Hari yang membosankan. Hujan pikir dia butuh sesuatu yang menyenangkan hari ini. Mendekam di dalam ruangan rawatnya sepanjang hari bahkan sepanjang tahun memang benar - benar membuat otaknya sesat akal. Di dalam sini pengap, berbau mirip karbol --menyengat sekali aroma antiseptiknya.
Tersenyum geli lantas bangkit dari tempat tidurnya lalu berjalan menuju pintu, melirik ke sana ke mari menilik beberapa orang yang melintas di sepanjang koridor ruang rawatnya. Anak itu berjalan menyusuri ubin yang dingin, mengendap - endap layaknya maling mencari mangsa.
"Sedang apa di sini?"
Hujan berhenti berjalan. Berbalik, "Huh? A-anu,"
Itu Hardio, rekan Dirta. Pria itu sedang mendekap kertas - kertas laporan medis di satu tangannya ke dada, serta tangan yang satunya lagi dia masukkan ke saku jas putihnya yang kebesaran. Dokter itu menjelajahi muka Hujan karena anak itu malah tercenung di hadapannya. "Hei, aku bertanya padamu."
"Itu, a-aku ingin bertemu dengan Kak Dirta. Apa... Dokter Dio tau--"
"Dia sedang istirahat di ruangannya."
"Ah," Hujan menggaruk ceruk lehernya, terkekeh masam pada Hardio. "Terima kasih, Dokter."
« Musim Semi »
"Kak Dirtaaaaa!""Eh?"
Hujan mengernyit sesaat membuka pintu ruang kerja kakaknya. Di depannya, wujud Dirta yang sedang menumpu kepala di atas meja sukses membuat remaja itu terheran - heran. Apakah menjadi seorang dokter memang benar - benar sebuah profesi yang melelahkan?
Dia duduk di kursi tepat di depan sosok Dirta yang hanya berbatas meja yang lumayan besar berwarna cokelat muda. Memainkan sebuah papan kaca bening kecil bertuliskan nama Dirta, dia beralih mengambil setumpuk kertas yang berserak di atas meja dokter itu. Membaca salah satu kertasnya lalu menggeleng - geleng pertanda tak mengerti.
"Hujan," Dirta membuka suaranya yang terdengar serak, masih setia menumpu kepalanya di atas meja. "Jangan pegang kertasnya."
Sontak saja pergerakan tangan anak itu terhenti, tak lagi menimbulkan bunyi kertas yang bergesekan -- penyebab Dirta sadar akan kehadirannya.
"Ada apa ke mari?" Dirta kembali menegapkan badannya, merapikan rambut dan mengucek mata yang memerah. "Butuh sesuatu? Permenmu habis?"
Hujan menggeleng.
"Lalu?" Pria itu mengambil kaca mata bulatnya di sudut meja, menenggak secangkir kopi juga di sana. "Mengapa kau ada di sini?"
"Berikan aku beberapa lembar uang."
"Uang? Untuk apa?"
"Aku ingin membeli wafer keju. Sepertinya enak."
Dirta menekan pangkal batang hidungnya frustasi. Dia mendesah kuat hingga suara napasnya terdengar oleh Hujan, "Tunggu di kamarmu. Aku yang akan membelinya."
"Tidak, biarkan aku yang membelinya, Kak."
"Di mana kau akan membelinya? Di kafetaria tidak ada wafer keju, Hujan!"
"Oh ayolah! Di minimarket seberang rumah sakit ini kan ada!" Hujan menengadahkan kedua tangan, meminta uang agar segera di berikan padanya. Tetapi Dirta malah kelihatan semakin menggila dengan sikap anak itu, "Kak Niswa sudah tunangan asal kakak tahu."
"Hah?!"
"Uangnya mana?"
Dirta dongkol, "Ish! Kau juga ingin tahu sesuatu?"
"Apa?"
"Tidak ada seorangpun pasien rawat inap yang diperbolehkan keluar dari area rumah sakit. Kau akan ditangkap oleh security jika ketahuan."
Mendengar penuturan Dirta, Hujan bangkit dari kursi berjalan lunglai hendak meraih gagang pintu. Tetapi langkahnya terhenti ketika dia kembali mendengar suara kakaknya, "Kau tidak bisa ke sana sendirian. Aku akan menemanimu."
Hujan masih tetap memegang daun pintu. Dia lalu tersenyum penuh kemenangan karena akhirnya dokter itu luluh akan dirinya.
Tercenung sebentar masih dalam posisinya, Hujan kembali bertanya - tanya. "Mengapa Kak Awan tak kunjung kembali?" []
KAMU SEDANG MEMBACA
Musim Semi : Awan dan Hujan
FanfictionHujan percaya kalau Awan tidak akan mungkin mengingkari janji yang telah mereka buat bersama. Dia pasti akan menunggu kakaknya kembali, menjemputnya di suatu hari saat musim semi tiba. Ya, kakak pasti akan menjemputnya. Pasti. 2018 © dyowaseul