14. Ratapan Awan

1K 191 31
                                    

"Dia sudah meninggal."

"Dia sudah meninggal."

"Dia sudah meninggal."

Tubuh pria di depan pintu itu terpahat selama sesaat. Apa ini? Mengapa kepala Awan mendadak menjadi pening begini? Apakah ini sebuah candaan Dirta karena dongkol pada dirinya?

"Aku tidak bercanda, Awan. Adikmu memang benar - benar sudah tiada. Dia sudah meninggal! Me-ning-gal!"

Sialan. Itu bukan candaan. Itu kebenaran.

Awan tidak tahu apa yang ada di dalam otak Dirta saat menggumamkan kata itu. Namun setelah Awan memutuskan untuk segera pergi ke makam Hujan, dokter itu malah menarik tangannya dan menyeretnya pergi dari ruang rawat yang sebelumnya mereka tempati. Awan hanya bisa menuruti perlakuan Dirta sambil menyeret pantopelnya -- berusaha menyesuaikan langkah Dirta yang kelewat besar. Yaah, seharusnya kau tahu kalau langkah Awan itu kecil karena dia adalah pria yang pendek.

Mereka menghentikan langkah di depan sebuah kamar rawat lagi. Entahlah, Awan tidak tahu ini ruang rawat yang ditempati oleh siapa. Bentuk dan warna pintunya terlihat sama semua. Dan Awan tidak mau ambil pusing lebih banyak.

"Masuk ke sana. Kau akan tahu apa yang sedang terjadi pada adikmu."

Hell, kepala Awan semakin sakit. Dia baru saja terpukul hebat karena mengetahui bahwa adiknya telah meninggal dan kini? Dirta dengan seenaknya saja menginterupsi dirinya.

Kakak kandung Hujan itu diam saja. Malah pria itu sibuk memegangi kepalanya, menjambak rambutnya pelan, sehingga membuat Dirta semakin geram. Dokter itu membuka kasar pintu ruang rawat dan langsung mendorong tubuh Awan ke dalam sana.

Awan tersentak. Dia meneliti sekeliling dan benar saja, dia menemukan seorang remaja laki-laki yang tengah tertidur dengan selang nassal kanula di hidungnya. Ada banyak selang di sana. Selang yang dialiri oleh darah, juga cairan infus. Dan tunggu, apa maksud semua ini?

Jadi, Hujan belum meninggal? Astaga, gurauan seperti apa itu tadi?

Sesak, panas, sakit. Itu yang Awan rasakan ketika dia melangkah lebih dekat pada sosok itu. Awan tahu siapa dia. Itu Hujan. Benar, itu adiknya.

Mata yang terpejam. Mata itu, mata yang selalu ingin Awan lihat binarnya. Kedua mata yang akan melengkung ketika bibirnya menarik senyum, membuat Awan merindu. Tetapi, hal apakah yang selalu membuat Awan menyesal?

Mata itu, binar itu, Awan kini tidaklah lagi tahu. Apakah masih tersemat di sana? Ataukah... sudah lenyap seutuhnya?

Bahkan tangan itu, tak lagi segembul dulu. Urat tangan adiknya terpampang nyata, seperti tidaklah ada lagi lapisan yang bisa menutupinya. Ke manakah semua lemak adiknya pergi?

Wajah itu, pucat pasi. Ke manakah semburat merah itu lari?

Awan tidak tahu. Dia terlalu naif untuk mengatakan kalau dia merindukan segalanya tentang adiknya. Brengsek. Bahkan untuk sesaat, pria itu merasa kalau dia memang kakak yang tidak berguna sama sekali. Harusnya dia pergi menyusul Ayah dan Ibu daripada menderita begini.

Tetapi, jika Awan berpikir lagi, apakah mati akan selalu menjadi akhir yang terasa bahagia? Tidak, 'kan? Mati tidak akan menyelesaikan segalanya.

Awan tercengang beberapa lama dengan lelehan air yang jatuh ke pipinya. Dengan tertatih, pria itu berusaha menggapai pria satunya lagi. Terduduk di atas kursi. Menumpahkan isak tangis di sana, menggenggam tangan kurus yang terlihat sangat menderita. "H-hujan, a-aku--"

Awan tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Sesak. Dia memukul dadanya bersamaan dengan air matanya yang terus terjatuh, terisak kuat meratapi semua kebodohan dan nasib yang menyedihkan seperti ini. Genggamannya mengerat, "Aku minta maaf. A-aku, aku, hiks, Kakak minta maaf, Hujan. Maafkan aku, maaf."

Awan berdiri dari kursi yang menopang tubuhnya. Menggapai kepala adiknya, mencium pucuk kepala itu lembut masih dengan bulir yang terjun bebas, bahkan ikut membasahi sebagian wajah adiknya. "Pasti sangat sakit, 'kan? Maafkan Kakak karena sudah pergi darimu. Hujan, Kakak bukannya lari darimu. Kau tahu 'kan kalau Kakak juga merindukanmu? Iya, 'kan?"

"Katakan, di mana yang sakit? Ayo buka matamu, Hm? Jangan diam saja. Ayo, hey, Kakak kini sudah datang. Kau merindukan Kakak, 'kan?" Awan menguncangkan tubuh adiknya perlahan. Menghapus jejak air matanya, "Oh iya, bunganya. Bunga tulip. Kakak membawa banyak tangkai tulip untukmu. Bunganya ada di kamar sebelah. Jadi, sekarang bangunlah. Eung? Hujan,"

Gila. Dia berbicara sendirian dan tentu saja Hujan tidak mendengar apa yang dia katakan karena adiknya itu  tidak tersadar. Awan kini menciumi tangan adiknya, memohon pada adiknya agar lekas bangun. "Musim semi. Kakak pernah berjanji padamu untuk kembali bertemu pada musim semi, 'kan? Ayolah, kakak sudah menepati janjinya. Bunga tulipnya juga sudah siap. Jadi sekarang, semuanya selesai. Kau harusnya memeluk Kakak saat ini. Bukankah begitu yang seharusnya? T-tapi, hiks, kenapa kau menutup matamu seperti itu? Selang hijau itu, hey, kau jelek ketika melilitnya di wajahmu. Jangan memakai itu lagi, oke?"

"Apa Dirta selalu memaksamu menelan pil lagi? Kali ini pil yang berwarna apa? Kuning? Biru? Merah? Atau putih? Apa kau betul menelannya? Hujan, Kakak tahu kau sangat membenci benda itu. Nanti setelah kau membuka matamu, Kakak akan memukul kepala Dirta berkali - kali dan memaksanya untuk tidak lagi memberimu pil itu. Jadi, j-jadi kini, buka matamu, ya? Hujan, kakak mohon."

Mata Awan kini terlihat memerah, sangat merah. Wajahnya pun merah padam, hidungnya, telinganya, semuanya. Terisak-isak meluapkan kerinduan serta penyesalan selama tiga tahun kepergiannya. Genggaman tangan yang takkan mau dia lepas barang sedetikpun. Air mata yang terus mengalir, bibir yang tak berhenti bergetar menggumamkan kata maaf serta penyesalan. Semuanya terasa menyedihkan.

"Hujan, Kakak bersalah. Kakak sangat menyesal karena sudah meninggalkanmu sendirian ditengah kesakitanmu. Perutnya sakit? Disini? Iya?" Pria itu meraba perut adiknya, "Sial, apakah dia sangat jahat padamu? Hujan, jangan mau kalah. Dia itu sebenarnya lemah, jauh lebih lemah darimu. Kau adikku, orang yang terkuat. Sekarang, buka matamu. Lihatlah Kakak, orang yang kau bilang sangat kau rindukan. Oke? Ya? Kakak mohon, Hujan."

Dan satu yang tidak Awan tahu. Kalau sebenarnya Hujan mendengar segalanya apa yang dia ucapkan. Adiknya itu hanya menutup mata, bukannya juga menutup telinganya. Bahkan Hujan tak kuasa ingin segera membuka mata dan memeluk tubuh Kakaknya. Tetapi semuanya terasa berat. Hujan merasa kalau dia kini membenci Awan.

Hujan, remaja itu, dia hanya terpejam. Jiwa dan raganya tersadar seutuhnya, meratapi semua kesedihan yang sama. []

 
  
  
  
  
  
  Tanganku gatel mau update lagi haha :-D

Musim Semi : Awan dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang