di atas ranjang, tangan yang direkat infus, serta topeng berwarna hijau transparan menutupi sebagian wajah. Ew, mengerikan.

Suara deru mesin penghangat menjadi peneman Niswa saat ini. Gadis itu sedang mengelap tangan Dirta menggunakan sebuah kain lembap yang hangat. Melakukan pekerjaannya dengan telaten, dengan senyuman, serta tatapan indah yang terpancar dari netranya.

Cantik. Dia mempesona. Tak salah jika Dirta terpana oleh gadis ini. Tapi Dirta lupa kenyataan bahwa sesungguhnya Niswa sudah ada yang punya. Cincinnya, permata rubi itu. Malang sekali nasibnya.

Mata Dirta mekar perlahan. Pria itu menelisik sekitar, menemukan presensi Niswa yang belum menyelesaikan pekerjaannya --mengelap tangan Dirta. Mengerjap berulang kali, berpikir kalau dia sedang bermimpi. Mengapa Niswa ada di sini?

"Ah, kau sudah bangun ternyata, Dirta."

Niswa tersenyum. Mengetuk kening Dirta pelan dengan kepalan tangannya, membuat Dirta meringis. "Yang tadi itu luar biasa. Kau hebat." Gadis itu terkekeh kecil, "Ternyata efek ciumanmu pada Hujan sangat manjur."

Hah, lelucon macam apa ini?

"Aku kira kau akan mati. Lihat," Niswa menggenggam pergelangan tangan Dirta, mengangkat dan menunjukkannya pada Dirta. "Kenapa bisa pucat begini? Apa yang kau lakukan tadi, huh? Sampai seluruh tubuhmu basah kuyup. Jangan bilang kau ikut - ikutan menyeburkan dirimu ke dalam air seperti Hujan."

Hujan, air, basah kuyup, mati.  Dirta sontak terbelalak, balik menggenggam pergelangan tangan Niswa dengan sisa tenaga yang dia punya. Berkata gusar, melepas masker oksigennya dengan kasar. "Bagaimana dengan Hujan?! Apa dia baik - baik saja?"

Suara serak itu. Buruk sekali.

"Tidak baik." Niswa menggeleng, meraih masker oksigen yang terjuntai di sisi ranjang. Memakaikannya kembali pada Dirta, "ICU."

Dirta bangkit duduk. Meraih selang di tangannya, hendak menarik paksa. "Aku akan ke sana."

"Hey," Niswa menahan pergerakan Dirta. Memaksa pria itu agar kembali berbaring, "Dirta, dengarkan aku."

"Memangnya jika kau ke sana, keadaan akan kembali seperti semula? Bisa? Hm?" Niswa mendecih, "Tidak, 'kan? Setidaknya tetap berbaring di sini sampai cairan infusnya habis. Tak perlu menarik jarumnya seperti itu, nanti kau terluka. Biar aku yang membukanya. Oke?"

Niswa, gadis yang sangat pintar merayu. Lihatlah, bahkan Dirta terdiam cukup lama, berpikir. Niswa benar, dirinya juga sedang berada dikondisi yang tidak baik.

"Sebelum Hujan hilang, kalian berdua pergi ke mana? Lalu, bagaimana bisa kau kembali tanpa bocah itu?"

"Dia meminta uang padaku. Ingin beli wafer keju katanya." Suara Dirta teredam oleh masker, embunnya terlihat semakin banyak. "Hujan ingin pergi sendiri ke minimarket. Lalu aku melarangnya dan bilang kalau pergi bersamaku saja."

Memulai ceritanya dengan napas yang lumayan terengah, Dirta terbatuk sebentar. Berusaha menetralkan pernapasannya yang terasa sesak.

Gadis di hadapannya mendengarkan suara serak Dirta dengan seksama. Menatap intens mata Dirta, "Lalu?"

"Ya begitulah. Kami berdua naik mobil, lalu aku membiarkannya mencari apa yang dia inginkan di minimarket. Tetapi ketika kami sudah selesai berbelanja, Hujan malah bilang kalau dia melupakan susu pisang dan menyuruhku untuk kembali masuk ke sana. Setelah aku selesai, dia hilang. Dan ya, kau tahu 'kan apa yang selanjutnya terjadi."

Gadis yang duduk di sisi Dirta menggembungkan pipinya, menopang wajah dengan kedua tangan yang bertumpu di sisi ranjang. Menggemaskan sekali. "Hujan tenggelam dan setelah itu datang dengan ambulans."

Dirta hanya menghembuskan napas pasrah. Menarik selimutnya hingga ke dada.

"Apa ini hipotermia?"

"Ya." Niswa memainkan poni Dirta yang terjuntai hingga hampir menutupi mata, "Kau sempat tidak bisa bernapas. Kupikir Hardio benar - benar akan gila ketika melihat kalian berdua semaput. Kasihan sekali dia."

Hipotermia. Benar, ini hipotermia. Bukankah beberapa jam yang lalu pria itu berenang di pantai dengan air asin yang bahkan terasa akan membeku?

Niswa saja sampai membalut tubuhnya dengan dua lapis selimut, bahkan lengkap dengan syal yang melilit lehernya. Parah sekali berarti hipotermia Dirta kali ini.

"Eh sebentar," saku seragam perawat milik Niswa bergetar. Meraih ponselnya di sana, membuat pose satu jari telunjuk ke bibirnya, menyuruh Dirta bungkam agar tak menggumamkan satu patahpun kata. "Ya, halo?"

"..."

"Apa?!" Gadis itu sontak berdiri dari kursinya, mengundang tatapan aneh dari Dirta. "Aku akan ke sana. Telepon Dokter Hardio juga!"

Dirta mengernyit tak mengerti ketika menampak adegan terlonjak hebat khas Niswa. Dokter muda ini meraih tangan gadis di sisi ranjangnya, bertanya pelan masih dengan suara serak miliknya. "Ada apa? Apa yang tengah terjadi di sana?"

"Dirta, adikmu, Hujan, di-dia ---" []

  
  
  
  
  
 
Catatan kaki :

Hipotermia adalah kondisi kesehatan di mana membutuhkan penanganan medis darurat. Keadaan ini terjadi saat temperatur tubuh menurun drastis di bawah suhu normal yang dibutuhkan oleh metabolisme dan fungsi tubuh, yaitu di bawah 35°C. Biasanya terjadi akibat udara yang dingin.

Musim Semi : Awan dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang